Banyak filsafat Platon dihasilkan oleh keinginan untuk memaksakan keteraturan pada kekacauan; menyertakan perubahan dan temporalitas dalam skema permanen; membumikan pemikiran tentang moralitas, politik, dan agama pada kebenaran abadi dan universal yang tidak bergantung pada kognisi manusia.Â
Hal lain yang menarik adalah penentangan Plato terhadap cara berpikir yang bersifat sofisme dan retorik---bahwa filsafat Plato dibentuk dan dihasilkan secara internal dengan meniadakan klaim keduanya. Metode dialektik Platon---yang dihasilkan oleh pertanyaan dan jawaban sistematis---sebagian besar muncul dalam kontradiksi metode sofisme dan retorik.
Jelas, tho, Platon menemukan visi yang sama tentang realitas dan dunia dalam sastra.
Platon melihat tragedi sebagai bentuk retorika. T. H. Irwin menyatakan bahwa dalam serangannya terhadap retorika, Platon juga menyerang tragedi sebagai institusi Athena yang jauh lebih tua. Baginya, seperti pula retorika, tragedi membuat pandangan moral tertentu tampak menarik bagi penonton yang tidak peduli dan tidak biasa dengan rasionalitas.Â
Jennifer T. Roberts mengingatkan kita tentang peranan penting tragedi dalam pendidikan warga Athena. Tragedilah yang memberikan kesempatan kepada orang Athena untuk merenungkan dan memperdebatkan banyak masalah seperti yang muncul dalam dialog Platon. Bagi Platon, sofisme dan retorika secara efektif mengungkapkan visi dunia yang telah lama dimajukan oleh seni puisi yang jauh lebih tua---baik metode dialektisnya maupun juga isi filsafatnya.
Maka, apakah ada visi puitis? Jika ada, apakah itu?
Platon dengan tegas menolak visi itu. Menurutnya, itu adalah sebuah visi yang tidak bermartabat dan tidak sistematis---mungkin juga liberal. Banyak pakar (sebagian besar Aristotelian) menunjukkan bahwa ide-ide Platon sebetulnya berhutang budi pada tradisi naturalisme pra-Sokratik, yang mencoba untuk menawarkan suatu uraian alternatif tentang dunia---tidak puitis, mistis, berdasar pada tradisi tetapi lebih condong mendekati proses-proses alamiah dalam rangka memahami penjelasan-penjelasan rasional. Irwin menunjukkan bahwa dalam kesetujuan pada pra-Sokratik, baik Sokrates maupun Platon menantang asumsi-asumsi yang meluas dan mendalam tentang agama.
Dalam menolak gambaran alam semesta yang tidak teratur khas Homer, Platon dan Aritoteles---seperti pula naturalis---menolak melihat bahwa manusia menanggung hukuman ilahi karena gagal melakukan pengorbanan yang layak dan memancing kemurahan hati dewa-dewa dengan menyodorkan hadiah-hadiah. Dalam pandangan Platon, para dewa seharusnya baik, tanpa kemarahan, kecemburuan, dendam, dan nafsu. Pandangan tersebut, menurut tidak diakui dalam tradisi Yunani.
Masih menurut Irwin, layaknya para naturalis, Sokrates dan Platon membedakan antara bukti-bukti indera yang muncul di permukaan dengan realitas mendasar yang hanya dapat diakses melalui akal. Oleh sebab itu, filsafat Yunani dimulai dengan penerapan pemikiran rasional untuk semua bidang kehidupan manusia.
Refleksi sekitar kehidupan Sokrates tentang moralitas dan masyarakat manusia terhenti pada wacana monopoli Homer---juga penyair lain sealirannya---yang sebetulnya bisa menjadi area untuk berpikir kritis.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!