Berangkat dari keprihatinan akan situasi kehidupan kebangsaan yang terjadi belakangan ini, di mana benih-benih perpecahan di antara berbagai kelompok yang ada di dalam NKRI kian semai melalui ujaran-ujaran kebencian, caci maki antar personal hingga golongan, ajakan melakukan tindak kekerasan, menyuburkan sikap saling curiga di antara kelompok-kelompok yang berbeda dan lain sebagainya, Alissa Wahid bersama beberapa tokoh muda lainnya berinisiatif melakukan sebuah aksi nyata yang dimaksudkan untuk meredam situasi semacam ini. Ia lalu menggagas sebuah pertemuan di antara para tokoh masyarakat yang kiprah dan kredibilitasnya akan pengelolaan keragaman dan persatuan di dalam bernegara dan berbangsa selama ini telah teruji.
Melalui acara bertajuk "Seruan Sesepuh Bangsa untuk Perdamaian Indonesia" yang dihelatnya di Gedung University Center, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada Jumat, 26 Mei 2017, Alissa Wahid mengundang dan mempertemukan sejumlah tokoh agama di dalam sebuah forum untuk merumuskan sikap atas kondisi kebangsaan saat ini yang kemudian dituangkan ke dalam butir-butir pernyataan sikap yang dibacakan di akhir acara. Di antara para tokoh yang hadir saat itu yakni Buya Syafii Maarif, Kardinal Julius Dharmaatmaja, Sinta Nuriyah, Bhikkhu Nyana Suryanadi, Mohamad Sobary, Pendeta Gomar Gultom, Prof. Abdul Munir Mulkan, Ida Bagus Agung, Engkus Ruswana, dan Budi Suniarto. Sedangkan dua tokoh lainnya yang tidak dapat hadir namun memberikan apresiasi dan sumbangsih pemikirannya melalui rekaman video yakni Prof. Dr. Quraish Shihab dan KH. Ahmad Mustafa Bisri atau dikenal dengan sebutan Gus Mus.
Di dalam pertemuan itu, melalui rekaman video yang dikirimnya, Prof. Dr. Quraish mengatakan bahwa meski kita harus bersyukur sebab situasi bangsa yang tengah memprihatinkan ini tidak sampai menjerumuskan masyarakat dan negara ini pada kondisi seperti di Timur Tengah, namun kita mesti hati-hati di dalam mengelola situasi ini agar tak mengalami nasib serupa dengan yang terjadi di sana. Kemudian, ia mengingatkan bahwa agama itu senantiasa menampilkan dan mengungkapkan kedamaian serta membenci atau tidak merestui segala sesuatu yang menimbulkan konflik, semisal caci maki dan sebagainya. Untuk itu, di tengah situasi seperti saat ini, beliau menghimbau agar  setiap kita hendaklah menyadari bahwa kondisi ini adalah bagai api dalam sekam, sehingga kita semua mesti berusaha untuk memberikan apa yang dapat diberikannya demi menjaga kerukunan bangsa ini, demi menjaga hal yang sangat berharga bagi bangsa ini,  yakni negara kesatuan Republik Iindonesia. Di samping itu, hendaklah setiap kita juga mewariskan kesadaran semacam itu terhadap keluarga  kita, serta menyadari bahwa kita harus tetap satu dalam kedamaian dan satu dalam kebhinekaan. Beliau juga mengharapkan agar para pemuka agama, khususnya para ulama dari kelompok muslim bisa memberikan bimbingan yang dapat membuat masyrakat hidup lebih tenang dan lebih damai, serta meluruskan kebenaran dengan cara yang damai dan  baik. Selain itu, beliau juga menghimbau agar pemerintah melakukan tindakan yang tegas namun bijaksana di dalam menyikapi setiap persoalan bangsa ini.Â
Adapun Buya Syafii Maarif, di dalam kesempatan tersebut, menyatakan bahwa meski memang situasi bangsa saat ini cukup memprihatinkan, namun hendaknya bangsa ini tidak boleh menyerah dan hanyut dalam pesimisme serta keputusaan. Setiap kita harus bangkit kembali menyelamatkan bangsa ini, menyelamatkan generasi bangsa ratusan bahkan ribuan tahun yang akan datang. Beliau menghimbau agar pemerintah, para politisi, dan siapa saja yang memang mencintai bangsa ini harus bangkit, harus berjuang untuk keluar dari kondisi semacam ini. Hal ini dikuatkan dengan pendapat  Sinta Nuriyah yang mengatakan bahwa menjaga dan merawat bangsa dan negara dari berbagai macam rongrongan, baik yang bersifat kesukuan, agama, maupun pertikaian-pertikaian yang tujuannya adalah untuk mengobrak-abrik negara Indonesia adalah kewajiban setiap kita, warga negara Indonesia. Karena itu, semua pihak harus bersatu, saling bergandeng tangan dan merapatkan barisan untuk melawan kezhaliman dan ketidakadilan yang muncul di negara ini.
Adapun tokoh Katolik, Kardinal Julius Dharmaatmaja, mengamanatkan untuk senantiasa merawat persaudaraan sejati, saling menyejahterakan antar sesama dan bersaudara satu sama lain. Sebab, dengan begitu, berarti setiap kita yang mengakui diri sebagai orang beriman ini sedang berusaha menghormati Allah yang menciptakan seluruh makhluk. Â Mesti diingat bahwa jika hendak menghormati tuhan, maka hendaklah menghormati martabat kemanusiaan. Beliau juga berpesan bahwa hendaklah diingat bahwa kesalihan hidup tidak bergantung hanya pada bagimana seseorang itu beribadah, melainkan pula pada bagaimana seseorang itu berbuat kepada orang lain. Karenanya, kita mesti meghormati satu sama lain dalam bentuk persaudaraan serta saling menghormati dan membantu sesama.
Hal senada juga ditekankan oleh Engkus Ruswana dari Majlis Luhur Kepercayan. Ia mengatakan  bahwa keragaman adalah kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Bahkan, di dalam diri setiap kita saja keragaman itu dapat ditemukan, di mana setiap anggota badan kita berbeda baik bentuk dan fungsinya, tetapi saling menolong dan merawat satu sama lain. Karena itu, menurutnya, begitulah seharusnya kita bersikap terhadap lian di dalam keragaman dunia ini, khususnya di dalam konteks bernegara di Indonesia. Dalam kesempatan itu, Engkus juga mengungkapkan keprihatinanya atas sikap dari kelompok tertentu yang kurang dapat bersikap bijak di dalam menghadapi kebhinekaan. Hal ini diperburuk dengan adanya pembiaran terhadap kelompok-kelompok semacam itu, hadirnya kesenjangan ekonomi serta terabaikannya pendidikan kebangsaan, semisal pendidikan pancasila, sehingga lahirlah kelompok-kelompok radikal yang membahayakan persatuan dan kesatuan  bangsa. Karenanya, untuk menghadapi hal ini, ia menyarankan agar warga negara ini senantiasa berpegang teguh pada Pancasila dan UUD 1945 serta menjunjung tinggi kebhinekaan. Selain itu, kearifan lokal sebagai bagian dari modal sosial bangsa ini hendaknya tidaklah diabaikan.Â
Budi Suniarto dari Konghucu menyebutkan bahwa kondisi saat ini, dalam iman Konghucu, adalah kondisi di mana dunia ingkar dari jalan suci. Hal ini ditandai dengan dikalahkannya kebajikan besar oleh kebajikan kecil; kalahnya kepentingan yang lebih besar oleh segelintir atau sekelompok golongan. Jika dibiarkan, hal ini akan membahayakan kehidupan kebangsaan di negeri ini. Â Untuk itu, menurutnya, hendaklah setiap orang mengambil sikap atas tindakan merugikan dari kelompok-kelompok semacam itu dengan cara-cara yang elegan, damai, dan penuh cinta kasih, sehingga dapat dipahami bahwa perbedaan adalah suatu keindahan. Selain itu, syakwasangka dan kecurigaan hendaklah dihindari, serta pendidikan di negeri ini harus kembali kepada wawasan kebangsaan yang baik dan benar, sehingga tunas-tunas bangsa bisa menggantikan para pendahulu bangsanya yang begitu mulia, yang sanggup menghilangkan segala kepentingan pribadi untuk sebuah bangsa yang besar bernama bangsa Indonesia.
Tak jauh berbeda dengan Budi Suniarto, Pendeta Gomar Gultom mengatakan bahwa apa yang terjadi saat ini adalah buah pembiaran dari masyarakat dan pemerintah atas dipingirkannya ideologi Pancasila pasca reformasi. Selain itu, hal tersebut juga dipicu oleh hadirnya realitas kemiskinan serta abainya negara dalam menjamin ketentraman masyarakat, sehingga ujaran kebencian, aksi-aksi intoleran dan aksi-aksi kekerasan lainya kerap  terjadi selama belasan tahun belakangan ini. Karenanya, menurut beliau, kembali kepada jatidiri Pancasila dan hadirnya sikap tegas negara dalam menindak segala bentuk sikap intoleran dan ketidakadilan adalah satu-satunya solusi  agar  bangsa ini dapat keluar dari situasi seperti sekarang ini. Melengkapi hal ini, Bhikkhu Nyana Suryanadi mengatakan bahwa usaha untuk keluar dari situasi ini mesti dimulai dari diri setiap kita, namun bukan dengan cara kekeraan yang sama, melainkan dengan kesejukan hati serta dilandasi cinta kasih. Hal ini dibenarkan pula oleh Ida Bagus Agung dari Hindu. Ia mengatakan bahwa di zaman kaliyuga ini, di mana kekerasan kerap digunakan guna memncapai tujuan, hendaklah kita melawan dengan mengembangkan kasih sayang, membangun persaudaraan sejati tanpa ada sekat-sekat SARA, serta senantiasa berupaya membangun kerukunan dan perdamaian hingga perilaku kekerasan tidak akan lagi dapat melawan kita. Menegaskan akan keniscayaan kontinuitas upaya untuk keluar darisituasi seperti sekarang ini, Mohamad Sobary mengatakan bahwa kehidupan damai, tenteram, dan saling menolong tidak dapat diciptakan satu kali, namun harus terus diciptakan ulang sampai kita bisa meyakini bahwa setiap orang bukan ancaman bagi orang yang lain; setiap kelompok masyarakat bukan ancaman bagi kelompok masyarakat yang lain. Selain itu, ia mengingatkan para peserta yang hadir bahwa di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, standar ukuran yang digunakan untuk menghormati orang lain bukanlah agama, etnis, atau golongan, melainkan kewarganegaraan yang dimiliki setiap orang.Â
      Pertemuan ini kemudian ditutup dengan pembacaan teks rumusan para sesepuh bangsa tersebut oleh  Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan sebagai berikut:
Seruan Sesepuh Bangsa
- Semua elemen bangsa, khususnya pemerintah, harus melakukan penyadaran bagi semua pihak tentang pentingnya persatuan dalam Indonesia yang bhineka dan mendudukkan Pancasila sebagai kepribadian bangsa untuk semua generasi.
- Pemerintah harus bersikap tegas dan bijaksana dalam menanggapi situasi yang menjurus pada keretakan persatuan dan segera bertindak menggutamakan keselamatan bangsa dan negara
- Pemerintah harus memiliki sikap dan bahasa yang sama dalam menghadapi berbagai tantangan hidup berbangsa dan bernegara.
- Pendidikan politik dan sejarah kebangsaan perlu dikuatkan kembali, baik kepada para politisi maupun semua elemen bangsa demi keselamatan dan masa depan bangsa
- Perlu dibangun persaudaraan sejati dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab demi terjaganya pesatuan dan kesatuan bangsa. Tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan kepada semua makhluk ciptaan tuhan, bahkan semua agama mewajibkan penerimaan dan penghormatan kepada orang lain.
Yogyakarta, 26 Mei 2017