Takbiran menjadi momen paling sakral orang -- orang beriman yang sebulan penuh menjalankan perintah ibadah puasa Ramadhan. Setelah sebulan penuh menggembleng diri, menirakati diri, waspada dari segala perbuatan dosa dan hati -- hati untuk menjaga niat supaya nyambung dengan Allah maka di momen hari raya inilah mereka menyadari sepenuhnya mana yang sejati, mana yang sementara. Mana yang Tuhan asli , mana yang Tuhan palsu. Mana diri kita yang sejati, mana diri kita yang hanya identitas budaya.
Siapapun saja yang mengucapkan takbiran mestinya ia menyadari bahwa ia amat sangat kecil. Allah Maha Besar dan kita amat sangat tidak berdaya. Kita amat sangat kecil bahkan tidak ada. Bahkan dengan ciptaanNya misalnya matahari, kita hanyalah setitik yang sangat -- sangat kecil. Besar dan kecil disini jangan kita fikirkan dengan ukuran sebab Allah itu laisa kamislihi syaiun. Allah tidak menyerupai Apapun dan apa yang ada dibenak kita pasti itu bukan Allah. Pengetahuan akal kita tidak akan mungkin menjangkau Allah yang Maha Besar.
Maka setelah kita sadar kita sangat tidak berdaya dan sangat kecil maka menjadi aneh jika di momen hari raya ini kita masih berbangga dengan identitas budaya kita, gelar kita, pangkat kita, harta kita, asal usul kita dll. Padahal di hadapan Allah, semua itu hanyalah tanggungjawab dan anugerah yang mestinya disikapi dengan rasa syukur dan rendah hati. Jadi, Takbiran mestinya menyadarkan kita bahwa pangkat sejati kita adalah Hamba Allah. Tidak ada apapun yang pantas disombongkan oleh manusia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI