Mohon tunggu...
Aura
Aura Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja lepas

Menulis supaya tidak bingung. IG/Threads: aurayleigh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Serial Karantina Mandiri #2: Rumah yang Tidak Seperti Rumah

10 April 2020   10:15 Diperbarui: 10 April 2020   20:00 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dulu, kalau kami flu. Mama pakai tanaman itu di dalam air mandi." Saya ingat kembali pernyataan Eka.

Selain meredakan flu, daun legundi digunakan sebagai obat analgesik, antipiretik, obat luka, obat cacing, obat tipus, peluruh air seni dan kentut, menormalkan siklus haid, dan pembunuh kuman. 

Saya pikir, pandangan saya terhadap tanaman ini berkembang sama seperti pandangan sebagian besar masyarakat nusantara terhadap jamu dan rimpang-rimpangan belakangan ini.

Omset para penjual jamu sempat meningkat di tengah pandemi Covid-19 karena mengandung jahe, temulawak, daun sereh, kunyit, dan bahan lain. Jahe lazim dikonsumsi karena menawarkan senyawa anti-inflamasi termasuk antioksidan. 

Sementara kunyit memiliki zat anti kataral yang dapat memperbanyak produksi lendir yang kemudian membatu mengeluarkan virus saat menyerang saluran pernapasan (Sumber bacaan).

Di tengah situasi ini, terasa betul ketidakberdayaan manusia dalam menjalani hal-hal yang diinginkan. Mengkonsumsi yang enak-enak harus pikir berulang kali tentang manfaatnya untuk tubuh. Bepergian bebas dan berkumpul pun tak bisa. Manusia berada di medan perang yang musuhnya diketahui tetapi tidak terlihat.

Di sisi lain, mungkin memang itulah yang dibutuhkan manusia. Apa yang kita inginkan seringkali lebih gemuk daripada apa yang sebetulnya kita butuhkan. Kita dibantu coronavirus untuk mengeliminasi hal itu.

Karantina mandiri 14 hari (bahkan lebih) ini telah mengingatkan saya pada pengalaman Viktor E. Frankl di kamp konsentrasi pada rentang tahun 1942-1945 yang ditulisnya dalam "Dari Kamp Kematian Menuju Eksistensialisme". 

Ada satu hal yang menyamakan kita dengan Frankl: tidak leluasa bergerak. Kebebasan bagai terenggut karena aktivitas yang bisa kita lakukan semakin sedikit pilihannya.

Persis di dalam kondisi itulah justru kemudian logoterapi---teori Frankl tentang pencarian makna hidup---muncul. Makna dalam pengertian Frankl bukanlah sesuatu yang mengawang-awang, melainkan kesadaran akan adanya kesempatan atau kemungkinan yang dilatarbelakangi oleh realitas. Simpelnya, manusia menyadari apa yang bisa dilakukan di dalam situasi tertentu.

Logoterapi mengajarkan tiga jalan dalam penemuan makna. Pertama melalui karya atau tindakan. Kedua, dengan mengenal orang lain. Ketiga, mengubah tragedi menjadi kemenangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun