Mohon tunggu...
Rudi Handoko
Rudi Handoko Mohon Tunggu... Wiraswasta - Saya seorang anggota masyarakat biasa di Borneo Barat

Saya seorang anggota masyarakat biasa di Borneo Barat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Belajar dari Kemenangan Rawagede

14 September 2011   14:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:58 1940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Akhirnya, pengadilan Negeri Kincir Angin (Belanda) mengabulkan tuntutan dari para korban dan keluarga korban pembantaian Rawagede. Meskipun kejadian ini telah terjadi puluhan tahun lalu tepatnya tahun 1947, walaupun pemerintah Belanda bersikukuh bahwa sebenarnya peristiwa ini telah dianggap kadaluarsa, ataupun sesungguhnya pemerintah Belanda tidak mengakui semua itu sebagai “pembantaian,” meskipun jumlah korban yang disangkakan saling berbeda angkanya antara yang disampaikan keluarga korban dan data dari pemerintah Belanda itu sendiri.

Yang pasti, ada pembelajaran berharga, bukan hanya untuk Belanda, terlebih untuk negara ini sendiri. Tak pelak, sebagai bangsa yang pernah menjajah, Belanda tak akan lepas dari bayang-bayang kekejian masa lalu berupa pembantaian-pembantaian yang pernah terjadi. Baik itu yang dituduhkan sebagai “genosida,” atau hanya dianggap sebagai ekses dari pertempuran atau operasi militer. Bagi negara ini, dimenangkannya tuntutan para korban Rawagede mestinya bukan sekedar dimaknai sebagai kemenangan yang berharga, tapi mesti ada pembelajaran dan percontohan, terutama dalam menangani kasus-kasus “pembantaian” yang dilakukan atas nama negara dan oleh alat-aparat negara di negara ini.

Betapapun bengisnya Belanda, ternyata negeri Belanda dalam hal ini diwakili oleh pengadilannya “agak” lebih fair dan jujur, mengakui segala kejahatan (perang dan militer) yang pernah dilakukan oleh bangsanya. Selain bangsa Belanda, bangsa Jermanpun demikian juga. Sebagai bangsa yang pernah membantai pada perang dunia kedua semasa rezim NAZI, maka Jerman tergolong bangsa yang paling getol menjatuhkan hukuman pada aktor-aktor penjahat perang yang terdiri dari para tokoh-tokoh NAZI. Mereka adalah bangsa yang coba “jujur” dan mengambil hikmah dari kesalahan masa lalu untuk menjadi bangsa yang lebih bermartabat.

Dengan mengakui kejahatan yang pernah mereka lakukan, meminta maaf dan memberikan kompensasi, tentunya memang tidak menghilangkan luka, tapi paling tidak ada niatan baik untuk mengakui itu semua. Dengan mengakui kejahatan yang pernah mereka lakukan, meminta maaf dan memberikan kompensasi, bukan berarti bangsa Belanda dan bangsa Jerman itu tidak nasionalis dengan negeri dan bangsanya, tapi mereka “mungkin” (sebagian dari rakyat mereka) sudah terlepas dari sekedar pemahaman nasionalisme “picik.” Mereka bisa membedakan mana itu takaran nasionalisme, mana yang tak lebih dari sekedar penjara “fasisme” dan “chauvinisme.” Karena mereka berjiwa nasionalislah, maka mereka “wajib” mengakui kalau mereka pernah salah dan pernah melakukan kejahatan.

Bagaimana dengan negara ini??? Meminjam istilah “menolak lupa,” maka seharusnya sebagai negara yang konon katanya bermartabat, negara ini juga jangan lupa, bahwa “mereka” pernah membantai dan melakukan kejahatan yang hampir sama. Apakah negara ini juga akan pura-pura lupa sehingga tidak mengakui terjadinya “Pembantaian Kerabat Keraton Bulungan,” “Pembantaian Balibo-Timor Leste,” “Pembantaian Talangsari Lampung,” “Pembantaian Tanjung Priok,” “Pembantaian DOM Aceh,” Pembantaian Teungku Bantaqiah Aceh,” “Pembantaian Papua,” dan masih banyak lagi.

Apa beda pengadilan Belanda dan pemerintah Belanda dengan negara RI ini? Mungkin, bedanya adalah… Bahwa pengadilan dan pemerintah negara ini tak akan pernah sudi untuk memenangkan tuntutan korban pembantaian, selalu melepaskan aktor-aktor pembantaian itu dan pura-pura lupa akan peristiwa-peristiwa seperti itu. Alasannya biasalah… “atas nama kepentingan negara dan nasionalisme.” Kalau demikian adanya, ternyata negara ini jauh lebih “tidak adil dan bermental penjajah” ketimbang Belanda yang pernah menjadi “penjajah.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun