Pepagi hari Cik Mat dah betandang ke rumah Long Dol, die sedih dan kesian tetengok berite di tipi nyan, perihal hal ehwal orang berebutan sampai ade yang “tepenyet” betaroh nyawe, hanye untuk dapat duet dan bungkusan zakat yang cume pulohan ribu rupiah tuu.
Cik Mat : Melasku Long e, tetengok di tipi tuu baah... Dahlaah banyak yang tue-tue, ade ibu-ibu yang membawa anaknye gik, sampai ade yang selap, mungkin tewas karene tepenyet berebut jatah zakat tuu... Heran gak bah yee, ngapelaah adak diator bebujor!!!?
Long Dol : Itu am die Cik yang namenye tebiat te... Niat dan amalan tapi adak dipahami dengan hikmah te bise adak ade makne dan ilang adabnye. Bagosnye bezakat tuu gunekanlaah lembaga-lembaga yang dah ade dan tepecaya'. Kalo maseh rase kurang afdhal pun, mun mo membagikan sorang, bagosnye name-name yang berhak nerima tuu dicatat, didatangi dan dibagikan am masing-masing. Mun macam ini kan lebih aman tekendali dan tentu lebih menyentuh hati yang nerima... Atau mun mo lebih di-atas afdhal gik, ngikut e hikmah "tangan kanan memberi, tangan kiri adak tau." Khawaternye, pembagian ramai-ramai macam itu malah minta pujian ngan riya' pula’, biar disiarkan tipi ngan dimuat di koran...
(Ket : Dialog di atas dalam Bahase Melayu Kayong_Kalimantan Barat)
Cerita di atas hanyalah sentilan atas sering terjadinya kasus-kasus keributan, berdesak-desakan, pingsan bahkan kematian karena berebut pembagian zakat. Kisah seperti ini ternyata bukan lagi sebuah anomali di negeri ini, karena terus berulang di tiap Ramadhan terutama jelang Raya Aidil Fitri.
Berzakat secara aam-nya adalah kewajiban untuk mensucikan harta jika telah sampai nishabnya, selain itu ada zakat fitrah di bulan Ramadhan sebelum Hari Raya untuk mensucikan diri. Seiring zakat, ada saudara-saudara zakat yakni infaq dan shadaqah, yang semuanya merupakan amalan baik nan terpuji. Bahkan jika zakat, infaq dan shadaqah ini dilaksanakan dengan konsisten oleh ummat Islam dan dikelola dengan optimal, maka dampak sosialnya akan luar biasa. Orang-orang yang sudah wajib berzakat (muzakki) akan dapat membantu saudara-saudaranya selaku penerima zakat (mustahiq) yang terdiri dari delapan golongan itu untuk diberdayakan menuju kemandirian melalui pengelolaan dan penyaluran zakat yang baik.
Di bulan suci ini, semangat kaum muslimin untuk berzakat, berinfaq dan bershadaqah sungguh demikian tinggi, hal ini patut diapresiasi. Meskipun seharusnya semangat berzakat, berinfaq dan bershadaqah diharapkan terus tumbuh bukan hanya di bulan Ramadhan saja.
Seperti nukilan cerita di atas, sebaiknya kita berbagi zakat, infaq dan shadaqah ini boleh disalurkan melalui lembaga-lembaga pengelola zakat yang sudah banyak berdiri, dipercaya dan dikelola secara profesional. Sehingga bisa dikelola dan disalurkan secara lebih baik untuk memberdayakan ummat. Atau jika masih belum sreg dan ingin membagikan sendiri, lebih bagus memang jika kita mencatat nama-nama orang yang layak menerima, kemudian membagikan secara langsung dengan mendatangi sendiri. Tentunya akan lebih terasa menyentuh dan menumbuhkan empati serta menghindari kemudharatan akibat berebutan.
Alkisah, seorang Imam Ahlul Bayt, Sayyidina Ali Zaynal Abidin As-Sajjad diketahui sebagai seorang yang zuhud, wara’ dan gemar bershadaqah. Dalam kehidupannnya, beliau sering membagi makanan kepada orang-orang miskin yang memerlukan makanan dengan berkeliling memikul sendiri karung makanan itu di malam hari dan membagikannya di saat orang-orang itu masih tertidur, sehingga orang-orang itu tidak mengetahui bahwa beliau yang membagikan makanan tersebut. Bahkan beliau selalu menyuapkan langsung makanan kepada seorang miskin yang buta pada malam hari. Ketika beliau wafat, orang-orang miskin termasuk seorang miskin yang buta ini merasa kehilangan, karena mereka tidak pernah lagi mendapatkan shadaqah makanan yang dibagikan secara misterius tersebut dan seorang buta tersebut pun tidak pernah lagi merasakan disuapi oleh seseorang yang biasa membagikan makanan kepadanya. Saat itu, diketahuilah bahwa Imam Ali Zaynal Abidin As-Sajjad inilah yang sering bershadaqah tersebut.
Masih dari cerita di atas, tersirat makna bahwa jika melakukan sesuatu tidak dengan adab, tertib dan tidak disertai pemahaman ilmu, maka belum tentu buahnya baik. Terpetik pula suatu hikmah melalui suatu anjuran bahwa, “jika anda memberi sesuatu (berzakat, berinfak, bershadaqah, dll), alangkah sangat baik jika tangan kanan memberi, maka tangan kiri tidak tahu.” Hal ini akan lebih afdhal untuk menjaga hati dari sifat-sifat me-lagak-kan diri, pamer, minta dipuji alias riya’. Alangkah bagusnya kita menghindarkan segala amalan-amalan kita dari hal-hal yang akan menghilangkan makna dan nilai amalan-amalan itu. Karena waspadalah, waspadalah! Iblis akan selalu berupaya menemukan jalan masuk untuk merusak nilai kebaikan, bahkan dalam perbuatan baik itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H