Sebagai suatu isu rasanya sangat menarik bila hanya dilirik lalu kemudian dikedipkan mata, layaknya seorang bujang sedang merayu pujaan hatinya. Tapi akan hilang gairah ketika mereka sudah membicarakan keseriusan ke jenjang pelaminan dan perkawinan. Begitulah kesenian. Apakah mesti mempertanyakan lagi, mengapa dan ada apa (gerangan) kesenian? Sebab rasa-rasanya kesenian sudah mulai kaku dan terbata-bata mengeja, membaca, memaknai, apalagi membicarakan dirinya sendiri. Seperti sudah tiada harapan berketurunan, seperti seorang yang mandul saja.
Pemain dan permainanya
Derasnya keringat mengucur untuk membangun, untuk melakukan pembangunan tidak melulu berbuah hasil (kemajuan) tapi bisa jadi juga muncul hipotesis regresif (kemunduran). Hal inilah yang yang dialami, yang dirasakan (gerangan) kesenian yang ada di kota ataupun di pedesaan. Hal yang mempengaruhi yang demikian adalah antara lain pemisalannya:
- Adanya kemajuan dalam medan permainan-permainan yang dianggap modern, seperti Pemerintah Kota (Pemkot) Palu, Sulawesi Tengah mengalokasikan dana sebesar Rp 6 miliar untuk suksesnya kegiatan Palu Sport Event (PSE).
- https://sultengterkini.id/2023/05/23/luncurkan-pse-pemkot-palu-alokasikan-dana-rp-6-miliar/
- Medan permainan memerlukan tempat yang elegan dan puas. Meskipun didesak oleh pemukiman penduduk dan kepentingan pembangunan yang lebih genting. Seperti sumbangan dana 7 miliar untuk pembangunan taman di Kota Palu tersebut terdapat property sculptor atau patung atau tugu berbentuk lingkaran spiral yang dikelilingi kolam air melingkar serta catatan-catatan sejarah di Kota Palu.
- https://hariansulteng.com/sumbang-dana-rp-7-miliar-rupiah-untuk-pembangunan-taman-nasional-palu-simbol-alfamidi-tidak-ada/
- Terjadinya pergeseran pandangan terhadap revitalisasi medan permainan seolah pelampiasan terhadap masyarakat dengan dalih bernada wajar. Seperti revitalisasi untuk tahap I Lapangan Vatulemo akan berlangsung pada Mei hingga Desember 2023. Pengerjaan dimulai pada bagian Timur hingga bagian tengah lapangan dengan menghabiskan anggaran sebesar Rp 9,097,900.000. Sedangkan tahap II akan berangsur mulai Januari hingga Juni 2024, pengerjaan dari tengah lapangan menuju bagian Barat termasuk pengerjaan pembangunan UMKM hingga Baruga. Tahap II kemungkinan agak besar karena lebih banyak pembangunan kurang lebih menghabiskan Rp15 Miliar.
- https://palu.tribunnews.com/2023/05/23/revitalisasi-lapangan-vatulemo-palu-dimulai-tahap-1-habiskan-anggaran-rp-9-miliar#:~:text=Untuk%20tahap%20I%20revitalisasi%20Lapangan,pada%20Mei%20hingga%20Desember%202023.&text=Pengerjaan%20dimulai%20pada%20bagian%20Timur,menghabiskan%20anggaran%20sebesar%20Rp%209%2C097%2C900.000.
Dari uraian di atas bisalah disimpulkan sementara bahwa kesenian kita cukup rumit. Pantaslah hilang gairah, pantaslah (gerangan) mandul. Atau bahkan semacam rahasia untuk mengebiri kesenian. Sementangpun demikian, ini bukanlah masalah paling berat yang dihadapi oleh (gerangan) kesenian. Ada hal yang lebih mendasar lagi yang perlu dibenahi.
Oleh karenan itu, bagaimana supaya ada semacam penyiasatan supaya keseninan kita tidak mandul atau bahkan dikebiri? Kesenian tidaklah barang mati yang membusuk jadi bangkai. Tetapi kesenian bisa berkembang dari situasi dan kondisi apapun, berusaha peka terhadap fenomena-fenomena yang ada di dalam maupun di luar kesenian itu sendiri. Di titik inilah beban dan peran para-Dewan Kesenian yang harusnya menjadi penyangga, hendaknya memiliki suatu dinamika, bukan menahan diri. Karena bagaimanapun kesenian akan dan selalu menjadi bagian dari masyarakat. Â Sudah barang tentu kondisi masyarakat (yang katanya kaum seniman) akan ikut mempengaruhi dunia kesenian. Pertanyaan selanjutnya adalah sudah sejauh mana atau dimanakah posisi masyarakat (yang katanya kaum seniman) membaca-memahami dan peka merangsang terhadap gejala-gejala yang lahir dari proses berkesenian?
Sesungguhnya Ada hal yang lebih mendasar lagi yang perlu dibenahi. Misalnya, muncul usaha untuk mengubah dan memberi pandangan baru mengenai kesenian yang tentu saja tidak berdasar (hanya berpijak pada pengilhaman-pengilhaman masa lampau). Maka tidak heran, bila hari ini ramai disaksikan timbul fenomena dikotomi kesenian antar masyarakat (baca: yang katanya kaum seniman), sehingga saling bersikeras untuk mempertahankan pandangan masing-masing, mempertahankan kebenaran-kebenaran yang dianut sebagai kebenaran absolut dalam berkesenian atau bahkan tidak ada sama sekali keterbukaan -diskursus- dalam berkesenian.
Tentu tidak bisa mengharapkan (gerangan) kesenian yang sehat dan saling menerima bila tidak terjadi, dengan apa yang disebut seni kolektif.
Seni Kolektif?
Hari ini kepelakuan seni (yang katanya kaum seniman) semakin ramai diperbincangkan mengenai kerja-kerja yang katanya  kolektif. Istilah "kolektif" yang jamak digunakan oleh banyak kelompok seni (yang katanya kaum seniman) masa kini untuk menyebutkan diri mereka sebetulnya sepadan dengan "komunitas" akan tetapi dengan derajat, status dan pencapain kolektifitas yang lebih tinggi.
Kelompok atau sanggar, atau yayasan, atau komunitas, atau organisasi, atau dewan kesenian, atau apapun nomenklaturnya, kesemuanya merupakan sebuah wadah kerja sama, didalamnya skelompok orang (yang katanya kaum seniman) yang berusaha mendayagunakan semua sumber yang tersedia untuk mencapai tujuan. Pertanyannya tujuan apa? tujuan yang mana? Tujuan yang bagaimana? Sekalipun terdapat jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, yang agaknya bisa diprediksi pasti bernada pembenaran buta, pembenaran yang bersensasi "angin lewat begitu saja" tentang bagaimana arah (gerangan) kesenian.