Mohon tunggu...
Bonifasius Aan
Bonifasius Aan Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

UU MD3, Masih Perlu Dipertanyakan?

27 Februari 2018   16:03 Diperbarui: 5 Maret 2018   09:09 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebebasan berpendapat yang melekat pada identitas bangsa demokrasi dipertanyakan dengan kehadiran UU MD3. Banyak pihak merasa terusik dengan kemunculan beberapa Pasal dalam UU MD 3. Terdapat substansi hukum yang dianggap mengancam proses demokratisasi di Indonesia. Pada tulisan ini, akan dibahas lebih jauh mengenai pasal yang nadanya bersentuhan langsung dengan eksistensi lembaga di luar lembaga pemerintah.

Dalam pasal Pasal 122 huruf K UU MD3 disebutkan bahwa DPR bisa mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Pasal ini dinilai berpotensi menjadikan DPR maupun anggotanya bisa bertindak otoriter.

Akan tetapi, dalam wawancaranya dengan Najwa Shihab, Supratman Ketua Badan Legislasi DPR/RI Partai Gerindra mengatakan bahwa Pasal ini dimaksudkan sebagai sarana pembagian tugas pada MKD yang juga berisi anggota DPR. MKD disebutakan berperan  untuk mewakili DPR dalam mengambil langkah hukum apabila kehormatan dan martabat anggota DPR dilanggar. Supratman juga menegaskan bahwa dalam pasal tersebut sama sekali tidak memuat delik pidana.

Dalam wawancara ini, Arsul Sani Fraksi PPP DPR RI juga menambahkan bahwa makna yuridis (secara hukum) pasal tersebut telah betul dijelaskan oleh Supratman sebelumnya. Akan tetapi, permasalahan justru timbul ketika terdapat pula makna psikologis yang mendorong kekhawatiran dan ketakutan publik. "Hal ini dikarenakan dalam perumusan pasal ini tidak disertakan dengan penjelasan", tambah Arsul.

Dalam pembahasan ini, terdapat persoalan utama mengenai keberadaan DPR yang secara hukum semakin terpisah dengan masyarakan sebagai konstituennya. Supratman menanggapi hal tersebut dengan menegaskan bahwa DPR tidak anti kritik, ia menekankan bahwa penghinaan dan kritik merupakan suatu hal yang berbeda. Batasan yang dapat menjadi acuan mengenai reaksi masyarakat sipil terhadap DPR yang tergolong penghinaan atau pun tidak, dimuat dalam pasal 407&408 RKUHP.

Supratman justru menggiring pertanyaan publik kepada pasal KUHP yang mengatur lebih detail mengenai hal pasal penghinaan dan pencemaran nama baik. Akan tetapi kembbali muncul pertanyaan baru, bagaimana dengan asas hukum "lex spcialis derogate lex generalis"  yang berarti undang-undang bersifat khusus mengesampingkan atau mengalahkan undang-undang yang bersifat umum.

Asas tersebut dapat memberi ruang tafsir khusus atas tindak penghinaan terhadap DPR. Ketika lembaga negara menajamkan hukum sesuai kontek internal lembaga tersebut, maka indikator pelanggaran pun akan menyesuaikan konteks internal lembaga yang bersangkutan. secara ringkas dapat dipahami bahwa pasal 122 huruf K UU MD3 akan menjadi ambigu karena terlalu subyektif.  Bukankan akan lebih baik apabila Pasal tersebut dijelaskan secara detail batasannya, atau setidaknya ditambahkan rujukan pada pasal KUHP yang benar mengatur tentang  penghinaan atau pencemaran nama baik lembaga pemerintah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun