Mohon tunggu...
Guntur T Haryaji
Guntur T Haryaji Mohon Tunggu... -

Saya seorang manusia biasa, berasal dari setetes air. Apalah arti ilmu jika tidak bisa mendatangkan manfaat?? Apalah arti jabatan jika tidak bisa memberi maslahat bagi ummat?? Kita berasal dari ketiadaan, dan kelak akan kembali tiada untuk berjumpa dengan-Nya dan mempertanggung-jawabkan semua perbuatan kita, yang baik maupun yang buruk, yang rahasia maupun secara terang-terangan. Dan kelak semua yang kita miliki dan kita bangga-banggakan di dunia, tak kan bermanfaat apa-apa ketika di akhirat, kecuali amal sholeh yang ikhlas.\r\n\r\nAku bukan siapa-siapa. Hanya hamba Allah, yang kebetulan pernah dikasih kesempatan belajar di sebuah Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi, di sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Depok yang tidak begitu terkenal ( Karena tidak masuk 10 besar rangking dunia ). Apalagi kalau sudah dikubur, juga tidak akan ditanyakan oleh Malaikat Munkar dan Nakir. Terima kasih sudah mampir dan membaca serta berkenan memberikan komentar pada coretan-coretan saya yang "belum" berkualitas ini. Setiap masukan akan mendapatkan apresiasi yang setimpal. ;)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Apa sih I'tikaaf itu?

25 Agustus 2011   09:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:28 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

I’tikaf adalah berdiam diri di dalam masjid dengan niat I’tikaf. Menurut Mazhab Hanafi, hukum I’tikaf ada 3 macam:
1. I’tikaf wajib. I’tikaf ini menjadi wajib karena nadzar. Misalnya karena mengucapkan,” Jika saya dapat menyelesaikan pekerjaan ini, saya akan beri’tikaf sekian hari.” Atau mungkin tanpa harus ada pekerjaan, misalnya karena mengucapkan,” Saya wajibkan kepada diri saya untuk beri’tikaf selama sekian hari,” maka I’tikafnya menjadi wajib. Dan sekian hari yang ia niatkan, wajib untuk ditunaikan.
2. I’tikaf Sunnah. Yaitu I’tikaf sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Rasulullah saw. Yakni beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan.
3. I’tikaf Nafil. Yaitu I’tikaf tanpa batasan waktu dan hari. Kapan saja seseorang berniat I’tikaf, ia dapat melakukannya, bahkan jika berniat I’tikaf selama umur hidupnya, pun diperbolehkan.


Selanjutnya ada perbedaan pendapat tentang batasan waktu I’tikaf yang paling sedikit. Imam Abu Hanifah rah.a., menyatakan bahwa I’tikaf hendaknya tidak kurang dari 1 hari. Sedangkan Imam Muhammad rah.a., berpendapat bahwa boleh beri’tikaf dalam waktu yang singkat. Pendapat inilah yang difatwakan oleh Mazhab Hanafi. Oleh sebab itu, sangat penting bagi setiap orang untuk niat I’tikaf setiap kali memasuki masjid, sehingga ketika ia melaksanakan sholat atau beribadah lainnya selama berada di masjid, ia akan mempeoleh pahala I’tikaf.

Pahala i’tikaf itu sangat banyak dan demikian pula dengan keutamaannya, sehingga Rasulullah senantiasa memperhatikannya. Perumpamaan orang yang beri’tikaf adalah seperti orang yang pergi ke rumah orang lain untuk meminta hajatnya seraya berkata,” Selama hajatku belum terpenuhi, aku akan tetap tinggal di sini.”

Jiwaku keluar bersimpuh di bawah kaki-Mu
Inilah hati yang mengharap pada-Mu

Seandainya hal itu dilakukan, bahkan hati tuan rumah yang sekeras batu, niscaya akan melunak. Bagaimana dengan Allah Yang Maha Pemurah, yang Kerahiman-Nya sangat luas tak terbatas?

Engkaulah yang Maha Pemberi
Rahmat-Mu senantiasa terbuka bagi setiap hati
Bertanyalah tentang keadaan Musa dengan Tuhannya
Ia pergi untuk mengambil api, tetapi ia malah menjumpai kenabian

Oleh sebab itu, orang yang memutuskan hubungannya dengan dunia lalu pergi berdiam di rumah Allah, apakah ada keraguan bahwa ia tidak akan memperoleh apa yang ia inginkan? Dan jika Allah telah memberinya, siapakah yang mampu menghitung simpanan-Nya? Tidak ada seorangpun yang sanggup menjelaskan sesuatu yang tidak terbatas.

Ibnul Qayyim rah.a., menjelaskan bahwa tujuan I’tikaf adalah untuk menghubungkan hati dengan Allah SWT, dengan mengalihkan hati dari segala sesuatu selain Allah SWT dan mengubah segala kesibukan kita dengan menyibukkan diri dengan-Nya serta mengalihkan segala sesuatu dari selain Dia dan hanya tertuju kepada-Nya. Segala angan-angan dan pikiran semata-mata untuk mengingat-Nya dan menumbuhkan kecintaan kepada-Nya, sehingga tumbuh kecintaan yang dalam kepada-Nya sebagai pengganti cinta kepada makhluk. Cinta seperti inilah yang akan membahagiakan kita di tengah siksa kubur, yang pada saat itu tak seorangpun dari yang kita cintai dapat membahagiakan kita kecuali Allah SWT. Jika hati ini telah mencintai-Nya, maka betapa indah dan nikmat waktu yang akan berlalu bersama-Nya.

Penyusun kitab Maraqil Falah menulis bahwa jika I’tikaf dilakukan dengan ikhlas, maka I’tikaf tersebut merupakan ibadah yang paling utama. Selain itu, keistimewaan I’tikaf adalah perhitungan pahalanya tidak terbatas, misalnya jiwa akan dibersihkan dari segala ketergantungan pada dunia dan berpaling semata-mata kepada Allah SWT dan bersimpuh di hadapan-Nya. Oleh sebab itu, jika ia beri’tikaf, ia akan dicatat dalam keadaan beribadah sepanjang waktunya. Tidur atau terjaganya dinilai sebagai ibadah dan ia akan bertambah dekat kepada Allah SWT. Sebuah hadits menyebutkan bahwa Allah berfirman,” Barangsiapa mendekati-Ku sejengkal, Aku akan mendekatinya sehasta. Barangsiapa mendekati-Ku sehasta, Aku akan mendekatinya sedepa. Barangsiapa mendekati-Ku dengan berjalan, Aku akan mendekatinya dengan berlari.”

Jika seseorang beri’tikaf di rumah Allah, Allah SWT akan memuliakan siapa saja yang mendekati rumah-Nya, sehingga ia pasti akan berada dalam lindungan-Nya. Bahaya musuh dan segala sesuatu yang membahayakan tidak akan menimpanya. Masih banyak lagi keutamaan dan keistimewaan I’tikaf.

Prosedur I’tikaf

Bagi kaum laki-laki, masjid yang paling utama untuk I’tikaf adalah Masjidil Haram di Makkah, lalu Masjid Nabawi di Madinah Al Munawwarah , selanjutnya Masjid Baitul Maqdis di Palestina, lalu masjid Jami’ dan terakhir masjid – masjid di kampung kita masing-masing. Imam Hanafi rah.a., menetapkan bahwa masjid yang digunakan untuk I’tikaf adalah masjid yang biasa digunakan untuk sholat 5 waktu berjama’ah. Sedangkan menurut Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad rah.hima., masjid yang sesuai dengan syariat dapat digunakan untuk beri’tikaf walaupun belum digunakan untuk sholat berjamaah 5 waktu.

Sedangkan bagi kaum perempuan, mereka hendaknya beri’tikaf di masjid/ musholla yang ada di dalam rumahnya. Jika tidak ada musholla di dalam rumah, sebaiknya disediakan sebuah kamar atau ruangan khusus, atau sudut rumah yang khusus untuk I’tikaf. Dengan demikian I’tikaf jauh lebih mudah untuk kaum wanita daripada kaum laki-laki. Kaum perempuan itu cukup duduk di rumahnya, sedangkan pekerjaan-pekerjaan rumahnya dapat dikerjakan oleh anak-anaknya ,dan ia akan tetap mendapatkan pahala I’tikaf. Namun sayangnya, meskipun I’tikaf bagi kaum wanita itu mudah, banyak di antara mereka yang tidak mengamalkannya.

Diambil dari:

http://fadhilahramadhan.blogspot.com/2009/08/bab-iii-itikaf.html


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun