Daripada penyakit fisik seperti diabetes dan kolesterol, menjadi sosok dengan stereotipe seperti itu lebih menakutkan buat saya. Internalisasi ini bukan hal yang baik, tentu saja. Namun, kita harus mengakui bahwa hal-hal itu dibangun dan abadi di dalam masyarakat.
Menurut sumber, puber kedua memang merupakan sebuah kondisi psikologis yang umum, meski bukan istilah medis dan tidak bisa dijadikan sebagai diagnosis. Banyak orang mengalaminya: menjadi tua berarti hidup ribet seperti ketika remaja lagi.
Banyak orang pada fase itu secara impulsif melakukan hal-hal yang memuaskan hatinya belaka. Misalnya, mengagumi gebetan, membeli barang-barang yang sebetulnya bukan keperluan, atau berhenti bekerja tanpa sebab yang jelas.Â
Di usia 40 hingga 50 tahun, banyak orang mengalami krisis psikologis dalam diri karena sudah mengalami banyak hal signifikan dalam kehidupan. Pada usia itu, manusia mengalami krisis dan pergulatan karena banyak mempertanyakan pencapaian sepanjang hidupnya.
Jika krisis psikologis itu benar-benar nyata adanya, mungkin stereotipe-sterotipe itu disebabkan olehnya. Sebut saja stereotipe tentang emak-emak. Emak-emak menyalakan lampu sein ke kiri tapi ternyata belok kanan. Itu salah tapi generasi yang lebih muda harus memakluminya, karena apa? Ya karena mereka emak-emak. Mudah marah dan tidak mau kalah.Â
Emak-emak menyerobot antrian di swalayan. Itu salah tapi maklumi saja, karena apa? Ya karena mereka emak-emak. Hidupnya mungkin tidak lama lagi. Logika berpikir seperti itu yang membuat negosiasi antara generasi muda dengan orang tua seperti suatu hal yang mustahil. Jurang antar generasi terus terjadi. Seolah-olah, generasi muda harus memaklumi orang tua karena mereka memang old school, datang dari masa lampau dan sebaiknya ditinggalkan saja di belakang. Jika begitu, menyedihkan sekali menjadi tua.
Saya pikir, banyak generasi dari zaman manapun asalnya, kalau ada upaya untuk saling memahami, pasti bisa berjalan berdampingan. Berdampingan bukan cuma soal fisik, melainkan berdampingan menghadapi si waktu yang terus melahap segalanya. Hubungan timbal balik belajar-mengajar dengan menyiapkan pola pikir terbuka mungkin bisa membantu.
Ditinggalkan baik secara ideologis maupun fisik sepertinya memang akan terasa menyedihkan. Namun di sisi lain, bukan berarti juga bahwa menjadi tua harus terus menerus diberi perhatian 24/7, dibenarkan sepanjang waktu hanya dengan alasan "sudah tua". Sebab, dari sudut pandang orang tua pun, seringkali hal itu jadi pembenaran untuk memaksakan diri dan sekitar untuk terus menciptakan kondisi hidup di dalam zona nyamannya.
Mungkin, berusaha untuk tidak melulu benar bisa jadi salah satu cara bagi saya supaya tidak tua dengan menyebalkan. Jika ketika tua nanti saya harus hidup sendirian, sementara seluruh keluarga saya harus hidup dengan pilihan mereka masing-masing, saya pikir hal itu bukan masalah.
Untungnya, saya percaya bahwa menjadi tua dan kesepian itu niscaya. Manusia harus selalu siap dengan hal itu.
Jika narasi tentang "manusia mati tidak membawa apa-apa" itu terus diajarkan, mengapa menjadi tua dan kesepian itu tidak dapat ditoleransi?