Mohon tunggu...
Rudi Handoko
Rudi Handoko Mohon Tunggu... Wiraswasta - Saya seorang anggota masyarakat biasa di Borneo Barat

Saya seorang anggota masyarakat biasa di Borneo Barat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perang Tumbang Titi (Matan-Kayong)

2 November 2011   05:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:09 1009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena hendak menerapkan belasting/pajak diri, Belanda yang rakus pun akhirnya terlibat perang dengan rakyat Kerajaan Matan-Kayong (sekarang Kabupaten Ketapang-Kalimantan Barat). Sebab yang sama, yang membuat meridihnya darah rakyat Kerajaan Simpang-Matan terhadap Belanda.

Semangat perlawanan pun menggelora, perang yang tak terelakkan pecah di Tumbang Titi. Askar rakyat dibawah duli daulat Panembahan Matan-Kayong mengangkat senjata demi kehormatan dan marwah diri. Pantang dicemoohkan dengan pajak belasting yang menghina.

Selama ini, mereka memberikan upeti kepada Panembahan dengan sukarela-tanpa paksaan dan tak pernah ditentukan nilai serta besarannya, Sang Panembahan pun tidak hanya menerima dengan cuma-cuma, tapi selalu dengan bijak memberikan hadiah sebagai gantinya sekaligus tanda mata berkah Raja kepada rakyatnya, berupa pakaian, garam, barang-barang keperluan sehari-hari dan sebagainya.* Tapi sekarang Belanda yang tak tahu adat tiba-tiba datang semena-mena hendak memaksa mengenakan pajak pada diri mereka.

Uti Usman/Uti Unggal dan Panglima Tentemak pun maju ke hadapan memimpin perlawanan. Belanda mengerahkan banyak pasukan dibawah komando Kapten Frederick Brans, berhasrat hendak menewaskan askar rakyat Matan-Kayong. Kehadiran mereka disambut dengan gagah berani para pejuang Negeri Matan-Kayong di Natai Bedug-Tumbang Titi, dengan semangat pantang berundur meski beradu maut.

“Terimalaah belasting tiga suku...” Meledak menggemalah senapang Panglima Tentemak seiring gema teriakannya, peluru timahpun deras meluncur menembus tubuh Kapten Frederick Brans. Menjadi Malakul Maut yang menjemput nyawa sang Komandan Belanda. [Perang Tumbang Titi]

Catatan :

* [Dalam cerita lisan, Raja-raja Tanjungpura, Matan-Tanjungpura, Simpang-Matan dan Matan-Kayong memang menerima upeti, tapi mereka juga memberikan “tanda mata” atas upeti yang diberikan rakyatnya. Alkisah Kepala Kampong/Moyang kami zaman dahulu di Sungai Paduan, setelah dipilih rakyatnya kemudian disahkan oleh Panembahan Simpang, dan setiap kembali setelah menghadap Panembahan Simpang, selalu membawa oleh-oleh pembagian Raja yang harus dibagikan pada rakyatnya di Kampong].

Sumber :

Cerita Lisan Rakyat,

Sejarah Kampongku,

Sejarah, Adat Istiadat dan Hukum Adat Kalimantan Barat, JU. Lontaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun