Kendati demikian, tidak ada murid yang tidak bahagia. Di sekitar sekolah, juga ada warung yang dikunjungi tiap istirahat dengan harga yang terjangkau. Favorit saya pribadi adalah kerupuk dengan bihun dan saos di atasnya seharga seribu rupiah. Ah, lupa namanya. Secara formal memang SD ini tidak luas namun kebun yang mengelilinginya adalah taman bermain gratis. Di mana lagi siswa SD belajar sambil memanjat pohon jambu?
Tidak ada murid yang tidak bahagia. Tidak ada tekanan dari orang tua mereka untuk harus meraih nilai UN tertinggi agar masuk SMP favorit untuk dibanggakan di kantor ayahnya atau di kelompok arisan ibunya -- karena kebanyakan orang tua justru ingin anaknya membantu di kebun selepas SD lalu segera menikah; atau tidak pula mereka harus melihat orang tuanya sibuk ke kantor desa untuk mengutak-atik kartu keluarga agar sang anak lolos sistem zonasi -- karena hanya ada satu SMP yang bisa dijangkau, itu pun dengan medan yang lumayan seram.
Adanya satu SD yang bersifat filial ini sendiri telah merupakan kemajuan. Seperti mengutip dari salah satu pemuda saat suatu sore berkumpul di berugak: "Zaman dulu kalau mau sekolah SD harus menyeberangi jurang dan sungai yang pada saat itu belum ada jembatan. Lebih baik bodoh daripada bertaruh nyawa."
Meskipun sukarelawan dari Ekspedisi Lombok'19 yang dibawahi Komunitas "Kita Untuk Indonesia" (@kitauntukina) di sini mengajar, tetapi pada akhirnya kami juga belajar. Bukan hanya belajar bersyukur karena syukur sebaiknya tidak menunggu melihat ketimpangan di depan mata -- atau harus menunggu menyadari seberapa besar privilese yang telah dirasakan. Lebih dari itu belajar untuk bagaimana menipiskan disparitas itu sendiri dengan status kami sebagai sukarelawan yang membawa nama negara di komunitasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H