Malam panjang nan hitam itu Pak Wigar mengkafirkan dirinya, ia melakukan sesajen dan bertapa melek di makam keramat. Ia duduk bersila sambil tangannya menengadah ke atas untuk memelas pinta dan bagaikan batu besar berjejer-jejer, terlihat puluhan manusia bersila sambil komat kamit mengharap permintaannya makbul. Desa Sembara Angin memang terkenal akan pesugihannya.
Mulutnya komat -- kamit meminta, matanya terjaga selama dua puluh empat jam dan sesajen pun telah ditaburkan berupa ayam cemani, buah pisang, cengkir, dan bunga-bunga kesukaan para jin namun nasib baik tak berpihak pada Pak Wigar. Tak ada tanda munculnya wangsit. Tak ada suara ghaib yang menyambar telinganya. Pak Wigar kecewa, ia pulang menanggung kebingungan dan kebuntuan bergunung-gunung.
"Aku tidak dapat uang, Bu. Kemarin bapak bohong yang katanya ikut mroyek. Bapak penasaran dengan makam keramat di Desa Sembara Angin jadi bapak ke tempat itu."
"Untuk apa bapak kesana "
"Bapak buntu, bu. Bapak bingung mau mencari uang dimana. Jadi bapak kemarin kesana dengan membawa sesajen. Berharap wangsit alam merespon keluh kesah bapak."
Bu Soimah memegang perutnya mengelus-ngelus jabang bayi yang bersembunyi manja di gua sang ibu. Bu Soimah menggigit bibirnya menggerutu dan wajahnya semakin pucat pasi. Kecewa berat. Sambil menggeleng-geleng kepala, air mata kesedihan tak dapat dibendung, malang tak dapat dihilang.
"Bapak kok jadi seperti itu. Gak nyangka aku, Pak. Kecewa ibu sama Bapak. Kalau misal kekurangan. Ibu paham kok Pak, ibu orangnya cerewet tapi kenapa gak diobrolin dulu."
Pak Wigar membisu seribu bahasa. Sepi. Hampa. Frustasi. Lelah. Pusing. Stres. Ia langsung mengambil beberapa bumbung lalu ia ikat ke pinggangnya dan langsung tancap gas ke ladang guna mengambil legen. Sementara Bu Soimah sesenggukan merana. Air matanya tumpah seketika.
Di ladang, Pak Wigar langsung memanjat pohon kelapa. Baru sepuluh tapal pijakan ia panjat yang kira-kira tingginya dua belas meter, kepalanya pusing seakan-akan semua yang dilihatnya berputar dan matanya juga sayup-sayup layu akibat begadang di makam semalaman suntuk. Pak Wigar merasa tubuhnya lemah dan ia pun roboh terjatuh menghantam kerikil tanah memerah.
Di rumah, Bu Soimah kedatangan tamu Pak Lurah yang membawa alat bantu memanjat pohon kelapa dan bantuan uang tunai satu juta rupiah yang diserahkan atas desakan warga dua bulan lalu. Bu Soimah senang sekali. Terbayang dibenaknya sedang belanja membeli batik sekar jagad bersama Pak Wigar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H