Mendu, adalah kesenian drama-teater tradisional yang dahulu pernah berjaya di kampongku. Sampai sekarang, asal muasal menyebarnya seni budaya ini memunculkan banyak versi, termasuk daerah mana yang sesungguhnya memiliki seni budaya ini.
Menurut berbagai sumber, ada yang menyatakan mendu merupakan adaptasi atau paling tidak mendapat pengaruh dari perkembangan wayang parsi, yang dulunya marak di wilayah Pulau Pinang Malaysia, kemudian menyebar ke wilayah Kepulauan Riau, termasuk Natuna hingga sampai ke Kalimantan Barat.
Sama ada asal dan ujudnya dari mana, mendu kini merupakan seni budaya yang sudahpun redup. Tanpa perlu berpolemik dari mana asal muasal berasalnya, yang pasti seni budaya ini ada dan hadir di Kepulauan Riau dan pernah ujud pula di Kalimantan Barat. Kesenian drama atau teater tradisional ini pernah di tumbuh di sekitar Kabupaten Pontianak (Mempawah dan sekitarnya), dan pernah berkembang pula di daerahku di Kabupaten Kayong Utara (KKU) Kalimantan Barat.
Khusus di daerahku, terutama di kampongku, mendu terakhir yang pernah saya lihat atau saya menonton adalah ketika saya masih berada di kelas 4 SD. Pada masa itu mendu di kampongku biasanya dipertunjukkan setiap kegiatan peringatan hari kemerdekaan atau tujuh belasan, atau ada acara serah terima hadiah pertandingan sepak bola atau acara-acara keramaian kampong lainnya. Namun semenjak itu sampai sekarang, mendu tinggal menjadi kenangan, mendu sekarang sudah hampir punah karena sudah belasan tahun tidak dilestarikan dan dikembangkan lagi.
Menurut Wak Aba Rahmat, salah seorang seniman mendu yang masih tersisa di kampongku, hilangnya mendu dikarenakan para pemainnya sudah banyak yang meninggal dunia, ada juga yang pindah domisili, dan memang tidak ada penerus, karena generasi muda sekarang dapat dikatakan malu untuk belajar bermain mendu.
Sebagai seni drama-teater, mendu selain ditopang oleh gerakan dan dialog antara pemainnya dalam menjalankan alur cerita, juga di-iringi dengan musik. Nah, untuk mencari orang-orang yang mau bermain dalam dua hal itu saja sudah sulit, apalagi alat musik yang dimainkan juga tergolong sulit untuk dipelajari seperti ada yang harus pandai memainkan biola, gambus, akordeon, gong/ketawak dan sebagainya. Belum lagi melatih gerakan dan dialog yang harus terlatih dan setidaknya sesuai dengan karakter-karakter dalam sandiwara mendu ini.
Dalam cerita yang dimainkan, kebanyakan berkisah tentang cerita dunia kahayangan, tentang hikayat Dewa Mendu, ada yang menjadi Raja, ada yang menjadi Tuan Puteri, Dayang-dayang adapula yang menjadi Raksasa dan Jin dan sebagainya. Unsur seni lainnya yang sangat banyak dalam kesenian ini adalah ungkapan syair-syair dan gerak tari/joget. Selain itu, sesuatu yang khas dalam pementasan kesenian drama tradisional ini adalah, unsur magis/mistik juga cukup kuat, dalam tiap pementasan, sebelum dan sesudahnya selalu di iringi dengan pembacaan doa-doa dan mantera serta tepong tawar, apalagi ketika tokoh raksasa atau jin muncul, dengan topeng dan riasan yang memang menyeramkan, maka dikhawatirkan akan membuat "sawan" bagi orang-orang yang tergolong “lemah semangat.”
Memang di daerahku termasuk kampongku, perkembangan kesenian, adat budaya dan tradisi dahulu kala sangat kuat, karena sebagai daerah yang pernah memiliki sejarah dua kerajaan dan dua neo-swapraja (yakni Kerajaan Simpang_Matan dan Kerajaan Niuew Sukadana), KKU sebenarnya memiliki seni, adat budaya dan tradisi yang potensial dan tentunya harus menjadi karakteristik daerah. Yaaahhh…tapi sampai saat ini, semenjak dimekarkan sebagai kabupaten mandiri terpisah dari Kabupaten Ketapang, memang belum terlihat lagi adanya upaya untuk mengembangkan dan melestarikan seni budaya yang unik yang ada dan terlahir dari budaya masyarakat KKU itu sendiri.
Padahal bukannya tidak ada seni, adat budaya dan tradisi yang dapat direvitalisasi, tapi keseriusan untuk menggali potensi itu yang belum ada atau belum terfikirkan mungkin. Sehingga selain mendu, sekarang juga sedang terjadi proses degradasi seni budaya lainnya semisal seni hadrah, tar, tundang dan sebagainya, yang perlahan juga sudah mulai hilang.
Memang menjadi kekhawatiran, semakin tahun semakin berlalu, kecenderungan kehilangan akar budaya semakin kentara, bahkan untuk membangun bangunan-bangunan pemerintahan saja, kehilangan atau tepatnya kebingungan untuk mencari seperti apa cirri khas arsitektur bangunan tradisional masyarakat KKU, juga ketika hendak membuat kain motif khas daerahpun, mesti disayembarakan mengundang pihak-pihak dari luaran untuk menciptakan motif khas daerah. Padahal bukannya tiada motif khas itu, tapi memang sudah terlupakan dan tiada direvitalisasi seperti kasus mendu ini. Hal yang sangat ditakutkan adalah daerah dan masyarakat berkembang tanpa ruh budaya, sehingga kehilangan identitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H