Ditengah --tengah terjadinya perdebatan tentang nasab, yang mengaitkan dengan nasab kepada Rasulullah muncul tentang pernyataan bahwa nasab mereka adalah paling mulia. Bahkan kemudian keluar pernyataan bahwa kemuliaan nasabnya itu kan menjadikan penghuni surga. Benarkah seperti itu ? Saya akan coba menjelaskan sesuai dengan keilmuan yang ada.
 Allah SWT telah berfirman :
Â
"Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu" (QS Al-Hujuroot : 13). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Barang siapa yang amalannya memperlambatnya maka nasabnya tidak akan bisa mempercepatnya" (HR Muslim no 2699) Al-Imam An-Nawawi mengomentari hadits ini :
Â
"Makna hadits ini yaitu barang siapa yang amalnya kurang maka nasabnya tidak akan membuatnya sampai pada kedudukan orang-orang yang beramal, maka seyogyanya agar ia tidak bersandar kepada kemuliaan nasabnya dan keutamaan leluhurnya lalu kurang dalam beramal" (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 17/22-23) Ibnu Rojab Al-Hanbali berkata :
Â
"Barangsiapa yang amalnya lambat dalam mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah maka nasabnya tidak akan mempercepat dia untuk mencapai derajat yang tinggi tersebut. Karena Allah memberi ganjaran/balasan atas amalan dan bukan atas nasab sebagaimana firman Allah SWT:
()
"Apabila sangkakala ditiup Maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya" (QS Al-Mukminun : 101)" (Jaami al-'Uluum wa al-Hikam hal 652).
 Ibnu Rojab berkata selanjutnya: "Dan dalam Musnad (Ahmad) dari Mu'adz bin Jabal bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala mengutus beliau ke negeri Yaman maka Nabi keluar bersama beliau sambil memberi wasiat kepada beliau, lalu Nabi berpaling dan menghadap ke kota Madinah dengan wajahnya dan berkata :
"Sesungguhnya orang-orang yang paling dekat dengan aku adalah orang-orang yang bertakwa, siapa saja mereka dan di mana saja mereka" (*HR Ahmad no 22052) Dan At-Thobroni mengeluarkan hadits ini dengan tambahan :
 "Sesungguhnya Ahlul Bait mereka memandang bahwasanya mereka adalah orang yang paling dekat denganku, dan perkaranya tidak demikian, sesungguhnya para wali-waliku dari kalian adalah orang-orang yang bertakwa, siapapun mereka dan di manapun mereka" (*HR At-Thobroni 20/120 dan Ibnu Hibbaan dalam shahihnya no 647. Al-Haitsaimy dalam Majma' Az-Zawaid (10/400) berkata : Isnadnya jayyid (baik), demikian juga Syu'aib Al-Arnauuth berkata : Isnadnya kuat) Dan semua ini didukung oleh sebuah hadits yang terdapat di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim dari 'Amr bin Al-'Aash bahwasanya beliau mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
Â
"Sesungguhnya keluarga ayahku --yaitu si fulan- bukanlah para waliku, dan hanyalah para waliku adalah Allah, dan orang-orang mukmin yang sholih" (*HR Al-Bukhari no 5990 dan Muslim no 215) Rasulullah memberi isyarat bahwa walaa' kepada beliau tidak diperoleh dengan nasab meskipun dekat nasabnya, akan tetapi diperoleh dengan keimanan dan amalan sholeh. Maka barangsiapa yang imannya dan amalannya semakin sempurna maka walaa'nya semakin besar kepada Nabi, sama saja apakah ia memiliki nasab yang dekat dengan Nabi ataukah tidak. Dan dalam penjelasan ini seorang (penyair) berkata :
Â
"Tidaklah seseorang (bernilai) kecuali dengan agamanya Maka janganlah engkau meninggalkan ketakwaan dan bersandar kepada nasab Sungguh Islam telah mengangkat Salman Al-Farisi (*yang bukan orang arab) Dan kesyirikan telah merendahkan orang yang bernasab tinggi si Abu Lahab". (Demikian perkataan ibnu Rojab, Jaami' al-'Uluum wa al-Hikam, hal 653-654, Syarah hadits ke 36) Al-Imam An-Nawawi mengomentari hadits di atas:
 "Dan maknanya adalah : Yang menjadi Waliku hanyalah orang yang sholeh meskipun nasabnya jauh dariku, dan tidaklah termasuk waliku orang yang tidak sholih meskipun nasabnya dekat" (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 3/87)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H