Dia, kawan-pendeta saya yang ditanya jemaatnya tadi, menilai aksi sarungan saya saat itu terasa unik dan memberikan corak warna lain. Sarungan tersebut ia yakini telah mengintrodusir kembali kedamaian, utamanya saat digunakan dalam momen relijius-heterogenistik dengan semangat pluralisme dan kemanusiaan. Refleksinya itu mendorong saya berefleksi balik. Mungkinkah dia sudah muak melihat simbol-simbol agama diparadekan sebagai alasan menghancurkan agama dan keyakinan liyan, seperti halnya pada Peristiwa Situbondo 1996? Dia barangkali begidik membaca brutalitas invasi kelompok wahabi ke tanah Batak Selatan sepanjang tahun 1816-1820 dimana darah tertumpah sangat atas nama agama. Atau bahkan, dia limbung akibat membayangkan pembantaian massal yang dialami oleh Suku Qurayza pada tahun 627 masehi.
Saya, pada titik ini berharap ia tidak sedang termangu galau karena berhasil menelusuri jejak amok 65 di Jawa Timur dan Bali, yang sebegitu dahsyat pembantaiannya hingga Sarwo Edhie harus turun tangan menghentikannya. Laksana gangbang, kodrat agama sebagai wajah agung tuhan telah diperkosa sedemikian rupa. Dihinakan kesuciannya melampaui batas terendah yg bisa dinalar manusia waras. Mungkin kekagumannya atas aksi-sarungan saya hanya basa-basi. Sebatas etika berelasi antarkawan. Namun siapa yang bisa menjamin dia tidak sungguh-sungguh dengan ucapannya?. Siapa yang bisa menggaransi dia - dan mungkin ratusan juta penduduk Indonesia lainnya- tidak sedang mendamba negeri ini terbebas dari kutukan kekerasan berbasis agama? Dia bisa saja menaruh asa pluralisme merekah melalui salah satu simbol penting Islam jawa; sarung.(**)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H