Pendidikan karakter sangatlah penting untuk kehidupan bermasyarakat dan harus dimulai sejak usia dini, terutama di rumah. Contohnya, pengajaran tentang penggunaan kata-kata seperti "tolong," "maaf," dan "terima kasih" dapat membentuk sikap sopan santun pada anak. Di beberapa negara, seperti Jepang, pendidikan karakter dimulai sejak usia dini, baik di rumah maupun di sekolah, seperti pendidikan dalam Taman Kanak kanak. Sebagai contoh, ketika anak-anak di Jepang menyeberang jalan, mereka akan menoleh ke arah pengemudi dan membungkukkan badan sebagai tanda terima kasih, yang merupakan bagian dari budaya mereka yang sangat menghargai kesopanan dan saling menghormati.
Di sisi lain, di negara seperti Finlandia, anak-anak tidak diwajibkan untuk membaca dan menulis sebelum usia 7 tahun. Pendidikan awal yang diterapkan di sekolah-sekolah anak-anak di Finlandia lebih fokus pada permainan, kreativitas sosial, dan pengembangan karakter. Pendekatan ini bertujuan untuk membantu anak-anak mengembangkan keterampilan sosial dan emosional mereka terlebih dahulu. Ketika mereka mencapai usia 7 tahun, anak-anak di Finlandia biasanya lebih cepat dan mudah dalam mempelajari hal-hal baru, serta lebih tertib dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam antri dan kegiatan lainnya. Pendekatan pendidikan karakter ini membantu anak-anak menjadi lebih siap dalam menghadapi tantangan hidup.
Selain itu, dalam jurnal Implementasi Penanaman Nilai-Nilai Karakter pada Anak Usia 4-5 Tahun di TK Masjid Syuhada oleh Wiyarti (2021), disebutkan bahwa pendidikan karakter di usia dini tidak hanya berfokus pada penanaman nilai moral, tetapi juga pada pengembangan keterampilan sosial seperti empati, rasa tanggung jawab, dan kemampuan berinteraksi dengan orang lain. Pendidikan karakter yang diajarkan sejak usia dini akan mempercepat proses pembentukan kepribadian yang kuat dan mampu beradaptasi dengan lingkungan sosialnya.
Sedangkan itu budaya keramahtamahan dan sopan santun yang sudah lama dikenal sebagai ciri khas Indonesia kini menghadapi tantangan yang cukup besar. Meskipun Indonesia dikenal dengan keramahan dan budayanya, fenomena kekerasan antar pelajar atau perundungan (bullying) semakin marak terjadi, dan ini mengancam nilai-nilai yang kita junjung tinggi. Pada tahun 2024, beberapa kasus perundungan yang cukup memprihatinkan terjadi, salah satunya di SMA Binus School Serpong, di mana sekelompok siswa terlibat dalam tindakan perundungan terhadap teman sekelas mereka. Kasus ini mengundang perhatian publik karena melibatkan kekerasan fisik dan mental yang dilakukan oleh kelompok terorganisir.
Tidak hanya di sekolah swasta, perundungan juga banyak terjadi di berbagai sekolah lainnya, bahkan ada beberapa kasus yang berujung pada cedera serius. Data dari lembaga pendidikan menunjukkan bahwa fenomena ini juga menjangkiti sekolah-sekolah madrasah dan pesantren, yang biasanya dikenal dengan pendekatan pendidikan berbasis nilai moral dan spiritual. Ini menunjukkan bahwa masalah ini tidak hanya terbatas pada sekolah-sekolah umum, tetapi juga menyentuh lembaga pendidikan agama.
Lalu, apakah kita harus sepenuhnya menyalahkan sekolah? Memang pada dasarnya, sekolah memiliki fungsi utama sebagai tempat menuntut ilmu, namun pendidikan karakter pertama kali dimulai di rumah. Sayangnya, tak semua orang tua paham tentang bagaimana cara mendidik anak dengan baik. Bahkan, ada kecenderungan bahwa banyak orang tua saat ini cenderung menghindari keruwetan dalam mengurus anak-anak, terutama ketika mereka masih balita. Misalnya, ketika anak rewel, mereka sering diberikan handphone agar diam dan tidak merengek. Hal ini tentu saja berisiko, karena anak akan menjadi mudah tantrum dan ketergantung pada gadget, yang dimana seharusnya tidak menjadi cara utama dalam menenangkan mereka. Bahkan, banyak orang tua yang memberikan handphone secara personal untuk dimiliki secara pribadi kepada anak-anak mereka yang masih di usia sekolah dasar, yang dapat mengalihkan perhatian mereka dari hal-hal yang lebih penting, seperti belajar dan berkembang.
Padahal, masa anak-anak, terutama antara usia 1 hingga 10 tahun, adalah masa emas (golden age) yang sangat penting dalam perkembangan otak dan karakter mereka. Pada masa ini, setiap rangsangan positif yang diberikan sangat memengaruhi perkembangan mereka, baik itu dalam aspek kognitif, sosial, maupun emosional. Jika kita memberikan gadget terlalu dini, kita justru menghalangi mereka untuk berkembang dengan optimal, terutama dalam hal interaksi sosial dan pengembangan keterampilan motorik.
Kualitas interaksi antara orang tua dan anak, terutama di usia balita, sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter dan perkembangan emosional anak. Sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal Azzahra (2020) mengungkapkan bahwa orang tua memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk perilaku anak melalui kedekatan dan pemahaman yang positif. Anak-anak yang mendapatkan perhatian penuh dan pengertian dari orang tuanya akan lebih mampu mengelola emosi dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar. (Jurnal Azzahra, 2020)
Selain itu, dalam Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat (2020) dijelaskan bahwa meskipun banyak orang tua menghabiskan waktu bersama anak mereka, kualitas interaksi tersebut seringkali tidak cukup baik untuk mendukung perkembangan emosi anak. Ini menunjukkan bahwa, selain kebersamaan, kualitas interaksi sangat penting untuk mendukung tumbuh kembang anak yang optimal. (E-Journal Unair, 2020)
Memahami bahwa usia balita adalah periode emas dalam perkembangan anak, orang tua harus memberikan perhatian lebih pada interaksi dan stimulasi positif. Dengan cara ini, anak-anak dapat tumbuh menjadi individu yang cerdas, sosial, dan emosional yang seimbang.
Sebagai orang tua, kita memiliki tanggung jawab besar untuk membentuk karakter anak sejak dini. Pendidikan karakter yang dimulai di rumah akan berpengaruh besar pada sikap dan perilaku mereka di luar rumah, termasuk di sekolah. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus belajar dan beradaptasi dengan cara mendidik yang bijak agar anak-anak dapat tumbuh menjadi pribadi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki empati, rasa tanggung jawab, dan kemampuan untuk menghormati orang lain.