Malam ini serasa sepi. Jam dinding yang berdetak hanyalah teman bersuaranya. Sementara angin malam yang semilir terus saja membuat bulu kuduk merinding. Kamar-kamar kos sebelah sudah sepi dan lampu juga sudah dimatikan tampaknya sudah pada tertidur lelap.
Alan, Joni dan Iqbal yang baru saja pulang kerja (sift sore) sedang obrol tentang masa depannya masing-masing. Cerita masalalu dan kenangan-kenangan yang indah juga tampak asyik untuk didiskusikan. Namun begitu, kenangan pahit juga perlu dijelaskan supaya menjadi pelajaran buat mengarungi kehidupan ke depannya.
Alan adalah anak orang yang tak punya. Orangtuanya miskin. Satu-satunya harapan akan perubahan hidup adalah masa depan Alan. Untuk hal itu maka Alan disekolahkan di STM. Orangtuanya pengin Alan menjadi orang sukses di Kota seperti pamannya. Pamannya dulu sekolah di STM dan sukses. Inspirasinya berangkat dari sini.
Namun ada yang luput dari orangtuanya, yakni minat dan bakat dari Alan. Sedari kecil Alan sangat menggemari dan tertarik dengan sastra. Dia bahkan pernah punya niat kuliah sastra. Tetapi karena sebab keuangan dan tak mau mengecewakan orang tua, Alan menempuh jalur sekolah STM. Tujuannya supaya lulus nanti bisa mendaftar di perusahaan besar. Gajinya juga lumayan.
Sampai akhirnya, Alan diterima diperusahaan besar. Dan bertemulah dia dengan Joni dan Iqbal.
Joni lain lagi, Joni adalah anak orang yang cukup berpunya. Orangtuanya tak memaksa dirinya untuk sekolah STM atau SMA, yang penting Joni nyaman dan sesuai minat dan bakatnya. Joni yang minat dan bakat dengan dunia permesinan sangat gembira bahwa pekerjaannya sesuai bakat dan minatnya, sampai akhirnya dia bersahabat dengan Alan dan Iqbal.
Dan Iqbal adalah anak orang yang tak punya. Orangtuanya memang tak miskin tetapi keseharian keluarganya sangat sederhana. Orang tuanya sudah memasrahkan masa depannya kepada Iqbal. Sekolah, tak sekolah, mondok, kerja atau apapun. Asalkan bukan pekerjaan haram, orangtuanya mendukung. Namun Iqbal bersekolah di STM bukan karena minat, bakat atau paksaan. Tetapi karena ikut-ikutan dengan teman yang lain. Temannya banyak yang di STM sehingga dia pun sekolah di STM. Iqbal tak menyadari bahwa ikut-ikutan tanpa menimbang bakat dan minat bisa menjadi bumerang dikemudian kelak. Bisa menjadi batu sandungan yang mengganggu kehidupannya. Sampai akhirnya dia bersahabat dan disatukan dalam pekerjaan dengan Joni dan Alan.
Tiga pemuda yang mempunyai latar belakang berbeda, kepentingan berbeda dan tujuan yang berbeda kini disatukan di dalam satu pekerjaan di perusahaan besar. Tampaknya mereka sedang curhat tentang jalan kehidupan yang mereka lalui.
Alan memulai curhatannya,
"Kita disatukan disini yang pertama karena takdir. Yang kedua karena pekerjaan. Kita dari latar belakang yang berbeda dan waktu sekolah pun kita tak pernah tahu bahwa senang atau tidak senang kita harus menerimanya. Kita tak tahu harus pekerjaan apa, kerja apa, kerja dimana. Inilah konsekuensinya dan kita harus menjalaninya. Kita punya kewajiban disitu. Tetapi aku hanya ingin flashback ke jaman kita masih sekolah dulu. Aku tak akan menyalahkan orangtuaku sebab aku disini. Walau aku lebih tertarik dunia sastra daripada permesinan. Mereka sudah maksimal ingin mensukseskanku. Tentunya dengan cara mereka yakni aku harus merantau seperti halnya pamanku yang lebih dulu sukses."
Joni tiba-tiba menyela pembicaraan,