Mohon tunggu...
A.Budiyanto
A.Budiyanto Mohon Tunggu... Guru - Pendidik, Pegiat Literasi & Pendidikan

Teacher • Writer • Public Speaker on Education Instagram @ABudiyanto12 | Co-Founder Mulango.ID • Kadiv Inovasi Program Wonosobo Mengajar • Guru SDIT Salsabila Al Muthi'in | Pengajar Praktik (Pendamping) Program Pendidikan Guru Penggerak Kemdikbud RI | Wardah Inspiring Teacher 2020

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ketika Hoaks (Masih) Membuat Resah, Apa yang Salah?

9 Oktober 2019   10:12 Diperbarui: 9 Oktober 2019   10:46 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kembali lagi, beberapa hari yang lalu bumi Papua membara. Kali ini terjadi di daerah Wamena dan Kabupaten Jayawijaya. Kerusuhan yang terjadi diindikasikan karena adanya hoaks. Seperti yang disampaikan oleh polda, bahwa hoaks tersebut berkaitan dengan ucapan rasisme dari seorang guru dan memicu rusuh. Polisi menegaskan bahwa informasi tersebut adalah HOAKS.

Sebenarnya apa yang dimaksud dengan hoaks?

Hoax atau hoaks adalah berita bohong atau berita tidak benar atau berita palsu. Hoaks berisi informasi yang tidak benar dan tidak terjadi, akan tetapi informasi tersebut berusaha disebarkan dengan harapan banyak yang percaya. Menurut Silverman, haoks merupakan sebagai rangkaian informasi yang memang sengaja disesatkan, tetapi "dijual" sebagai kebenaran (Silverman, 2015: online).

Penyebab hoaks variatif. Ada yang hanya karena sensasi, menambah follower di media sosial, menambah pengaruh di masyarakat, sampai ada yang bermotif untuk memecah persatuan dan kesatuan masyarakat bangsa dan negara. Akan tetapi, tujuan yang terakhir ini perlu diwaspadai, karena bisa menimbulkan ketidakstabilan masyarakat, bangsa dan negara.

Seperti yang terjadi di Papua, akibat yang ditimbulkan oleh hoaks sangat mengkhawatirkan. Pasalnya hoaks tersebut menimbulkan kerusuhan yang menimbulkan kerusakan fasilitas umum, pemerintah, serta bangunan milik warga. Bahkan sampai menimbulkan korban jiwa.

Seiring perkembangan zaman, hoaks semakin menjamur dan begitu mudahnya menyebar. Hal tersebut tidak lain karena memang fasilitas untuk menyebarkannya, yaitu teknologi, sudah menjamur. Siapa saja sudah bisa memiliki gawai. Tidak pandang usia dan status ekonomi. Sekali pencet fitur share, hoaks bisa menyebar dengan begitu cepatnya.

Di era yang serba teknologi ini, hoaks memang menyebar dengan begitu mudah. Akan tetapi, tidak sepatutnya kita menyalahkan teknologi dan antipati dengan teknologi. Perkembangan teknologi perlu diimbangi dengan perkembangan literasi di masyarakat. Akan tetapi fakta yang ada, literasi kita memang masih sangat rendah.

Menurut penelitian dari Program for International Student Assessment (PISA) rilisan Organisation for Economic Co-Operation and Develompent (OECD) tahun 2015, Indonesia berada pada peringkat 62 dari 70 negara yang disurvei (bukan 72 karena 2 negara Malaysia dan Kazakhhstan tidak memenuhi kualifikasi penelitian). Skor Indonesia untuk sains adalah 403 dari skor rata-rata 493, untuk membaca 397 dari skor rata-rata 493, dan untuk matematika 386 dari skor rata-rata 490 (Detik News, 05/02/2019).

Sedangkan menurut penelitian tentang 'World's Most Literate Nations' dari Central Connecticut State University (CCSU) tahun 2016, Indonesia berada di urutan 60 dari 61 yang disurvei. Indonesia masih unggul satu tingkat yaitu dari negara Botswana yang menduduki urutan 61 (The JakartaPost, 12/03/2016). Penelitian ini fokus pada lima indikator kesehatan literasi suatu negara, yaitu: perpustakaan, surat kabar, pendidikan, dan ketersediaan komputer.

Literasi digital adalah pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari (Kemendikbud, 2017 : 8).

Literasi digital ini tidak hanya melibatkan kemampuan dalam menggunakan perangkat teknologi informasi dan komunikasi yang ada, seperti HP ataupun media sosial. Akan tetapi, literasi digital ini perlu adanya kemampuan dalam bersosialisasi, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Selain itu, yang lebih penting, dengan literais digital ini, masyakarat harus mampu berpikir lebih kritis, utamanya berkaitan dengan informasi yang tersebar di media.

Pendidikan yang mengedepankan literasi digital seyogyanya sudah mulai diberikan sejak bangku sekolah dasar. Pemerian pengetahuan tentang pemanfaatan digital dan teknologi sudah seharusnya diberikan sejak dini. Di sekolah, guru bisa menggunakan berbagai perangkat media pembelajaran yang berbasis teknologi. Berbagai platform media sosial juga bisa digunakan sebagai sarana dalam proses pembelajaran. Beberapa platform yang bisa dimanfaatkan misalkan youtube, instagram, whatssup, blog, google classroom, google form dan lain sebagainya.

Selain guru sebagai pemangku kepentingan dalam pendidikan, orang tua juga perlu perlu saling kerja sama dan berkolaborasi dalam memberikan pemahaman kepada generasi saat ini tentang penggunaan teknologi yang baik dan benar. Jika sekolah sudah memberikan pemahaman tentang pemanfaatan teknologi yang baik, maka sudah seharusnya orang tua meneruskan misi tersebut di dalam lingkungan keluarga. Hanya orang tua yang memegang kendali segala sesuatu yang digunakan oleh anak, guru hanya bisa memantau dari jauh.

Pendidikan bertugas untuk memberikan benteng yang kokoh dalam menghadapi hoaks atau berita palsu dalam bentuk apapun. Berbekal dari pengetahuan dalam pemanfaatan media digital dan teknologi, setiap generasi sebagai bagian dari masyarakat dapat menyaring segala berita yang diterimanya, tidak langsung diterima dengan begitu saja dan ditelan dengan mentah-mentah.

Dengan literasi digital, selain masyarakat mampu menguasai teknologi yang ada, tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk menyaring informasi yang diterima. Sikap kritis dibangun dengan literasi digital yang baik. Hoaks bisa ditangkal dengan cara segala informasi disaring terlebih dahulu sebelum sharing.  Pemerintah perlu membumikan literais digital tidak hanya di sekolah, tetapi juga dikelurga dan masyarakat. Program seperti "Gerakan Literasi Sekolah" perlu dilakukan di masyarakat dan keluarga.

Daftar Pustaka

Detik News. 2019. Benarkah Minat Baca Orang Indonesia Serendah Ini? Diakses dari https://news.detik.com/berita/d-4371993/benarkah-minat-baca-orang-indonesia-serendah-ini pada Selasa, 24 September 2019 pukul 20.15 WIB.

Silverman, Craig. (2015). Journalism: A Tow/Knight Report."Lies, Damn Lies, and Viral Content". Columbia Journalism Review (dalam bahasa Inggris). Diakses dari https://www.cjr.org/tow_center_reports/craig_silverman_lies_damn_lies_viral_content.php pada Selasa, 24 September 2019 pukul 20.35 WIB.

The Jakarta Post. 2016. Indonesia second least literate of 61 nations. Diakses dari https://www.thejakartapost.com/news/2016/03/12/indonesia-second-least-literate-61-nations.html pada Selasa, 24 September 2019 pukul 20.20 WIB.

Tim GLN Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2017. Materi Pendukung Literasi Digital Gerakan Literasi Sekolah. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Bio Penulis

A.Budiyanto, S.Pd

Peserta Virtual Coordinator Training Batch 5 dan Peserta Virtual Coordinator for Instructor dari SEAMEO SEAMOLEC tahun 2019

Pendidik di SDIT Salsabila Al Muthi'in

Pegiat Pendidikan dan Literasi

Ketua Divisi Inovasi Program Komunitas Wonosobo Mengajar

Anggota Komunitas Guru Belajar Jogja

Penulis Buku "Pemahaman Wawasan Nusantara dan Sikap Bela Negara di SD"

Kontributor Buku "Pendidikan yang Memanusiakan, Bukanlah Mitos?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun