Mohon tunggu...
Dede Rahmat
Dede Rahmat Mohon Tunggu... -

Environmental Consultan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sudut Pandang Lain Tentang UKT

31 Mei 2016   12:16 Diperbarui: 31 Mei 2016   12:28 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebelumnya saya memohon maaf apabila dalam tulisan ini ada banyak data atau kata-kata yang kurang berkenan dihati pembaca atau para pihak yang terkait. Tulisan ini semata-mata adalah buah pikiran saya saja atas pengalaman dan pembacaan situasi yang berlangsung akhir-akhir ini. Tidak ada niatan untuk memberikan stigma negatif, saya sebagai penulis hanya ingin memberikan sebuah pendapat. Salah benar bagi saya tidak ada, yang ada hanya perbedaan sudut pandang. Dan inilah sudut pandang saya. Selamat membaca.

Sekilas tentang apa itu UKT?

                Uang Kuliah Tunggal atau sering disebut UKT, adalah sebuah sistem pembayaran dimana biaya kuliah mahasiswa selama masa studi dibagi rata per semester (rata-rata Universitas menggunakan 8 semester). UKT mulai diterapkan diberbagai perguruan tinggi terutama perguruan tinggi negeri (PTN) pada tahun ajaran 2013/2014. UKT yang dimaksud disesuaikan dengan Permendikbud No. 55 Tahun 2013 tentang Uang Kuliah Tunggal pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Pada masa awal penerapan UKT, beberapa Universitas menerapkan lima kelas atau lima cluster penentuan besaran UKT yang disesuaikan dengan penghasilan orang tua. Namun ada juga yang menentukan jumlah cluster lebih dari 5, salah satunya IPB yakni 8 kelas. Besaran UKT disesuaikan dengan sistem sebelumnya yang digunakan oleh Universitas yakni sistem subsidi silang, dimana penghasilan orangtua yang lebih kecil akan membayar lebih sedikit dibandingkan dengan mahasiswa dengan penghasilan orangtua yang lebih besar.

UKT sebagai sebuah kebijakan perlu Kontrol dan Evaluasi

               UKT yang sudah berjalan lebih kurang 4 tahun ini sepertinya semakin banyak menuai permasalahan. Permasalahan yang timbul terutama muncul dari para orang tua mahasiswa  yang merasa bahwa biaya UKT semakin lama semakin meningkat, namun sistem tidak berubah. Secara sederhana dapat dicontohkan bahwa misalkan cluster 2 di rata-rata universitas ditentukan berdasarkan penghasilan orang tua Rp. 500.000- Rp. 1.500.000, tahun 2013/2014 harus membayar Rp. 1.000.000, dan ditahun berikutnya 2014/2015 naik menjadi Rp. 2.400.000 dengan ketentuan yang sama seperti sebelumnya. Maka inilah yang berakibat menjadi sebuah permasalahan, penghasilan orangtuanya tidak bertambah tapi biaya semakin meningkat.

                Namun, masalah ini tidak begitu terasa karena bersamaan dengan kebijkan UKT, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang memberi angin segar, yakni Beasiswa Bidik Misi bagi Mahasiswa dengan latar penghasilan orangtua yang tergolong dalam kelas 1 dan 2 atau malah ada yang mencapai kelas 3. Beasiswa Bidik Misi dari ke tahun ke tahun mengalami kenaikan kuota penerima beasiswa sehingga baik orang tua calon mahasiswa yang berada pada kelas 1,2 atau 3 menjadi lebih santei dan merasa sangat terbantu, apalagi pihak Institusi Perguruan Tinggi yang kemudian memasukkan semua mahasiswa di kelas 1,2 atau 3 yang menerima beasiswa Bidik Misi kedalam satu kelas dengan biaya pendidikan yang sama. Orang tua tenang dan pihak institusi menjadi lebih untung.

                Sayang, semua pihak hampir ketergantungan penuh terhadap beasiswa Bidik Misi, baik orang tua yang tidak bersiap-siap untuk biaya anaknya (layaknya orang tua dulu sebelum kebijakan kenaikan pembayaran di Perguruan Tinggi), pihak institusi Perguruan Tinggi yang berharap akan semakin besar kuoita Bidik Misi yang akhirnya semakin banyak keuntungan juga, selain itu juga pihak-pihak kekritisan aktivis pergerakan yang memudar akibat merasa tidak ada masalah selagi ad beasiswa yang menguntungkan bagi mahasiswa. Semua pihak hampir tidak memperdiksi segala kemungkinan yang akan terjadi setelah itu.

Solusi yang mungkin bisa diterapkan

                Bulan Mei mungkin hingga Juni 2016 nanti, saat mulai penerimaan Calon Mahaiswa Baru tahun ajaran 2016/2017, kisruh biaya pendidikan akan semakin banyak karena adanya kenaikan biaya UKT pada tiap kelas di Perguruan-Perguruan Tinggi dan berkurangnya kuota Bidik Misi dari pemerintah. Hal ini mulai menuai perhatian banyak pihak.

Banyak solusi-solusi jangka pendek yang dilakukan berbagai pihak mulai dari para aktivis pergerakan yang mulai siap-siap mendemo institusi perguruan tinggi masing-masing dengan dalih penurunan biaya UKT atau penangguhan pembayaran UKT atau penambahan kuota Bidik Misi. Para alumni dan orang-orang yang peduli pendidikan mulai aktif untuk menyuarakan baik secara penggalangan dana lewat media sosial atau pun penggalangan dana lainnya untuk membantu mahasiswa-mahasiwa terutama mahasiswa dari daerah untuk lolos dan diterima di Perguruan Tinggi dengan biaya minimum. Hal ini sudah pasti baik, namun apakah hal ini akan terus dilakukan sampai tiap semester kedepannya? Saya pikir, permaslaahan ini perlu dicarikan juga solusi jangka panjang, agar hal demikian tidak terjadi secara masiv dan terus menerus.

                Sebetulnya kebijakan ini mudah menemukan solusi, selama ini pemerintah ataupun institusi menerapkan biaya UKT yang terus berdinamika setiap tahunnya, bahkan bukan dinamika tetapi terus meningkat, baik dalih karena nilai rupiah yang semakin melemah ataupun harga kebutuhan institusi yang semakin memingkat. Tapi, sampai saat ini ternyata pemerintah dan pihak Perguruan Tinggi yang notabene menerapkan biaya yang berubah-rubah tiap tahunnya, tetap menggunakan latar belakang penghasilan orang tua yang tetap, dalam hal ini menggunakan penghasilan orangtua yang langsung dalam rupiah atau menggunakan nilai uang secara nominal.

                Padahal, pemerintah dibidang ekonomi juga sudah melakukan upaya penentuan sesuatu yang berubah dalam penghasilan seperti halnya penentuan UMR (Upah Minimum Regional) atau UMK atau UMP. Contoh penentuan UMR yang sudah dilakukn adalah penetapan upah minimum dilaksanakan setiap tahun melalui proses yang panjang. Mula-mula Dewan Pengupahan Daerah (DPD) yang terdiri dari birokrat, akademisi, buruh dan pengusaha mengadakan rapat, membentuk tim survei dan turun ke lapangan, yakni pada sejumlah kota dalam provinsi yang dinilai representatif. Tim ini akan mencari tahu harga sejumlah kebutuhan yang dibutuhkan oleh pegawai, karyawan dan buruh. Setelah survei di diperoleh angka Kebutuhan Hidup Layak (KHL) -dulu disebut Kebutuhan Hidup Minimum (KHM). Berdasarkan KHL, DPD mengusulkan upah minimum regional (UMR) kepada Gubernur untuk disahkan.

                Nah, kenapa tidak untuk biaya pendidikan pun seharusnya melalui proses yang panjang dengan masukkan variabel-variabel berubah tersebut atau paling tidak kenapa tidak UMR atau UMK atau UMP ini dijadikan dasar bagi penentuan UKT?. Karena nilai riil uang di tiap daerah berbeda sama halnya dengan UMR atau UMK atau UMP.

Contoh penentuan kelas dalam UKT menggunakan UMR atau UMK atau UMP

Kelas 1 adalah pengahasilan orang tua sebesar <0,5 x (UMR atau UMK atau UMP)

Kelas 2 adalah penghasilan orang tua sebesar 0,5 x (UMR atau UMK atau UMP) s/d 1,5 x  (UMR atau UMK atau UMP)

Dst.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun