Mohon tunggu...
Wilda Hikmalia
Wilda Hikmalia Mohon Tunggu... Administrasi -

Usaha, do'a, yakin dan kerja keras. Serta tulus dan ikhlas

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

1000 Anak Tangga dari Kampung Naga ke Galunggung

28 Juni 2016   15:18 Diperbarui: 28 Juni 2016   17:00 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika di Banten sana ada perkampungan Suku Badui, pun di Jawa Barat ada Kampung Naga sebagai sebuah magnit yang masih sangat memegang kental budaya yang sudah terpatri dalam jiwa para masyarakatnya. Penamaan maupun asal-usul sejarah kampung ini, meski tidak diketahui dengan jelas namun warga Kampung Naga sendiri tetap berkomitmen selalu menjaga setiap jengkal panutan yang sudah melekat dalam diri mereka. Mereka sendiri menyebut sejarah kampungnya dengan istilah “Pareum Obor” yang berarti matinya penerangan. Walau juga banyak beredar kisah sejarah kampung ini di internet namun keabsahannya masih diragukan.

[caption caption="Bentuk rumah panggung beratapkan ijuk "]

[/caption]

Menuju ke pusat inti kawasan perkampungan, setiap tamu akan disuguhi terlebih dahulu dengan 439 anak tangga hingga mencapai sisi datar persawahan di bawah sana. “Kalau di sini menuruni tangga dulu, kalau nanti di Galunggung baru mendaki (tangga juga),” jelas Kang Tatang sambil tetap berceloteh disepanjang perjalanan. “Entah dari mana asal mula penamaan Kampung Naga, tapi kalau dilihat dari bentuk tangga yang kita turuni, berliku seperti Naga,” tambah bapak berpakaian rapi serba hitam yang menemani sore ini.

Mencapai inti dari kawasan kampung, kami bergegas untuk makin lebih dekat bercengkrama dengan penduduk lokal. Suara alam, kicauan burung-burung dan aliran air yang mengalir dengan tenang menandakan senja akan segera datang. Warga Kampung Naga masih ada yang bersantai ria di depan pintu rumah mereka. Mengobrol dengan tetangga depan rumah ataupun masih menatap langit yang akan beranjak menuju gelap.

Bentuk rumah di perkampungan ini adalah rumah panggung dengan beratapkan ijuk atau semacamnya. Tidak ada penerangan listrik di sini. Semuanya memakai penerangan tradisional atau lampu strongkeng yang dipompa menjelang malam. Masyarkat Kampung Naga masih membuka tangan untuk segala perubahan yang masuk selagi itu positif dan tidak mengutak-atik benteng leluhur yang sudah tertanam sejak lama. Apapun perubahan itu diterima dengan baik dan disikapi dengan bijak. Diapit oleh perwahanan yang hijau, sungai Ci Wulan (Kali Wulan) yang mengalir dan hutan keramat diseberangnya membuat Kampung Naga tampak bersemayam elok dalam kultur yang sudah sangat jauh mereka jaga.

[caption caption="Lelahpun tak tampak dimukanya "]

[/caption]

Kedekatan masyarakat Kampung Naga dengan Sang Pencipta pun tidak dapat digoyahkan terutama dalam ajaran islam yang sudah menjadi darah daging. Sebuah tempat ibadah (saya kurang tahu persis apa itu mushola atau masjid) terletak di tengah-tengah pemukiman dengan bedug di depannya. Namun sayang, waktu saya tidak cukup untuk dapat menelisik lebih jauh kedekatan Allah SWT dalam sudut pandang mereka. Selesai membeli buah tangan berupa bros, Kang Tatang segera mengajak kami meninggalkan area Kampung Naga. Senja sudah semakin menutupi lembah. Bedug sudah dipukul beberapa kali, menandakan waktu sholat maghrib telah tiba dan sayup-sayup adzan maghrib berkumandang ke seantaro Kampung Naga. Tanpa pengeras suara, bedug yang dipentung dengan kekentalan tradisinya dan seruan panggilan sholat yang dikumandangkan menutup perjalanan saya mengenal Kampung Naga di senja ini. Ingin rasanya mendengarkan adzan maghrib itu berkumandang hingga usai, tapi gelap makin bergelantung menutupi lembah dan ijuk-ijuk hitam tidak lagi tampak dari kejauhan. Semua gelap, semua senyap, semua kembali bertafakur dalam kehidupan masing-masing.

[caption caption="Bedug pengingat mahkluk kepada pencipta-Nya "]

[/caption]

Jam 18.30 kami beranjak meninggalkan Kampung Naga dan segera bergerak ke Gunung Galunggung di desa Linggajati. Sebelum mencapai pos terakhir kami berhenti sejenak mengisi perut di Cipasung, menikmati kuliner Tasikmalaya dan menghirup udara malam kota yang berjulukan Delhi Van Java ini.

Jam 20.30 akhirnya pos terakhir kami gapai, semua perlengkapan dipersiapkan semaksimal mungkin. Matras, Sleeping bag dan berbagai perlengkapan lainnya dicek dengan teliti sebelum pendakian dimulai. Memang ini bukanlah sebuah pendakian yang “berat” tapi tetap saja demi safety first semua perlengkapan perlu dipersiapkan secara matang. Apapun bentuk pendakian ataupun jalan-jalannya janganlah membiasakan untuk mengindahkan hal-hal sepele. Bisa jadi hal sepele itulah yang akan membawa mudarat panjang selama tapakan kaki bertebaran di muka bumi ini.

[caption caption="Matahari pagi menyeruak dari peraduannya "]

[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun