Mohon tunggu...
Bonifasius Aan
Bonifasius Aan Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aku Berpikir, Maka Aku Meniadakan

14 April 2018   00:50 Diperbarui: 15 April 2018   08:33 845
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: pixabay.com)

"Cogito ergo sum" adalah sebuah ungkapan yang diutarakan oleh filsuf ternama dari Perancis, Rene Descartes. Artinya adalah: "aku berpikir maka aku ada". Maksud kalimat ini membuktikan bahwa satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan seseorang sendiri. Keberadaan ini bisa dibuktikan dengan fakta bahwa ia bisa berpikir sendiri.

Dalam kalimat ini, Descartes mendeklarasikan alasan setiap orang dapat meng"ada", yang dalam kelas filsafat sering digunakan untuk menggambarkan eksistensi. Frase ke-aku-an dalam ungkapan ini sangat menarik karena kata "aku", mengacu pada sebuah eksistensi yang hanya terwujud dalam diri seseorang ketika ia berfikir.

Dengan demikian, ketika aku berfikir maka aku ada, dan sekaligus termuat pernyataan bahwa aku berfikir, maka aku meniadakan yang lain.

"Aku berfikir, maka aku meniadakan yang lain", menjadi ungkapan yang menarik untuk lebih jauh saya pahami. Saya mulai dengan mendalami dua kata pertama. "Aku berfikir" merupakan sebuah ungkapan yang menggambarkan aktivitas seseorang pada tataran rasionalnya. Pada bagian ini saya tidak berbicara mengenai apa yang difikirkan orang lain, tetapi lebih kepada berfikir itu sendiri sebagai sebuah perilaku.

Untuk memahami konteks kalimat "aku berfikir, maka aku meniadakan yang lain", kata "aku berfikir" memiliki kedudukan sebagai sebab. Dengan kata lain, aku yang berfikir menjadi kausal dari keberadaan yang lain, yang bukan aku. Di sini saya berusaha memahami kata tersebut dengan melihat motif dari seseorang berfikir.

Ketika saya berfikir mengenai awan di pagi hari yang cerah, pikiran saya tidak hanya habis dalam pemahaman bahwa apa yang saya lihat saat ini, saya "sebut" sebagai awan. Pertama, saya telah terjebak dalam sebuah kesepakatan massal yang menyatakan bahwa apa yang saya lihat saat ini sebagai suatu realitas bernama "awan". Pemberian nama "awan" merupakan sebuah kesepakatan masal dalam wujud bahasa untuk menandai suatu realitas. bagaimana jika saya melawan kesepakatan tersebut dengan menyebut realitas yang saya lihat sebagai "langit" ? tentu saya akan dianggap salah karena tidak sesuai kesepakatan. Akan tetapi, siapa yang akan mempermasalahkan ketika orang Inggris menyebut awan sebagai cloud ? Bentuk peniadaan pertama yang saya lakukan ketika saya berfikir ialah, jatuh dalam kesepakatan yang menandai sebuah realitas kedalam wujud bahasa. Penting untuk dipertanyakan, apakah orang di lain di luar diri saya yang tidak ikut sepakat dan bahkan realitas yang saya lihat saat ini pun tidak memiliki logikanya sendiri ? Apakah realitas yang saya lihat saat ini akan habis terpahami dengan sebutan "awan"? Peniadaan pertama yang saya lakukan adalah, turut ambil bagian dalam usaha manusia yang sesungguhnya menutupi ketidakmampuannya memahami suatu realitas yang ada di dunia ini secara utuh kedalam sebuah bahasa. 

Kembali kepada kata awan, seperti yang sebelumnya saya katakan bahwa pikiran saya tidak hanya habis dalam pemahaman bahwa apa yang saya lihat saat ini. Disini saya ingin mengatakan bahwa kausalitas yang saya susun dalam sebuah kalimat "awan di pagi hari yang cerah" menggambarkan sebuah ungkapan emosional dari diri saya sendiri. Dengan kata lain saya kembali mendefinisikan apa yang saya lihat dengan emosi yang ada dalam diri saya saat ini. Awan di pagi hari yang cerah mengingatkan saya akan pengalaman menyenangkan, dimana saya dapat melakukan banyak hal di luar rumah. Saya mendefinisikan bahwa awan bermakna khusus bagi diri saya. Ketika awan mendung berarti awan membuat saya sedih dan awan yang cerah berarti membuat saya senang. Sebuah aktivitas berfikir yang terkontaminasi oleh perasaan mungkin, namun pada akhirnya menggiring saya mendefinisikan kembali realitas yang di sebut awan menjadi lebih sempi. Kembali lagi, seolah realitas di luar diri saya tidak memiliki logikanya sendiri.

Saya mencoba mengambil contoh lain yang mungkin lebih dekat. Teman atau sahabat mungkin yang terbilang sangat saya kenal walau tidak secara menyeluruh. Kecenderungan saya ketika mejalin relasi dengan seorang teman, saya digiring untuk mendefinisikan dia seturut dengan kepentingan yang terkandung dalam relasi yang kami jalani (bagaimana dengan anda?).

Ketika saya bertemu teman yang sangat baik, perhatian, pengertian, dan memiliki banyak kecocokan lain, saya berusaha mempertahankannya dan memperlakukan dia seturut dengan etika persahabatan yang kami sepakati, baik secara sadar maupun tidak. Ketika saya berfikir tentang teman saya, sederet pernyataan tadi lah yang merupakan produk pikiran saya.

Kembali ke dalam perkara awal, ketika saya berfikir mengenai seorang teman, saya mendefinisikan dia dalam perspektif saya yang sangatlah tidak utuh. Hal tersebut dikarenakan pikiran saya tidak mampu membingkai eksistensinya secara utuh dalam sebuah produk pikiran. Maka saya sedikit demi sedikit meniadakan teman tersebut mulai dari nama yang menjadi identitasnya, hingga segala hal baik secara fisik maupun mental yang saya kenal, tanpa memperdulikan bahwa ia memiliki logikanya tersendiri tentang dirinya.

Saya mengambil contoh yang lebih dekat lagi yaitu paru-paru saya. Sebagai seorang perokok, saya memahami bahwa rokok berbahaya untuk paru-paru dan jantung. Akan tetapi, ketika saya berfikir tentang paru-paru, saya mendefinisikannya sebagai sebuah organ tubuh yang dapat memberikan toleransi waktu hingga saya memutuskan untuk berhenti merokok.

Sedikit lucu memang ketika saya membayangkan seandainya setiap organ tubuh memiliki otaknya masing-masing agar dapat menentukan apa yang dia inginkan. Tapi siapa yang tahu jika setiap organ tubuh memiliki logikanya masing-masing yang menganggap dirinya lebih dari sekedar bagian tubuh manusia.

Mereka hanya tidak memiliki kehendak bebas layaknya yang dimiliki oleh manusia. Pernahkah berfikir bagaimana seekor semut mendefinisikan manusia? Mungkin bagi semut, manusia hanya segerombolan makhluk serakah tanpa kerja sama untuk menikmati rasa manis.

Melalui alur berfikir ini, saya memahami bahwa ketika saya berfikir, berarti saya mendefinisikan, ketika saya mendefinisikan berarti saya memasukkan segala sesuatu yang saya fikirkan kedalam perspektif "aku". Ketika saya mengesampingkan logika dari setiap realitas di luar diri saya, dan hanya memahaminya dalam perspektif aku, serta seperangkat pengetahuanku bersama manusia lain yang juga merupakan buah pikiran, sesungguhnya saya telah meniadakan.

Berfikir yang saya pahami tidaklah jauh dari aktivitas mendefinisikan. Maka ketika aku, berfikir maka aku ada, ketika aku berfikir, maka aku mendefinisikan, dan ketika aku mendefinisikan, maka aku meniadakan yang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun