Mohon tunggu...
Em Amir Nihat
Em Amir Nihat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Kecil-kecilan

Kunjungi saya di www.nihatera.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Balada Legen

9 Maret 2021   08:07 Diperbarui: 9 Maret 2021   08:22 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pak Wigar tak tahu pasti sudah berapa ratus pohon kelapa ia panjat. Otot -- ototnya terus ia paksa dan keringatnya terus ia coba peras demi menafkahi keluarga dan menyambung hidup. Sebagai penderes legen atau nira, ia hidup dari panjat pohon ke pohon yang lain.

Legen berasal dari bunga pohon kelapa yang bunganya berbentuk sulur. Sulur bunga ini lalu dipotong sedikit demi sedikit untuk disadap getahnya yang ditampung pada sebuah bumbung yang terbuat dari potongan batang bambu satu ruas. Lama penyadapan ini biasanya semalam, pada sore hari bumbung diletakkan sebagai penampung, maka pada pagi harinya sudah memuat penuh satu bumbung. Satu manggar bunga biasanya menghasilkan sekitar tiga hingga enam legen. Lumayan. Pikir Pak Wigar.

Istri beliau, Bu Soimah sedang mengandung anak ketiga buah cinta tak terduga mereka. Di umur empat puluh delapan tahun tak ada yang mengira Bu Soimah bisa hamil lagi. Padahal mereka sudah mensiasati dengan ikut program KB, hanya saja di bulan tujuh yang lalu Bu Soimah tidak meminum pil KBnya. Bu Soimah menginginkan sensasi bercinta seperti dulu. Baginya menggunakan KB membuat gairah kurang dan tidak nyetrum lagi. Jadilah badannya berbadan dua. Bu Soimah berbohong pada Pak Wigar. Pura-pura lupa tak meminum pil KB.

"Pak. aku ngidam minta belikan baju batik sekar jagad Kebumen. Besok harus dibelikan pak." Ucap Bu Soimah mlongos

"Iya, Bu. Besok. Ini bapak sedang ngedur lembur manjatnya. Kemarin bapak ngobrol sama Pak Wagiman dan Pak Komisan mohon supaya diberi jatah pohon kelapa rada banyakan. Alhamdulillah mereka mengizinkan, Bu." Timpal Pak Wigar

"Kemarin Ayin nelpon. Uang saku mondok habis. Minta kirim uang lagi, Pak. "

"Si bungsu juga merengek minta dibelikan mainan saat ada acara Jamjaneng. Padahal jatah buat dapur kurang."

Pak Wigar menghela nafas panjang, fikirannya kosong menerawang jauh. Ia tak membalas istrinya, hanya berbicara dalam hati

"Aku bersyukur Ayin bisa mondok di Pondok Pesantren Al Kahfi, Somalangu. Pondok bersejarah dan tertua di Asia Tenggara. Katanya didirikan tahun 1475 M, dan pendirinya adalah Sayid Muhammad Ishom Al-Hasani atau yang dikenal dengan nama laqob Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani, seorang tokoh ulama yang berasal dari Hadhramaut, Yaman, yang lahir pada tanggal 15 Sya'ban 827 H di kampung Jamhar, Syihr. Meskipun aku tidak bisa ngaji dan tidak bisa baca Qur'an, Aku harap Ayin jangan kayak bapaknya. Ia harus jadi orang yang pandai ilmu agama dan bermanfaat buat masyarakat. Apapun yang terjadi takkan kubiarkan anakku kehabisan uang saku. Aku harus melakukan sesuatu."

Di Desa Sembara Angin, Sebuah desa yang jaraknya dari rumah Pak Wigar bisa ditempuh dengan mengendarai motor selama perjalanan setengah jam. Disana ada makam keramat yang sering didatangi banyak orang. Berbondong-bondong orang datang. Dari desa seberang, kecamatan seberang sampai luar kabupaten. Banyak yang percaya kalau berziarah ke makam keramat itu kemudian mengirim sesaji dan bertapa melek selama satu hari satu malam akan didatangi wangsit dan permintaan apapun akan terkabul.

Pak Wigar pamit ke Bu Soimah. Sambil berdalih bahwa ada lemburan dua hari di luar kota. Ikut Pak Arifin mroyek. Jadi kuli bangunan.

Malam panjang nan hitam itu Pak Wigar mengkafirkan dirinya, ia melakukan sesajen dan bertapa melek di makam keramat. Ia duduk bersila sambil tangannya menengadah ke atas untuk memelas pinta dan bagaikan batu besar berjejer-jejer, terlihat puluhan manusia bersila sambil komat kamit mengharap permintaannya makbul. Desa Sembara Angin memang terkenal akan pesugihannya.

Mulutnya komat -- kamit meminta, matanya terjaga selama dua puluh empat jam dan sesajen pun telah ditaburkan berupa ayam cemani, buah pisang, cengkir, dan bunga-bunga kesukaan para jin namun nasib baik tak berpihak pada Pak Wigar. Tak ada tanda munculnya wangsit. Tak ada suara ghaib yang menyambar telinganya. Pak Wigar kecewa, ia pulang menanggung kebingungan dan kebuntuan bergunung-gunung.

"Aku tidak dapat uang, Bu. Kemarin bapak bohong yang katanya ikut mroyek. Bapak penasaran dengan makam keramat di Desa Sembara Angin jadi bapak ke tempat itu."

"Untuk apa bapak kesana "

"Bapak buntu, bu. Bapak bingung mau mencari uang dimana. Jadi bapak kemarin kesana dengan membawa sesajen. Berharap wangsit alam merespon keluh kesah bapak."

Bu Soimah memegang perutnya mengelus-ngelus jabang bayi yang bersembunyi manja di gua sang ibu. Bu Soimah menggigit bibirnya menggerutu dan wajahnya semakin pucat pasi. Kecewa berat. Sambil menggeleng-geleng kepala, air mata kesedihan tak dapat dibendung, malang tak dapat dihilang.

"Bapak kok jadi seperti itu. Gak nyangka aku, Pak. Kecewa ibu sama Bapak. Kalau misal kekurangan. Ibu paham kok Pak, ibu orangnya cerewet tapi kenapa gak diobrolin dulu."

Pak Wigar membisu seribu bahasa. Sepi. Hampa. Frustasi. Lelah. Pusing. Stres. Ia langsung mengambil beberapa bumbung lalu ia ikat ke pinggangnya dan langsung tancap gas ke ladang guna mengambil legen. Sementara Bu Soimah sesenggukan merana. Air matanya tumpah seketika.

Di ladang, Pak Wigar langsung memanjat pohon kelapa. Baru sepuluh tapal pijakan ia panjat yang kira-kira tingginya dua belas meter, kepalanya pusing seakan-akan semua yang dilihatnya berputar dan matanya juga sayup-sayup layu akibat begadang di makam semalaman suntuk. Pak Wigar merasa tubuhnya lemah dan ia pun roboh terjatuh menghantam kerikil tanah memerah.

Di rumah, Bu Soimah kedatangan tamu Pak Lurah yang membawa alat bantu memanjat pohon kelapa dan bantuan uang tunai satu juta rupiah yang diserahkan atas desakan warga dua bulan lalu. Bu Soimah senang sekali. Terbayang dibenaknya sedang belanja membeli batik sekar jagad bersama Pak Wigar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun