Bencana adalah prasangka manusia atau wujud menilai suatu keadaan dimana keadaan itu tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya. Padahal setiap kejadian, baik itu gunung meletus, tanah longsor, gempa, tsunami, banjir dan lain sebagainya merupakan hak alam untuk menggerakan dirinya.
Tentunya pasti atas qodrat irodat Tuhan. Jadi, tidak ada bencana karena "bencana" hanya istilah yang dibuat-buat oleh manusia. Mungkin tepatnya adalah sabda alam sebab memang perlu diketahui juga bahwa alam dan bumi itu adalah tempat, sedangkan kita adalah penghuni.
Penghuni pun mengklaim tempat tiap-tiap tanahnya juga atas kesepakatan antar manusia, tidak ada izin atau undian atau audisi dari alam untuk memilih siapa penghuninya. Sehingga klaim "miliknya" seolah-olah benar-benar adalah miliknya, padahal hanya amanat belaka.
Bukankah tugas manusia itu menjadi khalifah yang memakmurkan bumi ? Bukankah seharusnya manusia dan alam saling bersahabat. Tidak ada pengrusakan hutan, penebangan pohon secara membabi buta atau pengrusakan tempat-tempat lainnya.
Kondisi inilah yang akhirnya memicu pertarungan antar manusia. Dari perebutan tanah secara baik atau curang, perebutan kekuasaan, perebutan jabatan dan hal tetekbengek lainnya yang muaranya hanya untuk kebahagiaan manusia di dunia menurut sangkaan manusia.
Atas dasar kekuasaan pula manusia bisa saja mendominasi manusia yang lain. Ada yang menyangka bahwa ia melakukan perbaikan atau kemajuan dengan membangun pulau baru (reklamasi Jakarta, Teluk Benoa dan tempat-tempat lainnya), bandara baru ( Bandara di KulonProgo), Pabrik Semen ( Pati, Rembang) dan tempat-tempat lainnya tetapi tanpa mereka mau mengaku bersalah telah berselingkuh dengan alam. Padahal alam adalah kakak kita. Saudara kita yang lebih tua. Ditambah sokongan dari rezim yang hanya ingin kemajuan berbasis menghancurkan alam ini pula proyek-proyek itu tetap lanjut hingga sekarang.
Walau para penghuni di tempat itu tidak menyetujui bahkan menolak tetapi kekuasaan pemerintah dan pihak kapitalis bak kekuasaan "Tuhan" yang harus mereka setujui. Padahal mereka punya hak juga untuk tinggal, punya hak juga untuk mempertahankan mata pencahariannya dan punya hak juga membela alam tempat tinggalnya. Sehingga chaos pun terjadi. Walau pun bisa ditebak bahwa suara-suara perjuangan itu tidak akan mau didengar para penguasa yang orientasinya kemajuan kulit. Yakni kemajuan yang mempertontonkan kemegahan gedung-gedung mewah yang padahal hanya akan dimiliki segelintir orang-orang berdasi kaya raya. Akhirnya, masyarakat asli atau yang berpenghuni tersebut akan menjadi anak tiri di rumahnya sendiri. Kondisi ini sudah berjalan. Alampun tau mana yang baik untuknya, mana yang buruk untuknya.
Gunung Agung yang meletus di Bali bisa pertanda bahwa alam sedang memberi sinyal darurat bahwa ia juga punya hak untuk dijaga, bukan malah dihancurkan dengan proyek-proyek yang orientasinya hanya untuk kalangan elit bejat. Banjir-banjir di Jogja bisa pertanda bahwa alam di Jogja juga memberontak dengan kerusakan-kerusakan yang terjadi di Jogja. Pembangunan Bandara yang terkesan arogan dan memaksa telah membuat ratusan rakyat berlinang air mata. Rumahnya dirusak. Rumahnya dirobohkan. Mungkin sebentar lagi Gunung Merapi juga akan marah oleh ulah manusia-manusia yang hanya bertujuan duit semata. Hanya demi satu tujuan kemajuan semu yakni kemegahan bandara.
Para elit-elit menyangka bahwa ia sedang melakukan perbaikan atau kemajuan padahal mereka hanya berposisi menghancurkan dan perebutan kekuasaan semata. Sedangkan masyarakat lokal hanya akan menerima imbas dari rencana fatamorgana berbasis perbaikan atau kemajuan.
"Dan bila dikatakan kepada mereka: 'Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi'. Mereka menjawab: 'Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan'. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar."Q.S. Al-Baqarah 11-12
Pertanyannya, berapa banyak sekarang orang-orang elit, pemimpin-pemimpin yang berlagak seperti itu yakni menyangka ia melakukan perbaikan, kemajuan dan kemegahan ? Padahal sebenarnya merekalah biang kerusakan itu sendiri. Merekalah tersangka utama biang kerusakan itu.
"Dan apabila mereka berjumpa dengan orang yang beriman, mereka berkata : 'Kami telah beriman'. Tetapi apabila mereka kembali kepada setan-setan ( para pemimpin) mereka, mereka berkata, 'sesungguhnya kami bersama kamu, kami hanya berolok-olok."Q.S Al Baqarah : 14
Berapa banyak para kaum berjouis, Kamu elit, para pemimpin-pemimpin yang mencitrakan dirinya sebagai orang yang beriman. Padahal itu hanya kamuflase tipudaya untuk mengkelabuhi masyarakat banyak, sampai jika bertemu anggotanya mereka bilang memperolok-olok. Memperolok-olok itu bukan hanya ucapan secara langsung yakni ujaran kebencian tetapi strategi politik busuk yang orientasinya kekuasaan semata itu juga termasuk memperolok-olok masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H