Mohon tunggu...
Muhammad Aqshadigrama
Muhammad Aqshadigrama Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Seorang pembelajar yang haus rasa ingin tahu

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Gembar-gembor Baliho: Potret Nihilnya Kualitas Seorang Aktor Politik

24 Desember 2021   00:40 Diperbarui: 24 Desember 2021   19:47 1766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meski tahun politik masih terjadi sekitar 2-3 tahun lagi. Namun, nyatanya sudah banyak para politisi yang mulai mengambil ancang-ancang dalam mempersiapkan pertarungan untuk tahun 2024. 

Bagi para politisi, setiap waktu sangatlah berharga untuk dapat dimanfaatkan dalam berkampanye, membangun identitas, ataupun personal branding ke masyarakat, dan lain sebagainya.

Kondisi ini semakin didukung pula dengan dipastikannya Joko Widodo tidak dapat mencalonkan lagi, setelah terpilih selama 2 periode. 

Dengan demikian, publik harus mencari sosok atau model presiden yang baru. Maka tak ayal, di masa rentang menuju tahun politik 2024, para politisi sudah berlomba-lomba dengan agenda utama "merebut perhatian, simpati, dan suara rakyat" ketika pemilihan umum (pemilu) nantinya.

Lantas yang mengundang kontoversi ialah aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan dengan tidak pas dan tepat. Banyaknya para petinggi partai yang masih menggunakan bentuk kampanye-kampanye konvensional alias kuno, yaitu dengan memasang baliho-baliho dengan jargon yang tidak memiliki visi-misi jelas terhadap urusan kebangsaan dan kenegaraan. Jargon hanya sebatas slogan tanpa diketahui adanya makna dibalik itu. 

Alhasil, publik bertanya-tanya mengenai maksud motif serta kegunaan pemasangan baliho yang memenuhi setiap sudut ruang publik dengan sesak, di saat rakyat sedang kesusahan akibat pandemi Covid-19. Bahkan, di lokasi bencana sekalipun.

Padahal, kematangan sekaligus kedewasaan negara dalam berdemokrasi, pertarungan adu gagasan dan argumentasi menjadi faktor yang utama ketimbang para politisi mengendepankan untuk menjual sisi figur.

Demokrasi dalam Transaksi Ekonomi

Sistem demokrasi yang menghendaki adanya kebebasan dalam berpolitik, menjadikan setiap politisi bersaing untuk memperebutkan suara rakyat. Kekuatan majority rules dalam demokrasi ini mendorong para partai politik beramai-ramai menggunakan segala media yang mampu menarik perhatian masyarakat. 

Maka, sebagaimana dalam pandangan Josep Schumpeter dalam karyanya "Capitalism, Socialism, and Democracy" (2006) yang menggambarkan fenomena kompetisi politik demokrasi, layaknya sebuah pasar dalam pereknomian. 

Di mana para produsen/penjual seperti politisi/partai politik yang bertujuan agar dagangannya dibeli atau diri dan partainya dipilih. Sedangkan rakyat tidak lebih bagaikan konsumen/pembeli kepada produsen untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan dari konsumen. 

Sayangnya, "dagangan" yang ditawarkan ke pada publik bukanlah sebuah gagasan, ide, ataupun inovasi yang itu dibutuhkan oleh masyarakat untuk menyelesaikan masalahnya. Melainkan, para politisi banyak menjual citra, karisma, atau hal-hal lain yang tidak memiliki relevansi penting terhadap apa yang menjadi kebutuhan rakyat.

Seharusnya, di dalam persaingan pasar yang sempurna, baik itu produsen/penjual atau konsumen/pembeli akan sama-sama terjadinya hubugan timbal balik yang saling menguntungkan pada keduanya. 

Namun, realita yang demikian ideal itu sangat sulit untuk terjadi atau bahkan cenderung mustahil, khususnya dalam persaingan politik demokrasi. Penyebabnya sama-sama terletak pada dua pihak, yaitu politisi dan rakyat. 

Saling terbatasnya kedua pihak dalam mengakses informasi satu sama lain, menyebabkan pola hubungan keduanya menjadi bias. Di mana para politisi (produsen) tidak memiliki akses informasi yang cukup untuk mengetahui "selera produk" atau kebutuhan masyarakat (konsumen). 

Saat yang bersamaan, masyarakat pun tidak memiliki informasi terhadap "produk jualan" dari para politisi. Akibatnya, para politisi tidak mengetahui aspirasi publik, sehingga melahirkan produk jualan yang tidak dibutuhkan oleh rakyat. 

Sementara publik, tidak memiliki akses informasi terhadap tawaran gagasan yang membuat masyarakat tidak memahami "produk jualan" dari para politisi.

Meskipun demikian, istilah "pembeli adalah raja" merupakan prinsip yang harus dipegang oleh para penjual, utamanya dalam politik. Bahwa memang, dalam perekonomian sendiri, menjaga hak konsumen sangatlah penting. 

Perlunya mengurangi ketimpangan informasi itu yang perlu dilakukan dalam iklim politik demokrasi. Para politisi dan partai politik perlu terbuka terkait produk jualan yang ditawarkan, yaitu berupa gagasan, ide, inovasi, atau program-program yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam menyelesaikan masalahnya. 

Responsivitas aktor politik terhadap isu-isu strategis, seperti ekonomi, kesehatan, pendidikan, lingkungan, hingga keamanan sangat dibutuhkan oleh masyarakat guna mengetahui kualitas dari politisi atau partai politik sebagai produsen. 

Produk itu sudah seharusnya mengutamakan gagasan dan program, bukan lagi menjual citra ataupun karisma. Citra dan karisma sendiri akan ikut terbangun, ketika gagasan dan program yang ditawarkan pada publik bagus dan berkualitas.

Lalu, ketika hendak mengamati baliho-baliho yang banyak terpampang, masyarakat tidak melihat itu sebagai suatu gagasan dan program yang menjadi barang jualannya. 

Masih sering ditemukannya baliho dengan komposisi foto politisi yang mendominasi, ditambah dengan slogan atau jargon yang tidak dapat dipahami maksud dari gagasan para politisi yang hendak disampaikan. 

Akhirnya, ini dapat mempengaruhi masyarakat pada tidak cukupnya pengetahuan terhadap kandidat yang akan dipilihnya saat pemilu berlangsung nanti. Ini tentu berdampak buruk, yang bukan hanya pada masyarakat dalam memilih politisi yang akan menjadi calon pemimpinnya, tetapi lebih jauh akan berpotensi dan berpeluang, melahirkan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat.

Inilah peran dari suatu media, dalam tugasnya untuk mempublikasikan kepada khalayak ramai. Namun, kualitas dari pesan yang disampaikan kembali lagi tergantung pada politisi atau aktor pengguna dari medianya.

Transformasi Media Bagi Aktor Politik

Dalam konteks ini, dapat dipahami bahwa yang menjadi permasalahan bukanlah pada balihonya, melainkan message atau kualitas pesan yang hendak disampaikan kepada publik. 

Sebenarnya tidak ada masalah bagi aktor politik dalam menggunakan media baliho sebagai sarana untuk mengenalkan dan mempromosikan kepada publik. 

Akan tetapi, hendaknya dapat dilakukan secara adaptif yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Sebab bagaimanapun aktor politik bertujuan untuk merebut suara rakyat, maka sudah seharusnya politisi pandai-pandai dalam membaca situasi di tengah masyarakat.

Secara lebih lanjut, di era perkembangan digital saat ini, menjadikan setiap kehidupan masyarakat modern saat ini dilakukan secara digital. Sehingga, menjadikan masyarakat modern dikenal juga dengan masyarakat digital. 

Maka, sudah sepatutnya para aktor politik hendak menggunakan media teknologi informasi ini, karena banyak digunakan oleh masyarakat sekarang. Penggunaan media digital tidak memerlukan biaya yang besar, lalu di saat bersamaan pula publikasi dapat dilakukan dengan cepat yang mampu menembus batas wilayah tertentu. 

Namun, yang terpenting ialah dengan memanfaatkan media digital dapat menjadi sarana komunikasi dua arah antara aktor politik dan masyarakat. Di sini para politisi dapat membuka ruang dialog dengan masyarakat, agar dapat mengetahui aspirasi dan kebutuhannya.

Apabila di baliho sangat sulit untuk memberi informasi secara lengkap, karena terbatasnya ruang. Sehingga hanya berupa gagasan besar yang bersifat umum saja dapat tersampaikan. Maka di media digital para politisi justru memiliki ruang penuh dalam mengelaborasi gagasannya secara mendalam. 

Dengan begitu, penggunaan media di baliho yang kemudian didukung dengan media digital akan membuat masyarakat mendapatkan pemahaman serta informasi yang jauh komprehensif mengenai politisi atau partai politik.

Akan tetapi, itu semua sesungguhnya tergantung lagi dengan pengguna dari medianya. Jika media digital juga ujung-ujungnya, digunakan seperti baliho; berbentuk satu arah, monoton, dan tidak adanya penyampaian personal, maka hanya akan membuat media digital tidak lebih dari sekadar baliho dalam bentuk perangkat lunak (softfile). 

Artinya, media digital tidak dapat dimanfaatkan dengan maksimal. Padahal, di sinilah letak kekuatan media digital, yang mampu membuat ruang bersama yang menembus ruang dan waktu. Sehingga, lagi-lagi para pelaku politik wajib memanfaatkan dengan penuh peluang ini. Poin pentingnya terletak pada; kualitas pesannya, agar memiliki makna yang jelas dan menggunakan media secara maksimal.

Kualitas Demokrasi Kita

Dalam memandang demokrasi terdapat dua aspek, yaitu demokrasi prosedural dan demokrasi substansial. Di banyak negara, termasuk Indonesia demokrasi hanya dipandang secara prosedural, yaitu adanya pelaksanaan pemilu. Akan tetapi, pelaksanaan demokrasi secara substansial masih tegolong minim atau kurang. 

Tesis ini didukung dengan lemahnya keterlibatan publik dalam berdemokrasi, mobilisasi masyarakat dalam memilih masih terdorong karena adanya money politic (politik uang), dan lain-lain. Hal inilah yang membuat demokrasi prosedural hanya akan terkesan dipandang sebagai "formalitas" dalam berdemokrasi. 

Sudah saatnya demokrasi di Indonesia tidak lagi memandang secara prosedural, melainkan turut pula mendorong terciptanya demokrasi secara substansial. Sebab, partisipasi masyarakat dalam proses pemilihan penguasa merupakan hal yang tidak dapat diganggu gugat dan ditawar.

Guna meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dapat menggunakan pengandaian seperti di dalam teori ilmu ekonomi. Bahwa dalam transaksi jual-beli terdapat faktor penawaran dan permintaan, ketika keduanya meningkat maka akan menempatkan titik ekuilibrium harga barang menjadi turut meningkat pula. 

Demikianlah dalam politik demokrasi, sejatinya para politisi perlu meningkatkan tawaran gagasan, ide, dan inovasi kepada masyarakat. Sementara, masyarakat sendiri perlu meningkatkan dorongan permintaan untuk kebijakan publik yang berkualitas. 

Dengan keduanya mengalami peningkatan, maka terciptanya partisipasi aktif masyarakat yang berimbas pada perbaikan kualitas dari calon pemimpin yang ingin maju menduduki kursi kekuasaan. Sehingga, baik calon pemimpin dan masyarakat harus sama-sama terlibat aktif dan saling berperan dalam mempengaruhi satu sama lain.

Perlunya mendorong masyarakat agar mendukung dan memberikan peluang kepada individu-individu yang berkualitas untuk maju menjadi pemimpin. Sehingga, pertarungan demokrasi akan berbasis gagasan dan program, bukan lagi sebatas mengandalkan pesona figur individual politisi semata. 

Debat publik, tentu akan menjadi semakin menarik yang berlandaskan pada argument, bukan sebatas sentimen. Nantinya, ketika masyarakat memilih pemimpin, pilihan itu bukan lagi diperoleh dengan legitimasi emosional, melainkan berdasarkan alasan yang rasional.

Tantangan para Politisi

Tentunya, dari semua pembahasan ini harapan bersama ialah bagaimana kelak menjadikan pesta demokrasi menjadi jauh lebih berkualitas. Meski harus disadari pada proses diwujudkannya pasti akan terdapat tantangan serta hambatan. Apalagi, mengingat pengaruh populisme masih sangat kuat dalam mendegradasi kualitas berdemokrasi saat ini. 

Fenomena munculnya para politisi yang seolah-olah berpihak pada rakyat, namun sesungguhnya berpihak pada kepentingan pribadi dan kelompoknya. Lemahnya partyID dan pudarnya nilai ideologis dalam partai politik di Indonesia, mengakibatkan sulitnya masyarakat membedekan antar satu partai dengan yang lainnya dalam mencari keunggulan di setiap calon dan sederet hambatan lainnya yang dihadapi oleh masyarakat dalam mengikuti pesta demokrasi.

Setidaknya, dengan partisipasi aktif masyarakat dapat mengurangi hambatan-hambatan tersebut. Ketika peran masyarakat meningkat sebagai bentuk permintaannya untuk memperoleh pemimpin publik yang berkualitas, maka saat debat publik atau proses kampanye lainnya, masyarakat akan mengetahui politisi mana antara yang substansial serta tidak. 

Dengan kurangnya kapabilitas seorang politisi, ia akan mudah tersingkir dengan sendirinya oleh "sistem permainan" yang sudah dibentuk oleh masyarakat. 

Ketika masyarakat meningkatkan kualifikasi standar seorang pemimpin, mau tidak mau-suka tidak suka, akhirnya akan mendorong pula para politisi untuk meningkatkan kualitasnya guna meyakinkan konstituennya. Hasil akhirnya nanti, akan berupa kebaikan bersama dengan hadirnya pemimpin yang berkualitas; sesuai dengan harapan serta keinginan masyarakat.

Akan tetapi, apabila pada akhirnya masyarakat tidak memiliki semangat dorongan untuk menciptakan "rule of the game" bagi para aktor politik yang ingin menjadi penguasa. 

Kemudian juga, jika para politisi tetap tidak ingin menyampaikan gagasan dan tawaran inovasi untuk masyarakat. Maka titik keseimbangan (ekuilibrium) tidak akan tercapai dan ekosistem demokrasi yang ideal sebagaimana penjelasan sebelumnya hanya akan menjadi sekadar angan-angan. 

Masyarakat wajib menaruh sentimen bagi politisi yang tidak mampu menawarkan gagasan dan inovasinya yang dapat diandalkan dalam memenuhi kebutuhan atau menyelesaikan persoalan di tengah masyarakat. Sebab, aktor politik yang demikian -- tentu saja -- tidak layak untuk memimpin sebuah negara untuk berubah menuju pada kemajuan di kemudian hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun