Mohon tunggu...
Aura
Aura Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja lepas

Menulis supaya tidak bingung. IG/Threads: aurayleigh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Serial Karantina Mandiri #2: Rumah yang Tidak Seperti Rumah

10 April 2020   10:15 Diperbarui: 10 April 2020   20:00 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[Artikel sebelumnya: Serial Karantina Mandiri #1]

Dinihari tanggal 25 Maret, supir taksi daring yang mengantar saya ke depan gerbang rumah bertanya tentang perjalanan saya. Saya menjawabnya dengan gembira---mengingat saya akan tiba di rumah segera.

Saya mencoba memahami perasaannya sebagai supir yang bertugas di luar rumah setiap hari selama masa pandemi covid-19.

"Sepi ya, Kang?"

"Sepi banget, Teh." Kami berbagi cerita tentang situasi di jalanan Bandung belakangan itu. Berdasarkan pengakuan sang supir, pendapatannya menurun drastis. 

Para penumpang menghindari transaksi menggunakan uang tunai dan lebih menjaga jarak. Tak jarang penumpang mengenakan masker sepanjang perjalanan dan tak bicara. Saya bayangkan, pekerjaannya bergerak terus, tetapi semakin sepi.

Tiba di rumah, ayah saya membukakan pintu. Seperti biasa, saya menuju kamar mandi di bagian belakang rumah untuk membersihkan segala sesuatu.

Penanganan pertama
Saya menggunakan air termos untuk mandi. Sementara itu, seluruh pakaian---mulai dari ikat rambut hingga sepatu---saya rendam menggunakan deterjen. Handuk yang saya gunakan setelah mandi bahkan langsung saya satukan dengan rendaman yang lain.

Seluruh barang bawaan saya bongkar. Tas ransel---yang sebelumnya terbungkus plastic wrap---saya rendam. Benda-benda saya keluarkan dan semprot menggunakan alkohol 70% dan tisu basah antiseptik. 

Kegiatan itu saya lakukan di pagi buta, sekitar pukul 3, ketika saya seharusnya sudah duduk santai di sandaran ranjang. Hati kecil saya mengeluh.

Bukan kegiatan seperti itu yang layak dilakukan seseorang di rumah, tempat yang biasanya paling mengakomodasi rasa capek dan rindu para penghuninya. Seketika, saya merasa seperti berada di tempat yang bukan rumah.

Lepas dari keluhan dalam hati, saya tak mau mengabaikan fakta bahwa saya tidak hidup sendiri. Di rumah, ada empat dewasa---termasuk satu lansia---dan dua anak-anak yang kesehatannya antara lain ada di tangan saya. Saya tak boleh lengah hanya karena merasa lelah.

Batang ai laga yang saya bawa dari Maumere untuk ditanam segera saya taruh di wadah berair. Saya menyertakan beberapa daunnya juga. Berjaga, kalau-kalau flu dan batuk datang pada saya suatu hari. Saya sangat menikmati mandi menggunakan air rebusan ai laga. Seluruh kelelahan dan perasaan penuh di hidung dan tenggorokan luruh bersama air yang membasuh tubuh.

Dinihari itu, saya tidur di kamar paling belakang, terpisah dengan anggota keluarga yang lain---sebelum mandi untuk yang kedua kalinya pada pagi hari. Saya hela nafas panjang. Sungguh, pengalaman pulang dari perjalanan kali itu membuat rumah tidak lagi seperti rumah bagi saya. Saya terasing dan lelah.

Penanganan lanjutan
Sebagai penanganan lanjutan atas perjalanan lima hari itu, saya berusaha menjaga kondisi tubuh tetap fit. Saya adalah tipe orang yang tidak begitu tertarik mengkonsumsi suplemen tambahan untuk tubuh, tetapi keadaan ini memaksa saya untuk mulai mencoba.

Untuk melengkapi vitamin C, saya mengkonsumsi setetes essential oil lemon---tentu saja yang edible---di air minum pagi tiap dua hari sekali. Saya juga mengkonsumsi vitamin E tambahan. 

Segala kegiatan yang bisa membuat fit tubuh saya, sebisa mungkin saya lakukan: minum air putih lima belas menit sekali, cuci tangan, berjemur, stretching tubuh di pagi hari, dan yang tak kalah penting, yaitu memperbaharui informasi tentang covid-19 dan mengeceknya segera ketika sumber dan kebenarannya masih diragukan.

Ketika santai, saya menanam batang-batang ai laga di halaman rumah dengan cara stek. Sebagian di dalam pot besar, sebagian lagi langsung di tanah. 

Sejujurnya, nama ai laga baru saya dapatkan beberapa hari yang lalu. Beberapa orang Maumere yang saya tanya tidak tahu nama tanaman yang sesungguhnya. 

Eka baru ingat nama sebutan itu setelah saya di rumah. Sebelumnya, saya berusaha mencarinya di mesin pencari dengan berbagai kata kunci, tapi tak berhasil.

Tanaman ai lagi atau legundi yang tumbuh subur di Maumere | Foto: Eka Nggalu.
Tanaman ai lagi atau legundi yang tumbuh subur di Maumere | Foto: Eka Nggalu.
Akhirnya, menggunakan fitur pencarian gambar di Google, saya berhasil mengetahui bahwa ai laga disebut legundi dalam bahasa Indonesia, atau Lagundi atau Lilegundi di Minang, Langgundi di daerah Sunda, Lagondi, 

Laghundi, Galumi di Sumba, Sagari di Bima, Laura di Makassar, Lawarani di Bugis (Sumber). Tanaman legundi memiliki banyak khasiat untuk tubuh manusia, terutama untuk masalah yang berkaitan dengan pernafasan dan pencernaan.

"Dulu, kalau kami flu. Mama pakai tanaman itu di dalam air mandi." Saya ingat kembali pernyataan Eka.

Selain meredakan flu, daun legundi digunakan sebagai obat analgesik, antipiretik, obat luka, obat cacing, obat tipus, peluruh air seni dan kentut, menormalkan siklus haid, dan pembunuh kuman. 

Saya pikir, pandangan saya terhadap tanaman ini berkembang sama seperti pandangan sebagian besar masyarakat nusantara terhadap jamu dan rimpang-rimpangan belakangan ini.

Omset para penjual jamu sempat meningkat di tengah pandemi Covid-19 karena mengandung jahe, temulawak, daun sereh, kunyit, dan bahan lain. Jahe lazim dikonsumsi karena menawarkan senyawa anti-inflamasi termasuk antioksidan. 

Sementara kunyit memiliki zat anti kataral yang dapat memperbanyak produksi lendir yang kemudian membatu mengeluarkan virus saat menyerang saluran pernapasan (Sumber bacaan).

Di tengah situasi ini, terasa betul ketidakberdayaan manusia dalam menjalani hal-hal yang diinginkan. Mengkonsumsi yang enak-enak harus pikir berulang kali tentang manfaatnya untuk tubuh. Bepergian bebas dan berkumpul pun tak bisa. Manusia berada di medan perang yang musuhnya diketahui tetapi tidak terlihat.

Di sisi lain, mungkin memang itulah yang dibutuhkan manusia. Apa yang kita inginkan seringkali lebih gemuk daripada apa yang sebetulnya kita butuhkan. Kita dibantu coronavirus untuk mengeliminasi hal itu.

Karantina mandiri 14 hari (bahkan lebih) ini telah mengingatkan saya pada pengalaman Viktor E. Frankl di kamp konsentrasi pada rentang tahun 1942-1945 yang ditulisnya dalam "Dari Kamp Kematian Menuju Eksistensialisme". 

Ada satu hal yang menyamakan kita dengan Frankl: tidak leluasa bergerak. Kebebasan bagai terenggut karena aktivitas yang bisa kita lakukan semakin sedikit pilihannya.

Persis di dalam kondisi itulah justru kemudian logoterapi---teori Frankl tentang pencarian makna hidup---muncul. Makna dalam pengertian Frankl bukanlah sesuatu yang mengawang-awang, melainkan kesadaran akan adanya kesempatan atau kemungkinan yang dilatarbelakangi oleh realitas. Simpelnya, manusia menyadari apa yang bisa dilakukan di dalam situasi tertentu.

Logoterapi mengajarkan tiga jalan dalam penemuan makna. Pertama melalui karya atau tindakan. Kedua, dengan mengenal orang lain. Ketiga, mengubah tragedi menjadi kemenangan.

Logoterapi dan pengalaman kamp konsentrasi Frankl memang tidak sesederhana itu saja. Namun ide pokok tentang kebebasan vs keterbatasan manusia niscaya bisa dipahami oleh setiap insan. 

Dalam keadaan terbatas, manusia bisa menemukan kebutuhan-kebutuhan (tubuh yang sehat, hidup yang lebih tertata, relasi yang baik dengan orang lain) dan tujuan-tujuan baru (bekerja dengan lebih baik, mengkonsumsi dengan lebih bijak, memperbaiki relasi yang rusak) yang sebelumnya mungkin tidak terpikirkan.

"Manusia bisa melestarikan sisa-sisa kebebasan spiritual, kebebasan berpikir merdeka, meskipun mereka berada dalam kondisi mental dan fisik yang sangat tertekan."

Viktor E. Frankl

[Bersambung]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun