Mohon tunggu...
A. Dita Febriyanti
A. Dita Febriyanti Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Gula Jawa; coklat, manis, alami, mudah larut.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Arahan Penyediaan Fasilitas Pelayanan Kota di Daerah Urban Sprawl Surabaya

29 April 2012   05:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:59 2078
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut pandangan Erwin (1997) dalam Devira (2008), menjelaskan bahwa urban sprawl merupakan fenomena perluasan kawasan perkotaan. Perluasan tersebut dapat terjadi secara menempel terhadap kawasan kota "lama" melalui jaringan jalan dan juga dapat terjadi secara "melompat". Hal ini terjadi karena ketersediaan  ruang di dalam kota tetap dan terbatas, sehingga kebutuhan ruang akan tempat tinggal meningkat yang menyebabkan adanya perpindahan penduduk dari pusat kota ke daerah pinggiran (sub-urban).

Gejala urban sprawl di suatu wilayah sangat terkait dengan urbanisasi, yang secara umum berarti pengkotaan (proses menjadi kota). Adapun permukiman yang mengalami proses pengkotaan adalah permukiman rural. Selanjutnya, kota-kota tersebut tumbuh meluas, daerah pinggiran  yang semula daerah perdesaan berubah menjadi kota.

Fenomena urban sprawl biasanya terjadi pada kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Bandung. Salah satu fenomena tersebut terjadi di kawasan Surabaya Metropolitan Area (SMA) yang terdiri dari Kota Surabaya sebagai kota intinya serta Kabupaten Sidoarjo, Bangkalan, dan Gresik sebagai wilayah pinggirannya. Devira (2008) menjelaskan bahwa Kabupaten Sidoarjo merupakan daerah sprawling dari Kota Surabaya. Kabupaten Sidoarjo terdiri dari Kecamatan Waru, Kecamatan Sedati, Kecamatan Gedangan, dan Kecamatan Taman. Salah satu tanda terjadinya pemekaran kota di daerah pinggiran kota yaitu adanya pergantian pemukiman-pemukiman lama dengan pemukiman-pemukiman baru yang kondisi ekonominya lebih baik (Rustiati dalam Devira 2008).

Pada umumnya, keberadaan urban sprawl di suatu wilayah ditandai dengan munculnya permukiman di pinggiran kota, salah satunya adalah permukiman yang ada di Kecamatan Waru. Adanya perumahan dan permukiman ini dapat mempengaruhi berkembangnya suatu wilayah. Posisi Kecamatan Waru yang merupakan daerah perbatasan antara Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo memiliki prospek perkembangan yang bagus. Permukiman yang ada di Kecamatan Waru meliputi permukiman formal dan informal (Safeyah, 2003). Berdasarkan RDTRK Kecamatan Waru Tahun 1999/2000-2008/2009, penggunaan lahan di Kecamatan Waru sebagian besar diperuntukkan sebagai permukiman yakni sebesar 1.185, 49 Ha atau sebesar 42,75%.

Daerah urban sprawl di Kecamatan Waru didominasi oleh lahan permukiman. Hal tersebut menunjukan bahwa Kecamatan Waru merupakan daerah yang penduduknya padat. Menurut Revisi RTRW Kabupaten Sidoarjo tahun 2008-2028, Kecamatan Waru merupakan kecamatan dengan tingkat kepadatan penduduk yang tertinggi di Kabupaten Sidoarjo yaitu 53 jiwa/Ha dengan luasan wilayah 30,32 km2 dan jumlah penduduk sebanyak 159.775 jiwa pada tahun 2006. Semakin padatnya penduduk di suatu wilayah tentu akan menimbulkan pertumbuhan permukiman yang harus diimbangi dengan ketersedian akan fasilitas pelayanan kota. Makin besar suatu kota, makin beragam fasilitas yang disediakan sehingga makin luas wilayah pengaruhnya (Tarigan, 2005;30). Menurut Dinas PU dalam Tarigan (2005;125) menjelaskan bahwa suatu kota dengan kepadatan ≥ 50 jiwa/Ha dapat dikatakan mampu memenuhi fasilitas pelayanan kotanya sendiri. Pada kenyataanya, kebutuhan penduduk Kecamatan Waru akan penyediaan fasilitas pelayanan kota masih tergantung pada Kota Surabaya. Ketergantungan tersebut terlihat pada kecenderungan penduduk Kecamatan Waru yang melakukan commuting atau nglaju ke Kota Surabaya. Aktivitas nglaju ke Kota Surabaya tersebut dilakukan penduduk untuk bekerja, sekolah, memperoleh rekreasi dan lain-lain. Menurut Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil tahun 2008, jumlah penduduk Kota Surabaya yakni 2.902.507 jiwa, namun pada siang hari jumlah penduduk yang ada di Surabaya bisa mencapai 5 sampai 6 juta sedangkan pada malam hari kembali normal. Dengan begitu dapat terlihat jelas bahwa jumlah penduduk di Surabaya 2 sampai 3 juta jiwa pada siang hari adalah penduduk di wilayah sekitar Surabaya yang melakukan commuting atau nglaju.

Melihat adanya ketergantungan wilayah ini menandakan bahwa penyediaan fasilitas kota di Kecamatan Waru masih dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan penduduk kawasannya yang bisa dipastikan akan terus meningkat. Namun dalam pengadaan fasilitas kota di Kecamatan Waru sebagai daerah sprawling Kota Surabaya, diperlukan arahan terkait penyediaan fasilitas kota berdasarkan preferensi penduduk disana, sehingga terjadi kesuaian antara kebutuhan dengan penyediaan dalam pembangunan kota. Maka dari itu penelitian ini akan membahas arahan penyediaan fasilitas pelayanan kota sesuai dengan kebutuhan penduduk di Kecamatan Waru sebagai daerah urban sprawl Kota Surabaya.

1.2 Rumusan Masalah

Berkaitan dengan permasalahan yang telah dipaparkan di dalam latar belakang, maka pertanyaan yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyediaan fasilitas pelayanan kota dan seberapa besar pengaruh faktor-faktor tersebut di Kecamatan Waru.

1.3 Tujuan dan Sasaran

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan arahan penyediaan fasilitas pelayanan kota sesuai dengan kebutuhan masyarakat di Kecamatan Waru. Sementara itu, tujuan di atas memiliki sasaran sebagai berikut :

1.      Penilaian kinerja fasilitas pelayanan kotadi Kecamatan Waru.

2.      Preferensi fasilitas pelayanan kota yang dibutuhkan oleh masyarakat di Kecamatan Waru

3.      Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penyediaan fasilitas pelayanan kota berdasarkan kebutuhan masyarakat di Kecamatan Waru

1.4 Ruang Lingkup

1.4.1 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian dalam penelitian ini adalah salah satu daerah urban sprawl Kota Surabaya yaitu Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo.

1.4.1 Ruang Lingkup Pembahasan

Lingkup pembahasan penelitian ini difokuskan pada penyediaan fasilitas pelayanan kota di Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo. Selanjutnya mengindentifikasi preferensi kebutuhan penyediaan fasilitas pelayanan kota. Setelah itu diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyediaan fasilitas kota tersebut serta apa saja arahan penyediaan fasilitas pelayanan di Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini meliputi:

1.   Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk memberikan masukan studi terhadap bidang ilmu pengembangan kota khususnya dalam  pemanfaatan ruang yang terkena dampak dari fenomena urban sprawl.

2.   Manfaat Praktis

Manfaat  praktis  yang  diharapkan   dari  penelitian  ini  adalah  memberikan  rekomendasi kepada pemerintah Kabupaten Sidoarjo, khususnya Kecamatan Waru  dalam penyusunan kebijakan berupa arahan penyediaan fasilitas pelayanan kotasebagai upaya pemenuhan kebutuhan fasilitas pelayanan kota di Kecamatan Waru dalam menanggapi fenomena urban sprawl.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Urban Sprawl

2.1.1    Definisi Urban Sprawl

Urban sprawl merupakan proses perembetan kenampakan fisik kota ke arah luar (Yunus, 2000). Peristiwa perembetan kenampakan fisik ini terjadi ketika kebutuhan akan ruang di perkotaan besar namun tidak diikuti dengan ketersedian ruang di dalam kota, sehingga menyebabkan pengambil alihan lahan non urban oleh penggunaan lahan urban di daerah pinggiran kota. Sementara itu, menurut Northam (1975) dalam Yunus (1999) menyebutkan bahwa:

Urban sprawl refers to the areal expansion of urban concentrations beyond what they have been. Urban sprawl involves the conversion of land peripheral to urban center that has previously been used for non urban uses to one or more urban uses.

Menurut Harvey dan Clark (1971)  dalam Yunus (1999):

Urban Sprawl refers to the continuous expansion around large cities, where by there is always a zone of land that is in the process of being converted defined of the growth of metropolitan area through the process of development of miscellaneous type of land use in the urban fringe areas.

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan beberapa definisi Urban Sprawl adalah :

a.       Perluasan kawasan keluar daerah kota termasuk konversi lahan di wilayah pinggiran dari daerah kota dengan penggunaan lahan non perkotaan menjadi penggunaan perkotaan.

b.      Perluasan secara terus menerus di sekitar kota besar dimana terjadi proses konversi penggunaan lahan dari pedesaan menjadi perkotaan.

Sedangkan pengertian menurut Rosul (2008), urban sprawl atau dikenal dengan pemekaran kota merupakan bentuk bertambah luasnya kota secara fisik. Perluasan kota disebabkan oleh semakin berkembangnya penduduk dan semakin tingginya arus urbanisasi. Semakin bertambahnya penduduk kota menyebabkan semakin bertambahnya kebutuhan masyarakat terhadap perumahan, perkantoran, dan fasilitas sosial ekonomi lain.

Salah satu yang menjelaskan gejala perkembangan kota adalah "teori kekuatam dinamis" uang dikemukakan oleh Colby pada tahun 1959. Adapun hal yang mendasari teori ini adalah karena adanya persepsi terhadap lingkungan dari penduduk yang berbeda-beda, sehingga timbulah kekuatan-kekuatan yang menyebabkan pergerakan penduduk yang mengakibatkan terjadinya perubahan penggunaan lahan di luar kota atau daerah pinggiran kota (Giyarsih, 2001).

Hammond dalam Rustiati (2005) mengemukakan beberapa alasan tumbuhnya daerah pinggiran kota yaitu :

a.    Adanya peningkatan pelayanan transportasi kota, memudahkan orang bertempat tinggal pada jarak yang jauh dari tempat kerjanya.

b.   Berpindahnya sebagian penduduk dari pusat kota ke bagian tepi-tepinya dan masuknya penduduk baru yang berasal dari pedesaan

c.    Meningkatkan taraf hidup masyarakat.

2.1.2    Faktor Terjadinya Urban Sprawl Dilihat dari Beragam Persepsi

Faktor yang mendorong terjadinya proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar (Urban Sprawl) antara lain dipengaruhi oleh gerak sentrifugal. Dimana gerak sentrifugal ini mendorong gerak keluar dari penduduk dan relokasi usahanya, lalu terjadi dispersi kegiatan manusia dan relokasi sektor-sektor dan zona-zona kota. Terdapat enam hal yang mendorong gerak sentrifugal (Yunus, 2006) yaitu:

1.   Adanya gangguan yang berulang seperti macetnya lalu lintas, polusi dan gangguan bunyi menjadikan penduduk kota merasa tak enak bertempat tinggal dan bekerja di kota.

2.   Industri modern di kota memerlukan lahan-lahan yang relatif kosong di pinggiran kota dimana dimungkinkan pemukiman yang tak padat penghuninya, kelancaran lalu lintas kendaraan kemudian parkir mobil.

3.   Sewa lahan yang jauh lebih murah jika dibandingkan dengan di tengah kota.

4.   Gedung-gedung bertingkat di tengah kota tak mungkin lagi diperluas, ini berlaku juga untuk perindustrian, kecuali dengan biaya yang sangat tinggi.

5.   Perumahan di dalam kota pada umumnya serba sempit, kumuh dan tak sehat, sebaliknya rumah-rumah yang dapat dibangun di luar kota dapat diusahakan luas dan sehat.

6.   Sebagian penduduk kota berkeinginan secara naluri untuk menghuni wilayah di luar kota yang terasa lebih alami.

2.2 Fasilitas Pelayanan Kota

Fasilitas pelayanan kota yang dibutuhkan masyarakat dalam lingkungan suatu kota meliputi fasilitas pendidikan, kesehatan, perdagangan dan jasa, pemerintahan dan pelayanan umum, peribadatan, rekreasi dan kebudayaan, olahraga dan lapangan terbuka, Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan makam serta fasilitas penunjang kegiatan sosial lainnya di kawasan perkotaan. Menurut Tarigan (2005), terdapat beberapa fasilitas pelayanan kota yang tidak diragukan lagi menciptakan daya tarik bagi sebuah kota, misalnya pasar (termasuk toko serba ada atau swalayan), kompleks pertokoan (ruko), fasilitas pendidikan dan fasilitas kesehatan. Akan tetapi, cukup banyak fasilitas lain yang ada di perkotaan yang juga memiliki daya tarik dan apabila tidak dibatasi akan membuat daftar fasilitas menjadi sangat panjang. Fasilitas lain misalnya perbankan, apotek, notaries, pengacara, perkantoran dan lain-lain. Apabila diinginkan semua faktor lain dapat dimasukkan dalam analisis, tetapi bisa juga disederhanakan dengan hanya memasukkan empat faktor utama tersebut. Penyerdehanaan ini didasarkan atas asumsi bahwa banyak fasilitas lain berbanding secara proporsional dengan jumlah penduduk kota sehingga dengan memasukkan faktor jumlah penduduk kota maka faktor lain itu dianggap terwakili. Untuk mengukur fasilitas yang tersedia disetiap kota, jumlah dan kualitas masing-masing fasilitas perlu didata atau diinvetarisasi. Dalam mengukur daya tarik masing-masing fasilitas, diketahui bahwa ada fasilitas sejenis yang kualitasnya berbeda sehingga diperlukan pembobotan atau pemberian nilai. Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai beberapa fasilitas pelayanan kota yang tidak diragukan lagi menciptakan daya tarik bagi sebuah kota :

1. Pasar

Mengukur daya tarik pasar untuk pasar yang bersifat permanen (buka setiap hari), dapat didasarkan atas luas pasar (m2) ataupun jumlah pedagang yang berjualan di pasar. Akan tetapi, ada juga pasar berupa pasar yang hanya buka seminggu sekali atau lebih sering tetapi tidak setiap hari. Dari sudut hari operasi, bobot untuk pekan harus dibagi tujuh. Akan tetapi, karena kegiatan pedagang dipekan cukup intensif maka bisa saja bobotnya ditetapkan misalnya 30% dari pasar permanen. Misalnya, apabila jumlah pedagang dipekan ada 100 pedagang  maka diasumsikan sama dengan 30 pedagang untuk pasar permanen. Sama seperti jumlah penduduk maka banyaknya pedagang dimasing-masing kota diurutkan dari yang terbanyak hingga yang terkecil dan dibagi dalam kelas. Jumlah kelas sama seperti dalam analisis penduduk.

2. Pertokoan

Sama seperti pasar maka daya tarik pertokoan dapat didasarkan dapat didasarkan atas luas pertokoan ataupun jumlah toko. Sama seperti jumlah penduduk maka banyakya penduduk dimasing-masing kota diurutkan dari yang terbanyak hingga yang terkecil dan dibagi kedalam kelas. Jumlah kelas sama seperti dalam analisis penduduk.

3. Fasilitas Pendidikan

Fasilitas pendidikan sangat beragam. Dari sudut jenjang pengajaran maka ada taman kanak-kanak (TK), sekolah dasar (SD), sekolah lanjut tingkat pertama (SLTP), sekolah lanjut tingkat atas (SLTA), program diploma atau politeknik, dan universitas atau institute dimana ada program S1, S2, S3. Demikian pula, ada sekolah yang berbasis agama dan ada yang berbasis pendidikan umum tetapi penjenjangannya sama sehingga pembobotannya dianggap sama. Diluar itu, ada pendidikan non-formal berupa kursus keterampilan dan pengetahuan khusus (bahasa asing). Mengukur tingkat fasilitas yang tersedia tidak bisa ddasarkan atas unit sekolah atau perguruan tinggi, karena kapasitas atau daya tamping masing-masing unit sekolah atau perguruan tinggi tidak sama dan perbedaannya bisa cukup besar. Dalam hal ini, yang lebih tepat digunakan adalah jumlah bangku sekolah ataupun jumlah murid atau mahasiswa sekolah. Agar jumlah murid dari berbagai jenjang pendidikan dapat dijadikan satu kesatuan ukuran, terpaksa diciptakan satuan alat pengukur, misalnya satuan murid SMA. Setelah itu dilakukan pembobotan atau penilaian misalnya sebagai berikut. 1 murid SMA diberi nilai 1, 1 murid SMP diberi 0,5, 1 murid SD diberi nilai 0,25, 1 murid TK diberi nilai 0,2, 1 murid kursus keterampilan dberi nilai 0,5, 1 murid program diploma D1 diberi nilai 1,5, 1 mahasiswa program D3 diberi nilai 2,5, 1 mahasiswa program S1 diberi nilai 5, 1 mahasiswa program S2 diberi nilai 10, dan 1 mahasiswa program mahasiswa diberi nilai 25. Pembobotan atau pemberian nilai diatas hanyalah sebagai contoh, pembobotan yang sebenarnya dapat dilakukan berdasarkan kondisi wilayah masing-masing. Sama seperti dalam metode jumlah penduduk maka kota diurutkan berdasarkan banyaknya satuan murid dimasing-masing kota mulai dari yang terbanyak hingga terkecil dan dibagi kedalam kelas. Jumlah kelas sama seperti dalam analisis jumlah penduduk.

4. Fasilitas Kesehatan

Sama seperti fasilitas pendidikan maka fasilitas kesehatan juga cukup beragam. Ada praktik mantri kesehatan atau bidan, praktik dokter umum, dokter spesialis, puskesmas pembantu, puskesmas tanpa rawat inap, puskesmas dengan rawat inap, rumah sakit tipe C, tipe B, tipe A. selain itu ada rumah sakit khusus misalnya kebidanan, paru, mata dan lain-lain. Kapasitas masing-masing unit fasilitas itu juga berbeda. Namun demikian, agar dapat diperbandingkan maka dibutuhkan satuan alat pengukur. Contoh satuan alat pengukur yang dapat dipergunakan adalah satuan pasien atau satuan tempat tidur. Pembobotan nilai dapat berbeda ditiap wilayah sesuai dengan daya tarik masing-masing fasilitas kesehatan.

2.3 Hierarki Perkotaan

Hierarki perkotaan terkait dengan hierarki fasilitas kepentingan umum yang ada di masing-masing kota. Adanya hierarki tersebut membantu untuk menentukan fasilitas apa yang harus ada atau perlu dibangun di masing-masing kota. Jenis-jenis fasilitas tersebut mungkin harus ada mulai dari kota kecil hingga kota besar, akan tetapi memiliki perbedaan pada kapasitas pelayanan dan kualitasnya. Semakin besar suatu kota, maka semakin beragam fasilitas yang disediakan sehingga wilayah pengaruhnya semakin luas.

Kota/wilayah yang besar memiliki daerah-daerah pinggiran yang banyak tergantung dari kota intinya. Misalnya: dalam memenuhi segala macam kebutuhannya, penduduk yang ada di daerah pinggiran tersebut membeli dan menjual hasil produksinya ke kota besar/kota inti. Demikian juga banyak penduduk dari daerah pinggiran yang mencari tempat pendidikan di kota inti. Hal ini dapat membedakan kota mana yang lebih tergantung terhadap kota lain sehingga mudah untuk diranking.ditentukan orde kotanya. Kota/wilayah yang memiliki pengaruh besar diberikan ranking satu atau orde satu, dan seterusnya.

Orde perkotaan berfungsi untuk memperkirakan besaran luas wilayah pengaruh dari kota/wilayah tersebut. Pada umumnya, orde perkotaan didasarkan dari jumlah penduduk, jumlah fasilitas kepentingan umum, dan tingkat aksesibilitas kota tersebut terhadap kota lain yang ordenya lebih tinggi dan berdekatan. Adanya orde perkotaan tersebut berguna dalam perencanaan penyediaan fasilitas pelayanan kota yang tepat dan efisien. Selain itu, orde perkotaan digunakan sebagai bahan penyusunan program, yaitu menentukan jenis dan besarnya fasilitas yang akan dibangun dalam kota/wilayah tersebut. Secara garis besar orde perkotaan ini membantu memonitoring suatu wilayah/kota apakah ke depannya wilayah/kota tersebut akan mengalami perubahan bentuk dari suatu wilayah/kota, mengalami pertumbuhan lambat atau cepat.


DAFTAR PUSTAKA

Putriani, Devira. 2008. Studi Perkembangan Urban Sprawl di Surabaya Metropolitan Area. Digilib ITS. Surabaya.

Revisi RTRW Kabupaten Sidoarjo Tahun 2008-2028

Safeyah, Muchlisiniyati. 2003. Perkembangan Perumahan dan Permukiman Kecamatan Waru, Sidoarjo. Jurnal Aksial ; Majalah ilmiah teknik sipil UPN Veteran Jatim. Surabaya.

Tarigan, Robinson. 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Bumi Aksara. Jakarta.

Yunus, H.S. 2000. Struktur Tata Ruang Kota. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun