Mohon tunggu...
Aafajar
Aafajar Mohon Tunggu... Guru - Guru PAUD

Pembelajar Yang Tidak Pernah Pintar (email : aafajaroke@gmail. com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penyakit "Sekolahitis" dan "Linieritis"

6 Juli 2018   23:34 Diperbarui: 1 September 2018   22:43 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan sebagai penentu keberhasilan seseorang di dalam menjalani kehidupan didunia ini tidak dapat dipungkiri. Bahkan kemajuan suatu Negara ditentukan oleh kualitas pendidikan yang diperoleh oleh rakyatnya. Karenanya setiap Negara memprioritaskan anggaran Negaranya untuk pelaksanaan pendidikan. Di Indonesia sendiri, Pemerintah menganggarkan pendapatannya 20 % untuk bidang pendidikan.

Besarnya anggaran yang ditetapkan oleh Pemerintah menunjukkan pentingnya pelaksanaan pendidikan bagi setiap warga negara. Harapannya setiap warga negara menjadi manusia - manusia yang unggul, hingga mampu bersaing di era globalisasi seperti sekarang ini.

Salah satu wujud nyata yang dilakukan oleh pemerintah agar setiap warga Negara nya mendapatkan pendidikan yang layak adalah dengan menggratiskan biaya pendidikan di Sekolah Negeri mulai dari jenjang Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas atau Kejuruan (SMA/SMK).

Kebijakan pemerintah tersebut sangatlah baik dan semoga dapat ditingkatkan hingga ke jenjang pendidikan tinggi. Atau ke sekolah-sekolah yang dikelola oleh swasta, sehingga semakin besar peluang seluruh warga Negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak sesuai harapan Negara.

Namun kebijakan pemerintah tersebut hanya terfokus pada Sekolah, sehingga memperkuat keberadaan sebuah penyakit di masyarakat yang telah ada sejak lama. Yaitu penyakit sekolahitis. Inilah penyakit yang dapat menghambat pencapaian dari tujuan pelaksanaan pendidikan yang dicanangkan oleh pemerintah.

Apa itu penyakit sekolahitis ?

Sekolahitis adalah penyakit radang pemikiran yang cara kerjanya membelenggu pikiran si penderita dalam bersikap terhadap ilmu. Sehingga si penderita menganggap yang namanya kegiatan menuntut ilmu, memperoleh ilmu hanya di sekolah saja. Selesai belajar di sekolah maka selesailah kewajiban menuntut ilmu, setelah mendapat ijazah tugas selanjutnya adalah mencari uang bukan lagi mencari ilmu.

Begitulah gejala orang yang terkena penyakit sekolahitis, belajar ketika hanya di sekolah saja atau masih berstatus siswa atau mahasiswa, ikut bimbingan belajar pun hanya untuk meningkatkan nilai di sekolah. Keberhasilan hidup hanya ditentukan di sekolah, sukses tidaknya seseorang menurut mereka hanya berdasarkan sekolah.

Padahal kegiatan menuntut ilmu bukan hanya di sekolah dan bukan ilmu yang dipelajari di sekolah saja. Bahkan tidak sedikit orang yang tidak bersekolah menjadi orang yang berhasil, mengungguli orang-orang yang bersekolah tinggi, contoh nyatanya adalah ibu Menteri Susi Pudjiastuti yang ada di kabinet pemerintahan Jokowi sekarang.

Dan kebalikan dari Ibu Susi, di Indonesia sendiri pada tahun 2014 pernah ada seorang bersekolah tinggi di kampus ternama ingin bunuh diri secara legal. Ini contoh nyata orang yang mengidap penyakit sekolahitis. Dia bernama Ignatius Ryan tumiwa lulusan S2 Universitas Indonesia jurusan ilmu administrasi dengan indeks prestasi kumulatif cukup membanggakan. Namun dia frustasi karena lama tidak mendapat pekerjaan hingga Ia memutuskan ingin bunuh diri.

Penderita penyakit sekolahitis, masih tinggi jumlahnya di Indonesia. Hal tersebut ditunjukkan dengan rendahnya minat baca masyarakat Indonesia.

Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa penelitian yang dilakukan oleh beberapa lembaga. Bahkan, posisi negara kita Indonesia cukup memprihatinkan, yakni menempati posisi kedua terakhir dalam hal minat baca. Sebuah studi dari Central Connecticut State University di tahun 2016 mengenai "Most Literate Nations in the World" menempatkan Indonesia sebagai negara ke-60 dari total keseluruhan 61 negara.

Selain itu, per Januari 2018, data dari statista.com menunjukkan sebuah fakta bahwa 44% populasi masyarakat dewasa Indonesia menggunakansmartphone untuk mengambil foto dan video dan hanya 3% yang menggunakannya untuk membaca buku maupun majalah digital.

Studi dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pun berbicara hal yang sama. Studi ini menunjukkan persentase minat baca masyarakat Indonesia hanya sebesar 0.01% atau 1 berbanding 10.000.

Bisa kita bayangkan seseorang yang mengidap penyakit sekolahitis ketika dia membentuk sebuah keluarga. Jika dia seorang lelaki berarti di dalam keluarga dia menjadi kepala keluarga, jika dia tidak belajar tentang ilmu membina keluarga, mendidik anak,  karena ilmu-ilmu tersebut tidak diajarkan di sekolah, maka keluarganya rawan kehancuran dan pastinya jauh dari nilai-nilai kebaikan yang harus ada di dalam rumah tangga.

Keluarga adalah bagian terkecil dari sebuah negara,  jika mayoritas keluarga yang ada rusak, maka negara tersebut berada di ambang kehancuran. Individu - individu yang baik akan membentuk keluarga yang baik, masyarakat yang baik pun akan terbentuk, sehingga negara akan menjadi baik. Tentu kebaikan tersebut diperoleh dengan ilmu yang diperoleh bukan hanya di sekolah. Ingat, hingga saat ini disekolah belum ada pelajaran jadi ayah atau Ibu yang baik, apalagi pelajaran cara mendidik anak yang baik.

Penyakit sekolahitis ini juga diperparah dengan penyakit linieritis. Yaitu penyakit yang membelenggu seseorang dalam menuntut ilmu, dia hanya dapat menerima pada satu ilmu saja. Penderita penyakit linieritis memiliki gejala enggan mempelajari ilmu yang bukan bidang pekerjaannya.

Contoh nyata dan banyak di masyarakat yang terkena penyakit ini, yaitu enggannya mempelajari ilmu agama dikarenakan anggapan mereka bahwa yang mempelajari ilmu agama hanyalah Ustad saja, sementara mereka, misal dia seorang dokter cukup belajar ilmu kedokteran saja tidak perlu belajar ilmu agama. Anggapan mereka jika ingin tahu tentang ajaran agama cukup bertanya kepada Ustaz atau tokoh agama saja.

Penyakit  linieritis ini banyak menyerang masyarakat, bukan masyarakat biasa saja, kalangan profesional pun terkena,  termasuk kalangan pendidik atau guru, dikarenakan peraturan pemerintah yang mengharuskan mereka hanya pada satu bidang keilmuan saja sesuai dengan mata pelajaran atau jenjang sekolah tempat mengabdi. Misal, sorang guru TK, dia harus berpendidikan PAUD saja. Jika bukan maka guru tersebut tidak dapat dimasukan sebagai guru tersertifikasi dan penerima tunjangan profesi guru.

Profesionalisme lah alasan pemerintah memberlakukan sistem linier kepada para pendidik. Alasan tersebut bagus, profesionalisme memang harus namun bukan berarti mengabaikan keilmuan yang lain. Bukankah satu bidang akan menjadi lebih baik jika keilmuannya terintegrasi dengan berbagai ilmu yang lain.

Seperti seseorang juga akan menjadi pribadi yang baik, pribadi yang berkualitas jika memilikimu keilmuan utama sesuai  profesinya yang ditunjang juga dengan berbagai disiplin ilmu lainnya yang dibutuhkan olehnya sebagai warga negara yang hidup bermasyarakat. Seorang dokter bisa menafsirkan Alquran tentu sangat baik, begitu juga seorang guru TK menguasai ilmu kesehatan tentu sangat baik. Bukankah anak-anak usia dini rantan terkena penyakit ?

Semoga Indonesia segera terbebas dari penyakit sekolahitis dan linieritas, sehingga cita-cita mewujudkan generasi gemilang menuju negara adidaya segera terwujud.

Tentu jika ingin sembuh dari penyakit haruslah minum obat sebagai terapi untuk menghilangkan penyakit tersebut. Setiap penyakit pasti ada penyebabnya dan untuk mengetahuinya perlu melakukan pemeriksaan melalui seorang dokter atau pengobat tradisional.

Setelah diketahui penyakitnya, seorang dokter akan memberikan saran - saran dan obat kepada si penderita agar penyakitnya segera sembuh. Dan dia harus mengikuti apa yang disarankan oleh dokter.

Karena penyakit sekolahitis dan linieritis terkait dengan pendidikan dan ini ada pada sebuah Negara,  yang terkena penyakit warga negaranya, maka yang harus mengobati adalah pemerintahnya. Dengan cara memeriksa kurikulum pendidikan yang ada kepada ahlinya, guna menemukan sumber penyakit nya untuk segera di obati sebelum menyebar luas ke seluruh tubuh. Tentu yang ahli dalam hal ini bukan seorang pengusaha atau politikus.

Jika sakit jantung berobatlah ke spesialis jantung bukan berobat ke dokter gigi. Jika ingin merenovasi gedung, jangan minta pendapat tukang tambal ban, apalagi dia yang mengerjakan. Jika tidak, renovasi nya akan terbengkalai. Kalaupun terlaksana, pembangunan nya lambat dan tidak sesuai desain gambar yang dibuat.

Wallohu 'Alam Bishowab.

Baca Juga : FENOMENA PENDIDIKAN KUTA

Aa Fajar

Guru TK Islam PB Soedirman, Cijantung Jakarta Timur

Foto Dokumentasi
Foto Dokumentasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun