Mohon tunggu...
Puri Ajeng Handayani
Puri Ajeng Handayani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kasus Dugaan Malpraktik Usus Buntu, Pasien Disebut Kurang Gizi, Kuasa Hukum Layangkan Surat ke Kode Etik IDI

12 Maret 2024   12:29 Diperbarui: 12 Maret 2024   12:44 1402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 https://www.kajianpustaka.com/2020/05/malpraktik-pengertian-unsur-jenis-dan-ketentuan-hukum-pidana.html

Kode etik merupakan prinsip atau pola aturan dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik kedokteran mengatur perilaku dan praktik dokter untuk memastikan bahwa pasien mendapatkan perawatan yang bermutu dan etis. Kode etik biasanya mencakup prinsip-prinsip seperti kejujuran, integritas, rasa hormat terhadap pasien, dan tanggung jawab profesional. Pada khususnya, terdapat standar pelayanan kepada pasien yang diatur oleh kode etik kedokteran. Penyedia layanan kesehatan harus mengikuti pedoman tertentu berdasarkan pengetahuan medis yang tersedia. Standar ini mencakup berbagai aspek pelayanan medis, termasuk diagnosis yang akurat, penanganan yang berhati-hati terhadap pasien, menjaga kerahasiaan informasi medis, memberikan informasi yang jelas dan komprehensif kepada pasien, serta berkomunikasi dengan pasien secara terbuka dan empatik. Kode etik sendiri juga berperan sebagai panduan utama dalam mencegah malpraktik dengan menetapkan standar tinggi untuk perilaku profesional dan memastikan bahwa anggota profesi bertanggung jawab atas tindakan mereka sesuai dengan standar etika yang ditetapkan.

Meskipun memiliki keterkaitan dengan perilaku profesional dalam konteks pelayanan atau praktik tertentu, kode etik dan malpraktik memiliki arti yang berbanding terbalik. Sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b UU No. 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan ("UU Tenaga Kesehatan") yang telah dinyatakan dihapus oleh UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, mengidentifikasikan malpraktik dengan melalaikan kewajiban, berarti tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan, mengabaikan dan melanggar sesuatu ketentuan berdasarkan undang-undang.

Dalam mencegah adanya tindakan malpraktik, Ikatan Dokter Indonesia menegaskan kewajiban dokter untuk mengikuti standar profesi tertinggi, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 2 dan pasal 7a KODEKI yang menekankan pentingnya memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia. Adapun bentuk pertanggungjawaban pidana dari adanya tindakan malpraktik itu sendiri, yang tercantum dalam pasal sebagai berikut. 

  • Pencabutan Lisensi

      Pasal 359, Pasal 360 ayat (1) dan (2) serta Pasal 361

Pihak yang dapat dikenakan pasal ini misalnya dokter, bidan, dan ahli obat yang masing-masing dianggap harus lebih berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya. Berdasarkan pasal tersebut, dokter yang telah menimbulkan cacat atau kematian yang berkaitan dengan tugas atau jabatan atau pekerjaannya. Disamping itu, hakim dapat menjatuhkan hukuman berupa pencabutan hak melakukan pekerjaan yang dipergunakan untuk menjalankan kejahatan serta memerintahkan pengumuman keputusannya itu.

  • Denda dan Sanksi Keuangan serta Hukuman Pidana

Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 

Tentang Kesehatan tidak dicantumkan pengertian tentang Malpraktek, namun didalam Ketentuan Pidana diatur pada Bab XX diatur didalam Pasal 190 ayat (1) dan (2) tentang hukum pidana dan denda terhadap fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan.

  • Tuntutan Ganti Rugi

Pasal 19 Ayat (1) UU No 8 Tahun 1999

Kerugian yang diderita korban malpraktek sebagai konsumen jasa akibat tindakan medis yang dilakukan oleh dokter sebagai pelaku usaha jasa dapat dituntut dengan sejumlah ganti rugi. 

  • Penyelidikan dan Proses Hukum

UU No. 29 Tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran

Pemberian hak kepada korban malpraktek untuk melakukan upaya hukum pengaduan kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.

Dikutip dari artikel sumkes.co 

Seorang pelajar perempuan di palembang berinisial CY yang berusia 14 tahun harus menanggung sakit yang luar biasa pasca operasi usus buntu yang dilakukan oleh tim dokter RSUP Moh Hoesin Palembang. Setelah dilakukan  CY dilakukan pemeriksaan, diagnosis awal pada ringkasan perawatan, ternyata pasien mengalami acute appendicitis atau radang usus buntu dan harus dilakukan operasi. Lalu, operasi usus buntu dilakukan pada Senin tanggal 30 Januari 2023. Setelah menjalani operasi dan pemulihan terhadap pasien, pada hari Jumat 3 Februari 2023, pasien dinyatakan sudah membaik dan diperbolehkan pulang. 

Setelah pasien tiba di rumah, keluarga mencium aroma yang tidak sedap berasal dari bekas operasi tersebut dan juga keluarnya cairan berwarna kuning dengan intensitas yang secara terus menerus. Selain itu, juga terjadi pembengkakan di area vital pasien atau miss V. Mengetahui hal tersebut keluarga pasien panik dan segera membawa anaknya kembali ke rumah sakit.

Dokter memeriksa dan menyatakan keadaan pasien tidak apa-apa dan baik-baik saja kemudian menyuruh pasien pulang. Orang tua pasien melaporkan kejadian tersebut ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bima Sakti Palembang. "Untuk sementara waktu saat ini pasien masih terbaring lemah di ruang perawatan di RSUP Mohammad Hoesin  Palembang. Kami menduga ada malpraktik yang dilakukan oknum dokter saat melakukan operasi pertama terhadap anak klien kami. Dan kami akan melayangkan surat somasi kepada Direktur RSUP Mohammad Hoesin," tutup Novel.

Adanya pernyataan dari keluarga pasien (pelapor) bahwa pasca operasi, saat pasien diperbolehkan pulang ternyata muncul efek samping berupa timbulnya aroma yang tidak sedap dari bekas operasi dan keluarnya cairan berwarna kuning dengan intensitas yang secara terus menerus disertai pembengkakan di area vital pasien. Pihak pelapor menduga adanya malpraktik operasi usus buntu, karena tidak ada tindak lanjut dari pihak terdakwa (RSUD) setelah timbulnya efek samping yang fatal pada pasien. Pihak RSUD menyangkal hal tersebut dengan menyatakan bahwa pasien mengalami gizi buruk setelah operasi yang diduga hanya alibi karena lambatnya penyembuhan pasien.

Dalam dugaan malpraktek usus buntu pada kasus ini, dokter yang menangani dapat terjerat pasal berlapis, yakni pasal 359 dan 360 KUHP yang didasari dengan kurangnya ketelitian dalam menerapkan prosedur operasi dan pasca operasi yang berdampak pada pasien. Dipertegas dalam pasal 361 KUHP yang memberikan ancaman pidana lebih berat berupa pencabutan lisensi. Serta pihak RSUD dapat terjerat pasal 19 Ayat (1) UU No 8 Tahun 1999 terkait tuntutan ganti rugi.

Belum diketahui hasil keputusan dari kasus ini, dikarenakan artikel tersebut hanya menyebutkan bahwa kuasa hukum pasien telah mengirimkan surat ke kode etik IDI, tetapi tidak dijelaskan apakah pihak rumah sakit atau dokter yang bersangkutan telah memberikan tanggapan atau klarifikasi lebih lanjut terkait kasus ini.

Dengan adanya kasus dugaan malpraktek usus buntu pada pasien yang disebut kurang gizi oleh tim dokter di RSUP Mohammad Hoesin Palembang dapat ditarik kesimpulan, bahwa  dokter dan tenaga kesehatan harus melakukan penilaian komprehensif terhadap kondisi pasien sebelum menetapkan diagnosis atau melakukan tindakan medis. Tidak hanya itu, informasi dan edukasi kepada pasien tentang kondisi kesehatannya sebelum dan sesudah di operasi, opsi pengobatan yang tersedia, dan risiko yang mungkin terkait dengan tindakan medis juga harus diinformasikan secara jelas dan transparan. 

Oleh karena itu, membangun komunikasi yang transparan antara dokter dan pasien maupun keluarga pasien sangat penting, sehingga pasien memiliki pemahaman yang baik tentang kondisinya dan dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terkait perawatan medis yang harus dilakukan. Disamping itu, dokter juga harus mengacu pada kode etik dokter Indonesia dan apabila dokter lalai dalam menjalankan tugas yang berpatokan pada kode etik yang telah ditetapkan, maka dokter dapat dikenakan sanksi oleh Ikatan Dokter Indonesia. Dokter dapat dijadikan tersangka jika dugaan malpraktik terbukti dilakukan.

Untuk menghindari adanya tindakan malpraktik seperti kasus diatas terulang kembali, saran yang dapat kami berikan adalah sebagai berikut :

  1. Pihak RSUD menyediakan pelatihan lanjutan bagi tenaga kesehatan untuk meningkatkan keterampilan diagnosis dan penanganan kondisi medis yang kompleks.

  2. Melakukan audit medis reguler untuk mengevaluasi kepatuhan terhadap standar pelayanan medis dan menemukan potensi masalah sebelum menjadi kasus malpraktik.

  3. Memperkuat sistem pengawasan dan regulasi terhadap praktik medis, termasuk mengidentifikasi praktik yang tidak sesuai dengan standar.

  4. Membudayakan adanya pelaporan insiden di dalam rumah sakit atau lembaga kesehatan untuk memungkinkan deteksi dini dan tindakan korektif.

  5. Mendorong pemberdayaan pasien melalui literasi kesehatan dan memberikan akses yang lebih besar berupa komunikasi yang jelas dan transparan terkait informasi medis mereka sendiri.

  6. Menegakkan kode etik profesi medis dan menyediakan mekanisme yang efektif untuk menangani dugaan pelanggaran etika.

Tim Penulis: Kelompok 1 Gizi 2022A

  1. Previa Aysyar Ramadhani - 014

  2. Puri Ajeng Handayani - 024

  3. Happy Nur Laili - 029

  4. Ayunda Septi Nurlita - 036

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun