Multikulturalisme: Solusi atau Bunuh Diri ?
[caption id="attachment_339672" align="aligncenter" width="650" caption="sumber: http://3.bp.blogspot.com/"][/caption]
Belum habis trauma pasca terjadinya penyerangan massa terhadap aktivitas peribadatan di kediaman Direktur Galang Press, Julius Felicius di kawasan Perumahan YKPN, Sleman beberapa hari lalu, kembali terjadi peristiwa serupa tapi tak sama. Kali ini terjadi di Dusun Pangukan, Desa Tridadi, Sleman. Puluhan massa secara serentak merusak sebuah bangunan milik seorang pendeta berinisial NL. Kejadian itu bermula saat NL dan sejumlah jemaahnya menjalankan ibadah di bangunan itu pada Minggu (1/6) sekitar pukul 08.30 pagi. Sekitar setengah jam kemudian, belasan warga sekitar datang untuk memprotes kegiatan itu.
Selidik, ternyata latar belakang pengrusakan itu adalah lantaran massa menganggap bangunan tersebut belum memiliki ijin sebagai tempat peribadatan. Bagi masyarakat awam, jelas hal ini sangat merisaukan.
Terlepas dari apapun latar belakang persoalannya, pengrusakan dan aksi kekerasan yang dibungkus kemasan agama ini kian memunculkan kesan bahwa negara memang telah gagal dalam menjalankan misinya sebagai penguasa negara yang berkarakter plural. Negara juga telah gagal dalam menerapkan prinsip kebhineka tunggal ika-an yang selama ini selalu digembar-gemborkan sebagai prinsip utama dalam dasar negara yang mereka jalankan.
Semua agama yang dikonstruksi secara formal dengan sebuah legalisasi sebagai ‘agama resmi’ di Indonesia pada dasarnya merupakan barang impor. Agama resmi tersebut hadir bukan dari dan dalam tabung kosong, melainkan ada dan mengada dalam konteks kebudayaan masyarakat. Ini berarti bahwa jauh sebelumnya, masyarakat Indonesia sebenarnya sudah memiliki keyakinan meski belum bisa dikategorikan dalam konteks keagamaan.
Kehadiran 'agama resmi' itu pun kemudian menciptakan keanekaragaman baru dan menjadi suatu kekuatan integratif sehingga menciptakan identitas yang melekat dengan masyarakat tersebut. Di bagian lain, terjadi semacam dialog antara agama resmi dan keyakinan keagamaan setempat, dan antar pemeluk 'agama resmi' (baca: umat). Pada kenyataanya, terjadi konversi, tarik ulur, ketegangan, dan ‘penaklukkan’ atas nama agama atau ‘Berperang Demi Tuhan’. Dari situlah perlahan wajah 'agama resmi' itu pun pada akhirnya muncul.
Dalam Islam misalnya, konstruksi minna dan minkum segera direproduksi dalam sebuah arena. Bahkan tak jarang kemudian konstruksi itu pun dengan sengaja direduksi. Inilah yang kemudian membuat perjalanan agama menjadi menyimpang dari esensi agama yang pada hakikatnya rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam, terj) berubah menjadi konflik dengan atas nama Tuhan. Agama menjadi ‘berlumuran darah’ dan manusia pun ‘baku bunuh’ dengan mengatasnamakan Tuhan. Beberapa kasus yang terjadi di Indonesia menguatkan hipotesa tersebut. Konflik individu meluas menjadi konflik keyakinan keagamaan karena manipulasi simbol sakral untuk kepentingan sesaat dan konsepsi ‘jihad’ yang direproduksi dengan (sangat) sempit.
Dalam konteks kenegaraan, atribut-atribut agama tidak diusung secara formal, melainkan hanya diambil substansinya saja. Sedangkan atribut formal yang ada dalam UUD, landasan idiil, dan landasan operasional membuat negara kemudian dinyatakan sebagai negara beragama ‘kaum beriman’. Bahkan untuk menegaskannya, Departemen Agama, sebagai tangan kanan negara dengan segala otoritasnya kemudian berhak (baca: wajib) untuk menentukan sah atau tidaknya (baca: mudarad) kelompok keagamaan yang berbeda. Dari sinilah kemudian, masyarakat luas mulai mengenal dan terbiasa dengan istilah bid'ah, sesat, dsb.
Satu hal yang perlu dicermati di sini, keputusan negara itu pada dasarnya sangat tidak kedap kepentingan politik. Keputusan itu pun sengaja dimunculkan untuk legitimasi paspor kekuasaan. Dari sinilah, secara tidak langsung, saya dapat mengatakan bahwa lembaga tersebut merupakan institusi yang tak ubahnya seperti ‘Tuhan’. Pasalnya, dari tangan mereka lah kadar keimanan seseorang ditentukan. Penganut agama yang tidak sesuai dengan keputusan mereka sudah barang tentu akan dinyatakan sebagai penganut agama terlarang, sesat dan menyesatkan.
Seharusnya agama menjadi urusan pribadidari tiap individu. Negara hanya mengatur keberadaan agama di ranah publik. Dalam ranah itu manusia dituntut untuk menjunjung tinggi kepentingan publik sehingga formalisasi agama menjadi tidak penting lagi. Untuk ini, saya pribadi kemudian teringat dengan surat tentang toleransi agama yang pernah ditulis oleh seorang tokoh empirisme asal Inggris, John Locke pada tahun 1989. Dalam surat itu tertulis: '[A]pabila berkumpul secara hidmat, menjalankan perayaan agama, beribadah di tempat umum diijinkan kepada kelompok agama tertentu, maka hal ini juga harus diijinkan terhadap kelompok agama yang lain'.