Mohon tunggu...
Wilda Hikmalia
Wilda Hikmalia Mohon Tunggu... Administrasi -

Usaha, do'a, yakin dan kerja keras. Serta tulus dan ikhlas

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

1000 Anak Tangga dari Kampung Naga ke Galunggung

28 Juni 2016   15:18 Diperbarui: 28 Juni 2016   17:00 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Kawah Galunggung dengan danau hijau yang cantik "][/caption]

Lebaran sebentar lagiii…

Lebaran sebentar lagiii…

Iklan sirup sudah beredar di tipi…

Tandanya puasa sebentar lagiii…

Kira-kira begitulah berdengung nyanyian di telinga ketika akhir bulan Mei segera nampak ke permukaan. Bulan puasa adalah bulan fokus yang dinanti-nanti untuk menjalankan ibadah maksimal kepada Sang Pecipta, memperbanyak amal sholeh dan menyerahkan sepenuhnya hati dan perasaan hanya untuk Ramadhan, termasuk mengindahkan hari-hari bepergian atau stop traveling. Aku menobatkan akhir Mei ini harus ada trip penutup sebelum long trip lebaran yang di depan mata. Dua kali plesiran dalam satu bulan tidaklah menjadi masalah bagiku kali ini, meski memori-memori Majalengka masih melekat, tapi setidaknya nuansa baru sudah aku dapatkan kembali ketika berkunjung ke Kampung Naga dan Gunung Galunggung.

Plesiran kali ini bukan dalam rangka dinas sebagai TL, bukan juga perjalanan solo backpack seperti biasanya atau share cost bersama teman-teman seperjalanan. Trip kali ini adalah duduk cantik dan manis menikmati semua perjalanan karena berbagai kebutuhan sudah dipersiapkan oleh Dinda, dari Amabel Travel yang mengadakan open trip Kp. Naga dan Trekking Galunggung, 28-29 Mei 2016. Meski menjadi bahagian dari travel papan atas yang satu ini, tapi jika tidak sedang bertugas kewajiban bayar trip tetap harus dilaksanakan. Keuntungannya, harga discount pasti didapat.

[caption caption="Tugu Kujang yang dibangun dari 999 pusaka asli "]

[/caption]

[caption caption="Pintu masuk Kampung Naga "]

[/caption]

“Selamat sore dan selamat datang di Kampung Naga tamu kami dari Jakarta,” sapa hangat Kang Tatang menyambut rombongan yang kesorean menginjakkan kaki di Kampung yang masih sangat teguh memegang adat-istiadat Sunda sebagai bahagian dari turunan leluhurnya. Jam 5 sore teng, elf yang memboyong saya dan kawan-kawan dari Jakarta akhirnya merapat parkir dengan selamat di Kampung Naga setelah sebelumnya bersabar melawan kemacetan dalam 9 jam perjalanan dari Semanggi. Meski matahari senja akan segera menutupi kampung yang terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya ini, Kang Tatang masih berela hati mengantarkan tamunya lebih jauh menyapa Kampung Naga.

Mencapai lokasi ini dari Jakarta dapat ditempuh dengan rute Tol Jakarta-Cikampek-Nagreg-Arah Garut Kota-Cilawu-Lokasi Kampung Naga. Titik parkir tidak jauh dari jalan raya. Sebuah Tugu Kujang yang dibangun dari 999 pusaka asli Agama Islam, menandakan Kampung Naga sudah dekat dan di sini jugalah parkir terakhir semua jenis kendaraan.

Jika di Banten sana ada perkampungan Suku Badui, pun di Jawa Barat ada Kampung Naga sebagai sebuah magnit yang masih sangat memegang kental budaya yang sudah terpatri dalam jiwa para masyarakatnya. Penamaan maupun asal-usul sejarah kampung ini, meski tidak diketahui dengan jelas namun warga Kampung Naga sendiri tetap berkomitmen selalu menjaga setiap jengkal panutan yang sudah melekat dalam diri mereka. Mereka sendiri menyebut sejarah kampungnya dengan istilah “Pareum Obor” yang berarti matinya penerangan. Walau juga banyak beredar kisah sejarah kampung ini di internet namun keabsahannya masih diragukan.

[caption caption="Bentuk rumah panggung beratapkan ijuk "]

[/caption]

Menuju ke pusat inti kawasan perkampungan, setiap tamu akan disuguhi terlebih dahulu dengan 439 anak tangga hingga mencapai sisi datar persawahan di bawah sana. “Kalau di sini menuruni tangga dulu, kalau nanti di Galunggung baru mendaki (tangga juga),” jelas Kang Tatang sambil tetap berceloteh disepanjang perjalanan. “Entah dari mana asal mula penamaan Kampung Naga, tapi kalau dilihat dari bentuk tangga yang kita turuni, berliku seperti Naga,” tambah bapak berpakaian rapi serba hitam yang menemani sore ini.

Mencapai inti dari kawasan kampung, kami bergegas untuk makin lebih dekat bercengkrama dengan penduduk lokal. Suara alam, kicauan burung-burung dan aliran air yang mengalir dengan tenang menandakan senja akan segera datang. Warga Kampung Naga masih ada yang bersantai ria di depan pintu rumah mereka. Mengobrol dengan tetangga depan rumah ataupun masih menatap langit yang akan beranjak menuju gelap.

Bentuk rumah di perkampungan ini adalah rumah panggung dengan beratapkan ijuk atau semacamnya. Tidak ada penerangan listrik di sini. Semuanya memakai penerangan tradisional atau lampu strongkeng yang dipompa menjelang malam. Masyarkat Kampung Naga masih membuka tangan untuk segala perubahan yang masuk selagi itu positif dan tidak mengutak-atik benteng leluhur yang sudah tertanam sejak lama. Apapun perubahan itu diterima dengan baik dan disikapi dengan bijak. Diapit oleh perwahanan yang hijau, sungai Ci Wulan (Kali Wulan) yang mengalir dan hutan keramat diseberangnya membuat Kampung Naga tampak bersemayam elok dalam kultur yang sudah sangat jauh mereka jaga.

[caption caption="Lelahpun tak tampak dimukanya "]

[/caption]

Kedekatan masyarakat Kampung Naga dengan Sang Pencipta pun tidak dapat digoyahkan terutama dalam ajaran islam yang sudah menjadi darah daging. Sebuah tempat ibadah (saya kurang tahu persis apa itu mushola atau masjid) terletak di tengah-tengah pemukiman dengan bedug di depannya. Namun sayang, waktu saya tidak cukup untuk dapat menelisik lebih jauh kedekatan Allah SWT dalam sudut pandang mereka. Selesai membeli buah tangan berupa bros, Kang Tatang segera mengajak kami meninggalkan area Kampung Naga. Senja sudah semakin menutupi lembah. Bedug sudah dipukul beberapa kali, menandakan waktu sholat maghrib telah tiba dan sayup-sayup adzan maghrib berkumandang ke seantaro Kampung Naga. Tanpa pengeras suara, bedug yang dipentung dengan kekentalan tradisinya dan seruan panggilan sholat yang dikumandangkan menutup perjalanan saya mengenal Kampung Naga di senja ini. Ingin rasanya mendengarkan adzan maghrib itu berkumandang hingga usai, tapi gelap makin bergelantung menutupi lembah dan ijuk-ijuk hitam tidak lagi tampak dari kejauhan. Semua gelap, semua senyap, semua kembali bertafakur dalam kehidupan masing-masing.

[caption caption="Bedug pengingat mahkluk kepada pencipta-Nya "]

[/caption]

Jam 18.30 kami beranjak meninggalkan Kampung Naga dan segera bergerak ke Gunung Galunggung di desa Linggajati. Sebelum mencapai pos terakhir kami berhenti sejenak mengisi perut di Cipasung, menikmati kuliner Tasikmalaya dan menghirup udara malam kota yang berjulukan Delhi Van Java ini.

Jam 20.30 akhirnya pos terakhir kami gapai, semua perlengkapan dipersiapkan semaksimal mungkin. Matras, Sleeping bag dan berbagai perlengkapan lainnya dicek dengan teliti sebelum pendakian dimulai. Memang ini bukanlah sebuah pendakian yang “berat” tapi tetap saja demi safety first semua perlengkapan perlu dipersiapkan secara matang. Apapun bentuk pendakian ataupun jalan-jalannya janganlah membiasakan untuk mengindahkan hal-hal sepele. Bisa jadi hal sepele itulah yang akan membawa mudarat panjang selama tapakan kaki bertebaran di muka bumi ini.

[caption caption="Matahari pagi menyeruak dari peraduannya "]

[/caption]

Tiga puluh menit dirasa cukup, jam 9 malam pun pendakian 620 anak tangga dimulai. Bagi saya pribadi, aktivitas pendakian memang sangat menarik jika dilakukan di malam hari. Selain tidak mengetahui beratnya medan yang akan dilalui, pemandangan indah pun sering tersuguh dengan pesona luar biasa di kejauhan sana. Gemerlap Kota Tasikmalaya dikejauhan sana, bintang-bintang di langit dan rembunan dalam kemilaunya selalu menjadi teman setia disetiap helaan nafas. Begitu juga malam ini, 20 menit menaiki anak tangga tidak membuat lelah sedikit pun bagi saya. Setiap berhenti saya menatap kebawah dan menikmati setiap nafas segar di malam ini. Bersyukur, hati kembali terisi dengan mahakarya tangan Tuhan.

Gunung yang berketinggian 2.167 mdpl ini masih tergolong gunung yang aktif namun tidak pernah sepi pengunjung terutama di akhir pekan. Selain pendakiannya yang sudah dipermudah dengan difasilitasi anak tangga, di puncak pun banyak warung-warung makan yang bertebaran. Untuk lokasi camping, tidak hanya di puncak tetapi di kawah dengan danau hijau  yang cantik juga dapat menggoda setiap mata. Semua memiliki kelebihan masing-masing. Jika ingin menikmati sunrise muncul dari balik cakrawalanya, puncaklah tempat terbaik untuk mendirikan tenda. Namun jika ingin menikmati lebih dekat kecantikan kawah danaunya turunlah kembali setelah mencapai titik puncak. Bagi kami, para sunrise lovers tentunya puncak adalah lokasi paling pas membentangkan tenda dan bercengkrama ria dibawah selimut malam Galunggung.

[caption caption="Selamat Pagi Dunia "]

[/caption]

Selamat pagi Galunggung, Selamat pagi Matahari dan Selamat Pagi kamu yang di sana.

Assalamu’alaikum dunia….    

Mentari menyapa rancak pagi ini dari balik kalderanya. Tidak salah, pilihan lokasi camp malam tadi. Dari semua sisi, Galunggung menampakkan pesonanya. Hutan Ericaceous dan Hutan Montane menjadi perindah dalam kawasan gunung yang pernah meletus dahsyat pada tahun 1822 ini, yang menyebabkan ribuan nyawa melayang dan ratusan rumah rusak serta berbagai infrasturktur hancur-lebur.

Puas menikmati dalam berbagai jepretan dan pose, sarapan pagi pun sudah terhidang dengan lamak di depan mata. Perut kenyang, hati senang dan saatnya kembali pulang. Rute yang ditempuh berbeda dari yang semalam. Kali ini jalur turun adalah jalur ala-ala Mahameru. Jalur turunan pasir yang setidaknya tidak akan membuat dengkul sejajar dengan kening.

[caption caption="Trekking turun ala Mahameru "]

[/caption]

Ada satu spot lagi yang bakal kami tandangi di jam 9 pagi ini. Pemandian Air Panas Cipanas. Niatnya di lokasi ini saya dan kawan-kawan akan membasuh badan, namun niat itu urung dilaksanakan karena pengunjung yang membludak. Bertepatan dengan minggu terakhir menjelang masuknya bulan Suci Ramadhan, berbondong-bondonglah masyarakat Tasik sekitar menuju pemandian air panas Cipanas dalam kebiasaan yang dominan dilakukan. Meluapnya kawasan parkir membuat kami kompak menggelengkan kepala “Tidak” untuk turun dari mobil. Nanti sajalah mandi dilebihkan di rumah makan terdekat menjelang balik ke Jakarta.

[caption caption="Perut kenyang, hati senang dan saatnya kembali pulang "]

[/caption]

Komplit sudah petualangan kali ini bersama kawan-kawan baru. Dari menjajah sebuah kampung fenomenal hingga pendakian dan kemping bareng di bawah langit malam. Kebersamaan dalam ilmu baru yang wajib dibagi dan dikenalkan. Turun naik tangga tidak berarti apa-apa, jika itu dinikmati dengan cara yang berbeda. Jangankan 100, 300 ataupun 650 anak tangga. Seribu tangga pun bisa ditaklukkan dengan teman-teman yang riang gembira dalam kebersamaan yang tidak bisa dibayar dengan apapun juga. Whatever you want to enjoy this nature, just do it by yourself, by your style and with your happy friends especially.

What’s next guys?
What’s next guys?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun