Siang ini mendung menyapa jalanan. Kendaraan lalulalang bagai sapuan deras hujan dari balik kahyangan. Suara-suara knalpot menghentakan kalbu dan memporakporandakan indahnya kesunyian.
Jalanan itu dahulunya adalah hutan rimba tempat bermukimnya satwa-satwa yang bebas bereskpresi. Kini para satwa itu bertarung dengan keberuntungan dan kekomersilan. Rumahnya dihancurkan, tanahnya dijajah dan kehidupannya di penjara serta kebebasannya bisa direnggut hanya demi hiasan, makanan dan pakaian
Seekor kucing kecil berjalan di pinggir jalan arah halte yang biasa digunakan para manusia.
Kucing kecil itu berjalan tertatih-tatih, di kaki kanan yang belakang terdapat luka berdarah yang robek seperti bekas bacokan manusia. Sambil mengemis memelas, ia sambangi satupersatu para manusia yang berkumpul di halte itu. Hanya demi satu tujuan : Barangkali ada yang mau mengobati dirinya.
Bagi manusia, kucing dipuja jika lucu, bulunya bagus atau trah keturunan persia atau anggora. Namun jika terlahir dengan warna yang kurang memuaskan manusia, bulunya jelek atau sakit-sakitan maka kucing ini akan ditelantarkan dan dibuang ke jalanan.
Benar saja, tak ada satu manusiapun yang iba kepadanya. Para manusia di halte itu sudah kadung sibuk dengan kepentingannya masing-masing.
Tatapan kucing kecil itu kosong, ia melanjutkan perjalanan. Entah sampai kapan ia menuju kehampaan.
Note : Hewan adalah makhluk ciptaan Tuhan. Mereka punya hak hidup yang sama dengan manusia. Memang benar manusia adalah kunci rantai makanan, namun eksploitasi yang berlebihan, pengekangan bahkan menyakiti hewan sangat-sangat tidak dibenarkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H