Kadang tidak ada yang lebih terhubung dengan gambar-gambar di kepalamu, selain sebuah cafe. Sebagian sempat kau rekam dalam potret-potret yang artifisial. Namun kau tetap tahu, rasa tak pernah terwakili sebaik dalam ingatan yang apa adanya.
Sebuah cafe menyimpan tangismu yang tumpah karena kerinduan. Di sana pernah ada kebersamaan, seorang adik perempuan, tawa, dan rasa sayang yang sempat terlewatkan. Celakanya, ketika kau sadar ada yang hilang, cafe itu sudah penuh dengan orang lain dan sejuta cerita barunya.
Kau bisa saja datang lagi, dan nongkrong di cafe kapan saja; tapi bangkumu sehari yang lalu mungkin sudah diduduki orang lain. Tinggal sebuah meja di sudut, tempat kau memandangi keramaian yang tak lagi sama. Karena cafe itu, begitu pun tokoh di dalamnya, kini sudah jadi milik banyak manusia.Â
Dan kau jadi sadar, bahwa sekarang kau cuma pengunjung biasa yang mampir dalam kesehariannya.
Pilihanmu adalah merelakan; karena kau pun sebuah cafe yang mungkin akan dirindukan. Pilihannya hanya pergi sekarang atau nanti. Pertemuan dan perpisahan takkan pernah abadi.
***
Catatan:
Bagaikan sebuah cafe, kau akan pelan-pelan menikmati suasana barunya, dan ia pun mungkin merindukan menu andalanmu. Santai saja, sesekali anggaplah kau dan dia baru pertama kali berjumpa; lalu jadikan dunianya sebuah cafe baru yang buatmu tak pernah jemu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H