Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa penelitian yang dilakukan oleh beberapa lembaga. Bahkan, posisi negara kita Indonesia cukup memprihatinkan, yakni menempati posisi kedua terakhir dalam hal minat baca. Sebuah studi dari Central Connecticut State University di tahun 2016 mengenai "Most Literate Nations in the World" menempatkan Indonesia sebagai negara ke-60 dari total keseluruhan 61 negara.
Selain itu, per Januari 2018, data dari statista.com menunjukkan sebuah fakta bahwa 44% populasi masyarakat dewasa Indonesia menggunakansmartphone untuk mengambil foto dan video dan hanya 3% yang menggunakannya untuk membaca buku maupun majalah digital.
Studi dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pun berbicara hal yang sama. Studi ini menunjukkan persentase minat baca masyarakat Indonesia hanya sebesar 0.01% atau 1 berbanding 10.000.
Bisa kita bayangkan seseorang yang mengidap penyakit sekolahitis ketika dia membentuk sebuah keluarga. Jika dia seorang lelaki berarti di dalam keluarga dia menjadi kepala keluarga, jika dia tidak belajar tentang ilmu membina keluarga, mendidik anak, Â karena ilmu-ilmu tersebut tidak diajarkan di sekolah, maka keluarganya rawan kehancuran dan pastinya jauh dari nilai-nilai kebaikan yang harus ada di dalam rumah tangga.
Keluarga adalah bagian terkecil dari sebuah negara, Â jika mayoritas keluarga yang ada rusak, maka negara tersebut berada di ambang kehancuran. Individu - individu yang baik akan membentuk keluarga yang baik, masyarakat yang baik pun akan terbentuk, sehingga negara akan menjadi baik. Tentu kebaikan tersebut diperoleh dengan ilmu yang diperoleh bukan hanya di sekolah. Ingat, hingga saat ini disekolah belum ada pelajaran jadi ayah atau Ibu yang baik, apalagi pelajaran cara mendidik anak yang baik.
Penyakit sekolahitis ini juga diperparah dengan penyakit linieritis. Yaitu penyakit yang membelenggu seseorang dalam menuntut ilmu, dia hanya dapat menerima pada satu ilmu saja. Penderita penyakit linieritis memiliki gejala enggan mempelajari ilmu yang bukan bidang pekerjaannya.
Contoh nyata dan banyak di masyarakat yang terkena penyakit ini, yaitu enggannya mempelajari ilmu agama dikarenakan anggapan mereka bahwa yang mempelajari ilmu agama hanyalah Ustad saja, sementara mereka, misal dia seorang dokter cukup belajar ilmu kedokteran saja tidak perlu belajar ilmu agama. Anggapan mereka jika ingin tahu tentang ajaran agama cukup bertanya kepada Ustaz atau tokoh agama saja.
Penyakit  linieritis ini banyak menyerang masyarakat, bukan masyarakat biasa saja, kalangan profesional pun terkena,  termasuk kalangan pendidik atau guru, dikarenakan peraturan pemerintah yang mengharuskan mereka hanya pada satu bidang keilmuan saja sesuai dengan mata pelajaran atau jenjang sekolah tempat mengabdi. Misal, sorang guru TK, dia harus berpendidikan PAUD saja. Jika bukan maka guru tersebut tidak dapat dimasukan sebagai guru tersertifikasi dan penerima tunjangan profesi guru.
Profesionalisme lah alasan pemerintah memberlakukan sistem linier kepada para pendidik. Alasan tersebut bagus, profesionalisme memang harus namun bukan berarti mengabaikan keilmuan yang lain. Bukankah satu bidang akan menjadi lebih baik jika keilmuannya terintegrasi dengan berbagai ilmu yang lain.
Seperti seseorang juga akan menjadi pribadi yang baik, pribadi yang berkualitas jika memilikimu keilmuan utama sesuai  profesinya yang ditunjang juga dengan berbagai disiplin ilmu lainnya yang dibutuhkan olehnya sebagai warga negara yang hidup bermasyarakat. Seorang dokter bisa menafsirkan Alquran tentu sangat baik, begitu juga seorang guru TK menguasai ilmu kesehatan tentu sangat baik. Bukankah anak-anak usia dini rantan terkena penyakit ?
Semoga Indonesia segera terbebas dari penyakit sekolahitis dan linieritas, sehingga cita-cita mewujudkan generasi gemilang menuju negara adidaya segera terwujud.