Mohon tunggu...
Em Amir Nihat
Em Amir Nihat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Kecil-kecilan

Kunjungi saya di www.nihatera.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebijakan Full Day School, Relevankah?

11 Agustus 2017   10:28 Diperbarui: 12 Agustus 2017   09:13 906
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum adanya Sekolahan, Masyarakat Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal disiplin ilmu yaitu Ngaji di Pesantren.Sekolahan menjadi jembatan awal bahwa pendidikan di Indonesia mulai  dititik beratkan pada kepentingan yang ujung-ujungnya adalah masalah pekerjaan.Sekolahan yang seharusnya memberi ruang para pelajar untuk mengekspresikan jangkauan ilmunya dan pendapatnya kini terhalang oleh yang namanya simbolis gelar.Artinya orang yang mempunyai gelar boleh berpendapat dan diakui sedangkan yang belum mencari gelar ngomong atau berpendapat apapun tetap tidak diperhatikan.

Dari sekian mata pelajaran yang diajarkan disekolahan,seperti IPA,IPS,PKn,Fisika,Kimia,Matematika,Bahasa Indonesia dan lain sebagainya,para pelajar diharuskan mempelajari semuanya,yang padahal setiap minat pasti berbeda.Menyuruh mempelajari semuanya sama saja menyuruh makan padahal sedang tidak mau makan,menyuruh ke pasar padahal tidak mau ke pasar.Pendidikan menjadi tabu,Pendidikan menjadi ajang baru yaitu mencari pengakuan.Artinya jika ingin diakui oleh masyarakat maka bersekolahlah dan dapatkan gelar meskipun tidak mengerti benar ilmunya yang penting bergelar saja.Masyarakat akan memuliakanmu.

Titik berat suatu bidang keilmuan adalah saat ilmu itu relevan dengan apa yang dialami dan dikerjakan setiap peserta didik di kehidupannya.Artinya bidang akhlak dan bidang agama adalah ilmu yang paling tinggi karena akan langsung berdampak di kehidupan sehari-hari.Dan ini yang semakin luntur dan hilang dari sekolahan.

Sekolahan memang mencetak orang-orang pintar tetapi untuk yang sekaligus berakhlak,sepertinya ini masih belum.Ironisnya hanya pendidikan sekolah yang diakui secara negara,artinya aparatur negara diambil dari orang-orang yang bersekolah.Dan lihatlah betapa,koruptor-koruptor itu adalah orang-orang cerdas dan berprestasi tetapi gagal secara akhlak.Hendaknya sekolahan itu berbenah diri supaya tidak lagi membanggakan gengsi dan gelar melainkan lebih fokus kepada ilmu yang relevan dengan kegiatan sehari-hari.

Pesantren meskipun tidak diakui secara negara artinya memang hanya dianggap pendidikan agama,yang padahal pesantren telah menyumbangkan para peserta didik untuk menjadi insan yang berakhlak.Titik berat pesantren ada pada menciptakan manusia yang berakhlak.Dan lihatlah di realita,bahwa lulusan pesantren meskipun ada yang tidak pintar tetapi menyumbangkan jiwa-jiwa manusia yang berakhlak.Sangat berbanding terbalik dengan sekolahan.

Lagi-lagi sekolahan memang harus berbenah.Apalagi dengan wacana Full Day School ini menjadi masalah karena bisa mematikan pendidikan pesantren padahal pendidikan pesantren sudah ngalah melaksanakannya di sore hari atau malam hari.Ini yang paling ditakutkan.Dari paparan diatas,nyata benar bahwa bukan masalah jamnya artinya memang letak masalah pendidikan sekolah bukan pada durasi jam tetapi lebih kepada system pengajarannya yang terkesan serakah.Padahal jika minat bisa diarahkan akan lebih matang.

Padahal jika lebih dititik beratkan pada bakat pasti akan lebih menguatkan.Namun realitanya,para peserta didik harus memakan apa yang tidak ingin dia makan,harus ke pasar padahal sebenarnya ingin ke masjid sehingga sebab bukan karena minat dan bakatnya maka disiplin ilmu itu akan menjadi kenangan saja tanpa bisa dipraktekan dikehidupan sehari-hari.

Full day School juga menambah beban bagi masyarakat miskin karena dengan tambahnya durasi belajar maka uang saku pun menjadi tambah.Padahal ini tidak diimbangi dengan pekerjaannnya yang pas-pasan.Pemerintah semestinya juga melihat aspek ini,bukan melihat pada titik berat penilaian guru.Guru itu kan pengayom.

Jika guru hanya berorientasi pada gaji maka bisa dipastikan bahwa mutu guru juga perlu dikaji ulang.Tetapi bukan berarti menambah jam durasi belajar, yang dibutuhkan adalah kemampuan guru untuk bisa mengambil hati dan tahu apa minat,bakat,kemampuan dari murid sehingga guru pun tidak lagi monoton dengan pelajaran yang tekstual,ia bisa mengespolitasi kemampuan dan daya pikir murid tanpa harus terfokus pada teks yang ada di buku panduan.

Demikian juga para orangtua,jangan memaksakan kehendaknya pada anak untuk belajar pada bidang ternetu.Bukan pada keinginan atau kehendak orangtua,anak akan maju dan berbakat jika pendidikannya atas dasar kemauan,minta dan bakatnya.Problem di masyarakat adalah orangtua memaksakan sekolah anak sesuai keinginan orangtua.

Memaksakan anak menjadi dokter padahal anak bercita-cita jadi guru.memaksakan anak menjadi karyawan pabrik padahal cita-cita anak pengin jadi tentara. Biarlah anak berkembang sesuai keinginan dan minatnya asalkan tidak berbenturan dengan norma agama,maka orangtua juga semestinya mendukung.barulah jika minat itu bertentangan dengan norma agama,orangtua punya hak untuk melarang sang anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun