Dunia telah menyaksikan eskalasi konflik di wilayah Gaza antara Israel dan Hamas selama lebih dari satu bulan, yang telah menelan belasan ribu korban, terutama anak-anak dan warga sipil tak bersalah. Situasi ini benar-benar membuat rasa kemanusiaan menjadi lemah. Sangat wajar jika hal ini memicu solidaritas global untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina.
Seruan untuk boikot barang Israel dan perusahaan yang diduga mendukung agresi militer adalah salah satu bentuk tindakan yang sedang populer. Pada skala nasional, Majelis Ulama Indonesia (MUI) baru-baru ini mengeluarkan Fatwa Nomor 83 Tahun 2023, yang menyatakan bahwa mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina merupakan kewajiban moral dan agama. Sebaliknya, tidak boleh mendukung Israel atau menggunakan produk yang mendukung Israel.
Namun, pertanyaannya adalah apakah boikot produk Israel adalah solusi yang efektif atau hanya reaksi terhadap konflik Palestina yang terus berlanjut? Sebelum membuat keputusan tentang masalah yang sangat sensitif ini, beberapa hal harus dipertimbangkan.
Boikot telah muncul sebagai strategi politik dalam dinamika konflik global, digunakan untuk menunjukkan ketidaksetujuan dan mempengaruhi perubahan. Setidaknya ada dua contoh yang menunjukkan bahwa boikot berhasil mengurangi eskalasi konflik hingga menghentikan peperangan.
Pertama, kampanye boikot terhadap minyak sawit dilakukan terhadap pemerintah militer Myanmar pada tahun 2000-an, di mana mereka terlibat dalam konflik bersenjata dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di wilayah etnis minoritas negara tersebut.
Organisasi Hak Asasi Manusia dan kelompok aktivis telah meluncurkan sebuah kampanye yang sangat berarti, yaitu boikot terhadap produk minyak kelapa sawit dari Myanmar. Tujuan dari kampanye ini adalah untuk memutus sumber pendanaan bagi rezim militer yang tidak manusiawi, yang sebagian besar diperoleh dari ekspor minyak kelapa sawit. Dalam upaya ini, konsumen dan perusahaan yang mendukung kampanye ini dengan tegas menghentikan pembelian produk minyak kelapa sawit yang berasal dari Myanmar. Dengan tindakan ini, mereka menunjukkan kepedulian mereka terhadap hak asasi manusia dan menegaskan bahwa mereka tidak akan mendukung rezim yang melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan.
Tekanan ekonomi yang besar disebabkan oleh boikot ini mendorong rezim untuk berubah. Boikot dianggap sebagai salah satu faktor yang berkontribusi pada pembebasan oposisi dan transisi menuju pemerintahan Myanmar yang lebih transparan pada tahun 2010-an, meskipun itu bukan satu-satunya faktor.
Sebagai contoh kedua, mari kita lihat kampanye boikot yang dilakukan terhadap praktik apartheid di Afrika Selatan. Pada masa yang kelam tersebut, di mana segregasi rasial dan ketidaksetaraan hak-hak sosial merajalela, masyarakat internasional dengan gagah berani meluncurkan kampanye boikot ekonomi terhadap rezim apartheid.
Tak terhitung banyaknya kelompok aktivis, organisasi antiapartheid, dan negara-negara di seluruh dunia yang turut serta dalam boikot terhadap produk-produk yang berasal dari Afrika Selatan. Bahkan, mereka juga melakukan divestasi terhadap perusahaan-perusahaan yang beroperasi di negeri tersebut. Institusi keuangan dan perusahaan internasional yang terhormat pun dengan tegas menghentikan investasi dan bisnis mereka dengan pemerintah Afrika Selatan sebagai bentuk protes yang luhur terhadap sistem apartheid yang keji.
Boikot internasional yang telah berlangsung akhirnya berhasil memberikan tekanan yang luar biasa terhadap rezim apartheid. Akhirnya, pada tahun 1994, Afrika Selatan mengakhiri sistem apartheid yang tidak adil dan Nelson Mandela terpilih sebagai presiden dalam pemilihan demokratis yang pertama di negara tersebut. Dua contoh ini dengan jelas menunjukkan bahwa boikot ekonomi memiliki peran yang sangat penting dalam mengubah kebijakan politik dan menghentikan bentuk ketidakadilan sosial.
Namun, jika kita melihat situasi di Gaza dalam tiga dekade terakhir, kondisinya sama memprihatinkan dengan era rezim militer Myanmar dan masa politik apartheid di Afrika Selatan. Selama blokade yang dilakukan oleh Israel, warga Gaza terus menderita pelanggaran HAM dan ketidakadilan sosial yang terjadi hampir setiap saat.