Mohon tunggu...
Em Amir Nihat
Em Amir Nihat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Kecil-kecilan

Kunjungi saya di www.nihatera.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Anak Petani yang Mencari Guru dan Tersesat di Rimba Perkotaan

25 November 2017   18:48 Diperbarui: 25 November 2017   18:58 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama, Saya mengucapkan terima kasih banyak kepada seluruh guru di Indonesia. Bukan hanya guru di akademisi tetapi juga guru agama, guru silat, guru kehidupan atau siapapun yang berjasa buat manusia lainnya. Itulah guru. Guru disebut dengan "digugu lan ditiru" maka siapapun yang ucapannya bisa dipercaya dan perilakunya menjadi teladan itulah guru. Jadi, guru tidak berhenti sebatas simbolis kartu pekerjaan.

Kedua, Jika ada guru maka simbiosisnya pasti ada murid. Jadi diibaratkan guru adalah pencetak sedangkan murid adalah yang dicetak. Problem kita selama ini adalah tentang yang "dicetak". Artinya muridlah yang akan berperan aktif menampung ilmu-ilmu yang diberikan oleh sang guru.
Kita berangkat dari desa saja sebab dari desalah kenyataannya murid dengan biaya apa adanya. Kita tidak akan bicara murid kota yang tentu bisa dengan mudah memilih sekolahnya sebab mahal bukan jadi soal lagi. Namun murid desa punya problem lain yang seharusnya setiap keluarga desa memahami dan menyadari.

Penulis merangkum ada beberapa kendala proses belajar murid :

1.Setiap anak Desa kebanyakan masih nurut kemauan orangtuanya untuk sekolah. Artinya Orangtua yang memaksakan anaknya untuk menjadi apa. Padahal tiap anak punya cita-cita dan keahlian berbeda-beda tetapi di Desa itu semacam ada pola berjamaah dimana orang tua dengan paksaannya memilih jalan anaknya. Inilah problem anak menjadi kurang berkembang sebab kemauan anak dan orangtua bisa saja lain. Misalnya, Sang anak pengin sekolah olahraga sedangkan orangtua memaksanya menjadi seorang karyawan. Inilah problem kita disini, ada arogansi lebih peran orangtua. Walau biasanya ada faktor keuangan yang juga ikut nimbrung. Sehingga sang anak pun pasrah mengikuti kemauan orangtuanya.

2. Ada yang ikut-ikutan. Tren ikut-ikutan masih berjalan di Desa. Umumnya masyarakat kelas menengah ke bawah. Kebanyakan Petani. Anak-anak ikut-ikutan teman-temannya sehingga mereka lupa apa tujuan dan keahliannya. Padahal jika digali sesuai minat dan bakat maka bisa saja kekuatan justru muncul dari pedesaan. Tetapi lagi-lagi ini masalah faktor ekonomi. Di Desa ramai-ramai anak akan di sekolahkan ke SMK goalnya menjadi kuli pabrik dengan gaji 5juta/bulan. Gara-gara saudaranya yang sudah merantau atau melihat perantauan sukses maka orangtua dan anak lupa apa cita-citanya. Sehingga jika dibilang secara jujur, anak-anak desa kehilangan cita-cita sebab goalnya adalah uang atau menjadi kuli. Mudah-mudahan orangtua juga pada sadar bahwa anak punya minat dan bakat yang tentu itu adalah haknya. Orangtua tidak berhak memaksakan keinginannya sehingga seharusnya orangtua itu mendukung bakat dan minat sang anak. Bukan malah menjadikan anak sebagai ajang melampiaskan keinginannnya

Mengapa cerita di atas hanya anak petani ? sebab penulis sendiri adalah anak dari seorang petani. Apa yang diucapkan oleh petani ? bersekolahlah yang tinggi, jangan jadi tani seperti bapak. Awalnya aku menyangka ini adalah motivasi buatku untuk bersekolah tinggi. Tetapi karena pola-pola yang sepertinya memang digiring ke situ sehingga akhirnya beralih menjadi kuli pabrik. Pertanyaannya, mengapa petani sampai bilang begitu, apakah hasil petani kurang memadai atau memang sekarang petani dianak tirikan yang justru sekarang pembangunan gedung dan teknologi di anak emaskan, apakah begitu ?

Ternyata jika dijawab, aku jawab ia. Sebab memang sekarang nilai jual panen tidak bisa mengimbangi biaya kehidupan. Bahkan untuk bersaingpun harus siap ruginya daripada untungnya. Apa tujuan pemerintah membangun sistem SMK ? Menjadikan manusia yang menjadi tuan di tanah sendiri atau menjadi kuli di tanah sendiri. Tanpa mau berprasangka buruk, sistem ini malah menjadikan anak-anak bangsa hanya menjadi kuli. Walau slogannya mencetak wirausaha atau pengusaha. Tetapi anak-anak desa dengan ekonomi kecil mana punya modal. Hingga akhirnya dicaplah bahwa itu adalah sekolah yang menjurus ke perkulian alias kita sebagai kuli di tanah air sendiri.

Justru menariknya adalah anak-anak Cina. Mereka dididik dari kecil sesuai bakat dan minatnya. Juga diajari dagang dan berwirausaha. Meskipun tidak ada sistem SMC ( sekolah menengah Cina) tetapi anak-anak Cina tumbuh menjadi anak yang beretos kerja tinggi, bermental pengusaha, dan justru saling menyokong sesama anak Cina. Silakan Cek apakah ada anak Cina yang sekolah di SMK. Seharusnya pola inilah yang dikerjakan bangsa kita. Di tanah air sendiri, kita seharusnya menerapkan pendidikan yang mencetak anak muda bermental pengusaha. Entalah, apakah memang ada pola-pola yang diciptakan begitu sehingga akhirnya mental anak-anak Indonesia malah diciptakan sebagai mental siap jadi. Bukan berjuang dari bawah, perlahan-lahan, kemudian kuat.

Pertanyaan lagi, 50 tahun yang akan datang gimana nasib dengan petani kita ? Padahal minat anak-anak petani sudah hilang dengan sawahnya, jika dibilang kini di Desa hanya ada petani-petani Pak Tani dan Bu Tani. Sedangkan Anak Tani sekarang sudah sangat jarang. Padahal Negara kita kaya akan tanah. Negara Maritim. Tetapi mengapa justru Bangsa ini mau diarah meniru Bangsa Barat yang justru disana bukan Bangsa Maritim. Jika diajak berfikir ke depan, justru mungkin petanilah yang nanti akan sukses. Sebab nanti Petani makin sedikit sedangkan konsumsi nasi makin banyak. Sehingga nilai padi akan mahal. Apalagi jika jumlah petani yang makin menyusut. Bangsa Indonesia mau mencotoh siapa ? Amerika, Jepang, Belanda. Mengapa kita mencontoh dari Bangsa penjajah itu. Kita punya Majapahit, Sriwijaya. Mengapa kita tidak mau belajar dari nenek moyang sendiri. Katanya nenek moyangku itu orang pelaut. Atau jangan-jangan sekarang ada penjajah yang merubah bahwa nenek moyangku orang pabrik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun