Apa yang terjadi di dinas kependudukan dan pencatatan sipil Kabupaten Jember kemarin adalah cerminan bahwa birokrasi kita masih belum bisa terbebas dari yang namanya pungli, mental pungli nampaknya masih melekat di dalam tubuh birokrasi Jember.
 Dilakukannya OTT (Operasi Tangkap Tangan) yang dilakukan oleh Polres Jember terhadap kepala Dispendukcapil (SW) dan seorang oknum sipil berinisial AK tidak hanya mencoreng kota Jember saja, namun juga kementerian dalam negeri sebagai induk dari Dispendukcapil.Â
Proses centralisasi yang awalnya bertujuan untuk mencegah pungli-pungli di tingkat kecamatan faktanya hanya sekedar omong kosong belaka, karena kenyataannya praktek pungli tersebut hanya berpindah tempat saja.Â
Dari yang semula di kecamatan berpindah ke kabupaten. Preseden buruk seperti ini sangat meresahkan dan merugikan masyarakat Jember di tengah ribetnya proses administrasi kependudukan kita, proses yang berbelit -- belit dan memakan waktu lama ditambah dengan antrean yang menjalar panjang ternyata dimanfaatkan oleh para birokrat Dispendukcapil Jember sebagai ladang penghasil uang.Â
Bagaimana tidak, menurut pengakuan oknum -- oknum yang terlibat dalam kasus ini setidaknya mereka mendapatkan satu hingga sembilan juta per hari dari hasil pungutan liar ini, dan sekitar 30 juta per bulan. Jumlah yang fantastis bukan?Â
Skandal pungli disini terbilang cukup rapi dan tertata, menurut berbagai sumber salah seorang oknum yang tertangkap yaitu AK ia bertindak sebagai "pengepul" atau koordinator dari calo -- calo bawahannya.Â
Menurut pengakuannya AK mengurus melalui calo -- calo bawahannya untuk memungut biaya kepada pemohon, dimana untuk satu KTP, KK, dan akte dihargai senilai Rp 100.000,- per item sedangkan KIA seharga Rp 25.000,- per item.Â
Kemudian berkas yang dikumpulkan AK tadi selanjutnya diserahkan ke Kepala Dispendukcapil melalui sopir pribadinya sedangkan untuk jatah hasil pungli langsung diserahkan oleh AK kepada Kadispendukcapil. Melalui praktik seperti ini mereka menjanjikan KK/KTP bisa jadi dalam waktu yang cepat, dan tidak perlu mengantre berpanas - panasan.Â
Meski SW dan AK telah ditetapkan tersangka oleh Polres Jember saya meyakini bahwa tidak hanya kedua orang tersebut aktor pungli ini, staff dan operator seharusnya juga kena sebab merekalah yang memproses dan mencetak surat -- surat kependudukan itu. Hal ini sesuai dengan pasal 56 KUHP angka 1 yang berbunyi "Barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu". Kasus ini perlu diusut secara tuntas sampai ke akar -- akarnya agar tidak ada lagi benang kusut di tubuh Dispendukcapil, sebab dinas ini sangat penting keberadaannya dan sangat vital, mulai dari akte kelahiran, KK, KTP, dan KIA dicetak disini. Jika dikemudian hari terjadi kasus yang serupa tentu lagi -- lagi masyarakat Jember menjadi korban. Saya kasihan melihat warga yang antusias mengurus urusan kependudukannya hingga "direwangi" datang ke Dispendukcapil dinihari, sekitar pukul 02.00 hanya untuk demi mendapatkan antrean awal.Â
Tetapi disisi lain yang membuat miris ternyata ada oknum yang memanfaatkan demi memungut pundi -- pundi rupiah, sehingga tidak salah jika orang kemudian curiga dan menganggap proses centralisasi pengurusan ini hanya bertujuan untuk dimanfaatkan oleh kepala Dispendukcapil pribadi. Kemudian seperti kita ketahui bersama pada Senin, 12 November 2018 kemarin mungkin menjadi puncak dari keresahan warga, sekitar pukul 12 siang sejumlah ormas melakukan demo di depan kantor Dispendukcapil.Â
Pada intinya mereka menuntut Bupati Jember saat ini untuk turun dari jabatannya karena dianggap turut serta menjadi bagian dari kasus OTT ini. Bahkan dari kabar yang beredar Bupati Jember dan beberapa pejabat saat ini memiliki KTP lebih dari satu alias KTP ganda, jelas ini selain menyalahi aturan juga perlu dipertanyakan apa motif mereka memiliki KTP lebih dari satu.Â