JAKARTA-Pertarungan politik Joko Widodo dan Prabowo Subianto belum bisa dikatakan selesai begitu saja, meski pasangan Jokowi-Jusuf Kalla ditetapkan sebagai presiden RI ke-7. Pasalnya Prabowo diprediksikan akan terus menjadi oposisi pemerintahan Jokowi hingga lima tahun ke depan.
Ini jika melihat koalisi oposisi dari kubu Prabowo yang mengusai kursi parlemen. Secara tidak langsung, setiap kebijakan eksekutif akan terganjal pada tingkat legislatif.
Dari data Komisi Pemilihan Umum (KPU) saja, kursi di parlemen yang diduduki koalisi Merah Putih mencapai 292 kursi. Ini belum termasuk hitungan jika Demokrat berani merapat ke kubu koalisi Merah Putih, berarti total kursi untuk koalisi pasangan Prabowo-Hatta Rajasa akan menjadi 353 kursi.
Artinya, sisa kursi yang dikuasai oleh koalisi pasangan Jokowi-JK yang hanya 147 kursi wakil rakyat saja, akan membuat program pemerintahan 2014-2019 terasa berat.
Beban ini ditambah jika Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada tentang pemilihan kepala daerah kembali pada era Orde Baru yakni dipilih oleh DPRD masing-masing daerah benar digedok. Karena akan berdampak tidak langsung pada kekuatan politik pemerintahan Jokowi.
Pasalnya, jika RUU Pilkada benar digedok, berarti hampir dipastikan koalisi Prabowo-Hatta juga akan merongrong hingga ke daerah. Praktik deal-deal politik antara DPRD di daerah dengan kepala daerah tidak akan dihindarkan.
Lebih jauh, koalisi Prabowo-Hatta yang mendominasi kursi parlemen akan dengan mudah memberikan instruksi kepada DPRD masing-masing daerah untuk mengarahkan pilihan politik. Termasuk menentukan siapa kepala daerah yang harus dipilih.
Meski prediksi ini masih terlihat kasar, tapi sejumlah pengamat politik pun mengamini bahwa pemerintahan Jokowi-JK akan susah payah untuk menjalankan roda pemerintahannya secara penuh.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P) dan sejumlah partai pengusung Jokowi-JK pun harus bermanufer untuk setidaknya menghimpun kekuatan partai yang belum menentukan sikap politik, seperti Demokrat. Selain itu, sejumlah partai yang masih goyah untuk bertahan dengan koalisi Merah Putih, seperti PPP dan PKS juga bisa dimanfaatkan untuk menguatkan kursi parlemen Jokowi-JK.
Saat ini, manufer kubu Jokowi-JK mulai terlihat untuk menguatkan kekuatan parlemennya. Seperti yang terlihat di sejumlah pemberitaan akhir-akhir ini tentang keputusan kubu Jokowi-JK untuk membatalkan perampingan kabinet yang semula direncanakan 24 menteri saja, kini hampir sama dengan kabinet era SBY-Boediono, hanya saja dikurangi satu kementerian.
Dimungkinkan, in-konsistensi Jokowi-JK untuk merampingkan kabinetnya menjadi 25 kementerian saja untuk memberikan ruang partai koalisinya masuk. Artinya 16 kursi menteri yang direncanakan dari profesional partai politik digunakan Jokowi untuk menghimpun sebanyak-banyaknya kursi di parlemen.
Sikap in-konsistensi Jokowi ini memperlihatkan, kubu yang diusung partai PDIP ini tengah goyah dan ketakutan terhadap kekuatan Prabowo di parlemen. Sejumlah pengamat politik dan peneliti dari Universitas Indonesia seperti Siti Zuhro pun menilai bahwa Jokowi ingkat janji.
Ini dikatakan Siti lantaran sebelumnya, saat dalam masa kampanye pilpres beberapa bulan yang lalu, Jokowi melontarkan gagasan akan merampingkan kabinet dan jumlahnya tidak akan lebih dari 24 menteri, dengan dalih efisiensi.
“Selain itu, dia juga mengatakan, sebagian besar menterinya akan diisi oleh orang-orang profesional. Bukan dari kalangan partai politik,” kata Siti seperti yang dilansir ROL.
Faktanya, postur kabiner yang diumumkan Jokowi beberapa hari yang lalu, jumlahnya masih tetap gemuk, yakni 34 orang. Dari 34 jumlah kabinet tersebut, 18 kementerian akan diisi oleh kalangan profesional dan 16 kementerian dibagi untuk partai pendukung seperti PDI-P, PKB, Nasdem dan Hanura.
Padahal menurut Siti, Jokowi bisa saja keluar dari tekanan partai pendukungnya yang menuntut jatah menteri. Meski begitu itu adalah keputusan yang riskan jika melihat lagi, kursi di parlemen yang dikuasai oleh koalisi Merah Putih.
Dimungkinkan, postur 34 kabinet Jokowi-JK ini adalah hasil dari pertimbangan Jokowi dengan Presiden SBY agar Demokrat segera berlabuh ke kubunya. Hal itu bisa saja terjadi, mengingat pada Oktober mendatang Jokowi harus menyerahkan daftar nama menterinya dan segera dilantik menjadi Presiden 2014-2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H