Soal uang, memang pembiayaan pengiriman buku sudah dilakukan dengan belanja barang biasa sesuai Peraturan Menkeu tentang Tata Cara Pembayaran dalam rangka pelaksanaan APBN. Namun pembentukan Satker saja pasti membutuhkan dana besar sekali. Tim itu akan terdiri dari manusia yang bekerja full time. Dugaan saya, perlu ada alokasi uang makan, transportasi, dan gaji pokok---mengingat mereka pasti bekerja sepanjang tahun.
Ya memang bukan uang saya yang dipakai, tapi kan "hemat pangkal kaya, boros pangkal miskin", kata sampul buku tulis. Kalau biaya bisa ditekan, kenapa tidak sih?
Jujur saja, pedoman anyar ini membuat saya merasa tidak dipercaya. Memangnya saya mau sebarkan konten dan paham apa melalui program semulia dan sekooperatif ini? Menyakitkan sekali rasanya.
Memang saya tidak rutin setiap bulan punya buku untuk didonasikan. Namun seperti juga pegiat dan peminat literasi lain, saya punya komitmen pribadi tentang bagaimana saya akan memperlakukan buku-buku yang sudah tak ingin atau tak mungkin saya simpan. Ketika Negara memfasilitasi komitmen pribadi saya, rasanya sungguh menyenangkan! Percayalah, sesuatu yang menyenangkan tak akan mungkin saya berhenti lakukan di angka 1.
Pedoman sudah disusun. Namun sepertinya tak sulit untuk memaafkan jika nanti ada evaluasi. Sebab pada esensinya, literasi adalah perkara memahami. Untuk bisa saling paham, harus ada telinga yang mendengar, kelapangan pikir, serta hati.
Semoga keribetan yang terlanjur beredar ini tidak menjauhkan cita-cita kita bersama untuk bertukar asa lewat buku.
Catatan:
Tulisan ini dibuat untuk menanggapi Surat Edaran berisi mengatur mekanisme baru pengiriman buku yang dikeluarkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dari Kemendikbud. Selengkapnya dapat dilihat di SINI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H