Bebunyian itu memenuhi ruangan, mengiringi langkah kaki para pengunjung di Museum Bikon Blewut, Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Nadanya mirip tipikal musik yang datang dari kotak suara dengan penari balet yang banyak dijual di toko-toko. Alurnya patah-patah dan menimbulkan kesan kehati-hatian ketika mendengarnya.
"Bunyi Tanah: Flores Earthquake Data Sonification" (selanjutnya disebut dengan "Bunyi Tanah"), begitulah bebunyian itu diberi tajuk. Ia diputar selama museum beroperasi selama gelaran pameran seni dan arsip Re-Imagine Bikon Blewut (R-IBB) berlangsung pukul 10.00 hingga 22.00 WITA. Sepanjang sejarah berdirinya, mungkin inilah kali pertama Museum Bikon Blewut memutar bebunyian di ruang pamernya.
"Bunyi Tanah" sebagai sebuah karya digagas oleh Rahmadiyah Tria Gayathri (Ama), seorang seniman lintas media. Ama bekerja sebagai praktisi literasi bencana yang berbasis di Kota Palu, sekaligus salah satu pendiri Forum Sudut Pandang.Â
Dalam proyek "Bunyi Tanah", ia berkolaborasi dengan Hilman Arioaji (Rio) yang bekerja sebagai data scientist sekaligus salah satu pendiri kolektif audio visual bernama Berbahaya Network.
Ama pertama kali berkenalan dengan Museum Bikon Blewut di Kompleks Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero pada bulan Juni 2021. Seketika itu, Ama mengagumi beragam harta karun pengetahuan yang terdapat di Museum Bikon Blewut.
"Saya menimbang-nimbang kontribusi yang paling masuk akal yang bisa saya bagikan sebagai representasi karya sekaligus apresiasi atas tanah Flores yang menyimpan ribuan pengetahuan. Saya cukup tahu bagaimana kawan-kawan KAHE berproses merancang pameran ini dengan militansi dan penghargaan tertinggi atas leluhur mereka," ujar Ama.
Komunitas KAHE yang disebut oleh Ama adalah sebuah komunitas seni yang berbasis di Kota Maumere. Sejak tahun 2017, komunitas ini menggarap wacana bencana alam---khususnya gempa dan tsunami besar tahun 1992 yang menghantam Kota Maumere---melalui seni rupa dan pertunjukkan.
Sedangkan R-IBB, ruang dan waktu unjuk "Bunyi Tanah" untuk pertama kalinya, adalah sebuah gelaran pameran seni rupa dan arsip yang diselenggarakan oleh Komunitas KAHE, bekerja sama dengan Biennale Jogja XVI Equator #6 2021, Museum Bikon Blewut, serta SEMA STFK Ledalero.
Ide pokok R-IBB adalah membawa visi refleksi dan diseminasi pengetahuan tentang Museum Bikon Blewut dan segala produksi pengetahuan yang berlangsung di dalamnya. Di samping itu, R-IBB juga ingin membuka cakrawala pembacaan dan pemaknaan atas sejarah kolonialisme dan modernisme di Flores.
Kehadiran "Bunyi Tanah", diyakini oleh kedua empunya, sebagai upaya untuk mendekati Flores dari salah satu sisinya, yaitu bencana gempa. Menurut Ama, kebudayaan orang-orang Flores yang sangat lekat dengan praktik seni bunyi menjadi permulaan yang menarik untuk membuka tawaran pembacaan data pergerakan tanah di Pulau Flores.
Selama ini, bunyi dan musik bagi manusia digunakan sebagai alat komunikasi kebudayaan dengan beragam fungsi perayaan kehidupan---baik suka maupun duka. Posisi musik dan bunyi yang lahir dan dirawat dalam kebudayaan orang-orang Flores menjadi semakin krusial karena kontribusi Gereja Katolik dan beberapa lembaga pendidikan seminari.Â
Hal itulah yang membuat Ama dan Rio memilih bebunyian sebagai sebuah pendekatan untuk membangkitkan ingatan mengenai bencana gempa, sekaligus merawat kewaspadaan mengenainya.
Maka, "Bunyi Tanah" dimaksudkan sebagai sebuah medium komunikasi yang diharapkan dapat merambat ke dalam sensor ingatan yang mulai kabur terhadap catatan gempa dan selama ini sering diabaikan.
Pada dasarnya, "Bunyi Tanah" berasal dari sonifikasi data gempa kepulauan Flores dalam rentang tahun 1961 -- 2020. Ia adalah sebuah proyek interpretasi yang berupaya untuk menerjemahkan data seismik pergerakan tanah Flores yang tercatat dalam algoritma seni bunyi.
Data tersebut diidentifikasi dan diunduh dari arsip Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) yang kemudian diolah menggunakan perangkat lunak memanfaatkan teknologi Javascript. Audio yang diciptakan diolah dari parameter nilai tahun, bulan, magnitudo, dan kedalaman gempa bumi yang direpresentasikan dalam instrumen glockenspiel dan marimba.
Dalam menggarap "Bunyi Tanah", kedua seniman pertama-tama menentukan instrumen yang akan dipakai dan tempo untuk penanda. glockenspiel, misalnya, digunakan untuk parameter magnitudo.Â
Ada 3 tempo berbeda yang digunakan. Magnitudo 1 sampai 4 menggunakan tempo 1x, magnitudo 4,1 sampai 6 menggunakan tempo 2x, dan magnitudo 6,1 ke atas menggunakan tempo 3x.
Selama proses kreatif berlangsung, Ama dan Rio tidak mengalami kesulitan yang berarti. Kedekatan mereka dengan wacana kegempaan dan data sains membuat mereka dapat dengan mudah menemukan arsip-arsip tentang Flores.Â
Lagipula, Ama dan Rio menggunakan framework dan software opensource yang sudah siap pakai. Hanya saja, berhubung project software yang digunakan sudah tidak dikelola dengan baik oleh kreatornya, Rio mengakui ada sedikit kesulitan dalam proses instalasi software. Banyak dependencies atau plugins yang harus diinstal secara manual.
Bagi Ama dan Rio, data kegempaan yang mereka gunakan dalam "Bunyi Tanah" serta seluruh data kegempaan yang disebarkan oleh lembaga dan institusi berwenang di Indonesia selama ini telah menciptakan jarak dalam upaya komunikasi sains kepada publik. Kegagalan itu memicu lemahnya ingatan terhadap memori gempa dan ancaman bencana yang berulang.
Perlu dicatat bahwa Flores, sebagai lokus spesifik proyek ini, menjadi salah satu kawasan yang cukup progresif dalam rentetan kejadian gempa dari skala sedang hingga yang paling besar tercatat pada Desember 1992.
Ama dan Rio berkarya dengan penuh kesadaran bahwa selama ini, data sains tentang catatan seismik pergerakan bumi seringkali dianggap hanya jadi milik segelintir kelompok, khususnya para peneliti.
"Padahal, data itu tumbuh dan hidup. Pergerakan tanah yang terus terjadi akibat generator gempa yang berada di Flores membuat data itu dianggap tidak bernyawa. Kami mencoba melihat kemungkinan baru atas pembacaan data kegempaan menjadi lebih ramah untuk diajak berkomunikasi." Ujar Ama.
"Bunyi Tanah" merupakan sebuah upaya baru yang baik untuk merawat ingatan tentang bencana alam. Ingatan-ingatan itu kemudian akan membangun relasi manusia dengan tanah tempatnya dipijak.Â
Setelah pameran R-IBB selesai, Ama dan Rio akan mulai fokus untuk pengerjaan microsite "Bunyi Tanah". Tentu hal itu akan menciptakan jejak yang signifikan bagi seni penciptaan sekaligus upaya mitigasi bencana di Indonesia
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI