[caption caption="Meresapi Waduk Jatiluhur dari atas Batu Lembu"][/caption]Sebelum menceritakan panjang lebar tentang gunung yang satu ini, izinkan saya untuk mengurai terlebih dahulu runtut kronologi sebelum sampai ke puncak gunung yang terletak di Purwakarta ini.
Pendakian kali ini bukanlah pendakian saya seperti biasanya yang hanya bersama tiga, empat atau lima orang kawan sependakian. Namun kali ini pendakian saya adalah dalam rangka tugas negara, lebih tepatnya saya menyebutnya sebagai dinas (perjalanan mengemban amanat sebagai TL).
TL yang bernama panjang Tour Leader atau lebih dikenal dengan panggilan Guide. Sebagai bagian dari salah satu travel teman, jadilah minggu ini saya bertugas membawa 17 orang pasukan untuk menikmati keindahan alam di ketinggian.
Banyak suka, duka, cerita dan pengalaman yang terukir sepanjang cengkrama dengan berbagai elemen teman yang saya bawa kali ini. Berlatar belakang berbeda, profesi, usia, asal, namun dalam satu misi yaitu menikmati alam Indonesia.
Sabtu, 19 Maret 2016
Pagi ini aku berangkat dengan Heri (teman akrab dan juga salah seorang peserta) dari kediaman di BSD. Awal perjalanan kami sudah diwarnai gelak-tawa. Jam 05.30 pagi ini ojek satu pun tidak menampakkan wajahnya kepermukaan. Entah masih bersembunyi dibalik selimut pagi atau memang belum jam untuk mangkal, aku sangat worry menunggu kedatangan mereka.
Taksi pun untuk dicegat juga tidak ada. Aku berusaha berangkat sedini mungkin ke stasiun karena dari Serpong menuju Kota juga membutuhkan perjuangan panjang dalam perjalanan rel. Satu ojek si bapak tua yang baru datang, menunggu satu teman lainnya. Lima menit berselang tidak ada tanda-tanda kedatangan si tukang ojek baru.
“Dengkep tiga aja, mau?” Si bapak menawarkan motor metiknya ditumpangi beban berat seperti kami. Whatss. Aku masih sedikit keukeh menunggu satu ojek lagi. Tapi tidak ada pilihan lain, hanya menunggu dan menunggu akhirnya ide si Bapak kami terima. Ransel satu di depan, dan atraksi cabe-cabean pun kami lakoni di pagi ini. Maaf, ini bukan aksi cabe-cabean syariah, hanya dilakukan dalam kondisi terdesak.
[caption caption="View apik sepanjang trek pendakian menuju pundak"]
Di detik-detik keberangkatan ada lima orang peserta lagi yang was-was aku tunggu. Satu orang mengundurkan diri karena ada tugas kantor yang tidak bisa dinegosiasi.
Melihat keruwetan pagi ini di stasiun, memang sangat disarankan datanglah lebih awal dan tongkrongi persis di depan loket meski belum dibuka. Karena sekalinya petugas mencogokkan kepala dibelakang pembatas kaca itu, loket akan penuh sesak oleh antrian penumpang.
Semua tiket sudah ditangan, dan aku bagikan pada peserta yang sudah datang. Satu realita yang harus dimaklumi adalah meski pada tiket tertera jelas nomor kursi dan gerbong, jangan kira akan bisa mendudukinya sesuai dengan yang diharapkan.
Singkatnya, ketika kereta datang berbondong-bondonglah para penumpang memperebutkan kursi, jadi intinya selagi gerbong kereta dibuka bergegaslah naik, segera duduki kursi yang kosong, pemberhentian terakhir adalah stasiun Purwakarta. Begitulah komando yang aku instruksikan kepada para teman-teman yang sudah datang.
Hatiku masih dag-dig-dig, gusar, was-was menanti 5 peserta lagi belum menampakkan wajahnya di 15 menit keberangkatan. Kak Kasni dan kawan-kawan beserta Mas Burhan. Aku terus memantau mereka di group WA dan mewanti-wanti, tiket mereka sudah ditanganku, kalau datang langsung menuju pintu masuk dan aku akan susul ke sana untuk memberikan tiket.
Diantara masih cilengak-cilenguk dengan Kak Mega (joinan travel kali ini), datanglah empat perempuan berjilbab tergopoh-gopoh berlarian, “Mbak Wilda?” “Ya. Ini Kak Kasni?” Aku bertanya balik keheranan. "Iya, iya.” Lha, kok bisa? Kan tiketnya di aku.” Aku makin bingung. Dia bisa menembus satpam tanpa tiket masuk? “Aku bilang, tiketnya udah ada di Wilda di dalam.” “Oh oke.”
Unbelievable… Aku segera memberikan tiket kereta kepada mereka dan menyegerakan naik kereta. Diantara kebingungan dan keheranan aku masih belum bisa percaya, dia bisa meyakinkan satpam hanya karena menjual namaku, super sekali.
Sedikit lega, tersisa satu lagi, Mas Burhan. Commuter Line nya masih tersendak untuk masuk ke Stasiun Kota. Group makin ramai menyemangatinya, aku menyarankan turun dan segera naik Gojek, tapi diindahkan.
Dinda pun (si empunya hajat) juga tidak ketinggalan waspadanya sepertiku memantau situasi dari kejauhan. Alamak, ini dia yang paling membuat situasi tegang dan mual, menunggu. Lima menit tersisa, petugas segera menyuruh untuk naik ketera, Kak Mega berteriak kepada petugas, “Pak tolong tunggu pak, satu lagi aja, please…please…please tunggu, itu teman saya di kereta sebelah.”
Commuter Line yang ditumpangi Mas Burhan tepat parkir di peron 7 sedangkan peron 8 sudah disuruh untuk berangkat. Oh God, ini adalah situasi yang paling menegangkan. Aku pun ikut berteriak minta tolong untuk menunggu sesaat, petugas kereta menolak. Aku instruksikan kepada Mas Burhan, langsung loncat saja ke kereta sebelah, tidak perlu ke luar dulu, kami persis di peron sebelah.
Aku coba membuka pintu yang satunya, ternyata tinggi, batang hidungnya belum juga tampak. Kereta sudah berjalan pelan. Dan, akhirnya dia tertinggal setelah sedikit lagi usaha yang dilakukan.
Dia sudah berusaha mengejar kereta, tapi dihalangi oleh petugas. Oh Mas Burhan, andai kau sedikit bisa merajuk kepada petugas untuk mengejar kereta. Dramatis sekali kisahmu ini, lebih dramatis daripada kisah di 5Cm itu.
[caption caption="Puncak Lembu dan Plangnya dalam kebersamaan"]
Apalah daya meminta fasilitas lebih. 6 ribu minta AC dingin? Ya mimpi. Harga tiket ekonomi ini memang sangat jauh murahnya bahkan dari KRL yang sering lalu-lalang Jabodetabek.
Tapi sungguh perjalanan panjang tiga jam alangkah lebih baiknya difasilitasi dengan harga tiket yang seimbang. Setidaknya pendingin ruangan setiap gerbong memang benar-benar diperhatikan agar penumpang tidak mandi keringat.
Apalah daya, mengeluh tiada guna. Selain menikmati perjalanan panjang penuh warna sembari membayangkan kipas angin biru di rumah sudah duduk manis di dalam gerbong dan berputar di colokan yang kosong disebelah kiri itu. Oh, alangkah nikmatnya.
[caption caption="Stasiun Purwakarta dalam panasnya yang luar biasa"]
Stasiun yang terletak di Jl. Kornel Singawinata No.1 Nagri tengah ini tampak tak begitu ramai. Hanya kereta kami yang merapat diterik panas matahari siang.
Turun dari kereta petugas segera menghalau penumpang untuk segera keluar stasiun. What the …..this. Aku masih perlu memastikan seluruh peserta dan mengomandoi titik kumpul, mempersiapkan diri kembali dan menginstruksikan langkah berikutnya perjalanan kami, tapi petugas stasiun menggertak untuk segera keluar area dalam stasiun.
Boro-boro untuk hanya sekadar mengumpulkan pasukan di dalam stasiun, menurunkan sesaat saja ransel di punggung, sudah di halau oleh petugas. Memohon izin ke toilet saja karena sudah kebelet langsung dialihkan oleh petugas. Apa-apaan ini penyambutan yang kami terima. Tidak sangat bersahabat sama sekali. Abang-abang berseliweran di dalam stasiun yang menawarkan angkutan pun juga banyak. Apalagi melihat kami yang berbeban ransel tanpa permisi langsung mereka dekati.
Untung siang ini, dua mobil pick up sudah terparkir elok di depan stasiun yang siap mengantar kami ke pos terakhir sebelum pendakian. Pun buang air kecil yang sudah di tahan-tahan sedari atas kereta harus bersabar lagi sampai menemukan POM bensin di depan sana.
Sebenarnya ada daya tarik tersendiri dari Stasiun Purwakarta ini yaitu makam tumpukan besi tua atau bisa dibilang tempat peristirahatan terakhir gerbong-gerbong kereta api yang sudah usang dan berkarat.
Bangkai-bangkai kereta yang sudah tidak bisa difungsikan ini lagi mengundang setiap mata terutama yang baru pertama kali ke stasiun ini untuk mengetahui dan melihatnya lebih dekat atau hanya sekadar memandang lebih lama onggokan-onggokan ratusan KRL ekonomi yang ditumpuk di sini.
Nuansa retro, klasik bahkan misterius atau unik tentunya membuat pecinta poto akan segera mengabadikan keindahan dalam mistis itu. Sempat terpikir dibenak, daripada ditumpuk seperti itu-yang pun orang lain tidak bisa menikmati dengan nyaman, alangkah lebih baiknya difungsikan untuk karya seni (mungkin) yang lebih bermanfaat.
Aku sudah membayangkan rumah kereta, café atau hotel-hotel rancak yang disulap dari bangkai-bangkai kereta ini. Toh di luar negeri sana tangan-tangan terampil sungguh lihai dalam memanfaatkannya. Aku terbayang film-film barat dalam kreasinya.
[caption caption="Bangkai kereta yang mengundang banyak mata"]
Mobil melaju sedang hingga perbatasan kota, belok kanan di Pasar Anyar Sukatani (masuk) dan meluncur indah menyusuri perkampungan, persawahan dan hijaunya pepohonan bambu di kiri-kanan jalan. Sesekali polisi tidur membuat gelak tawa penumpang dibelakang, tanjakanpun ditarik mati oleh si pick up, tikungan tiada lawan, lihai dimainkan oleh si pengemudi.
Terik panas yang sesekali muncul dari balik pepohonan tidak membuat kegembiraan sore ini hilang, apalagi setelah melihat tiga gunung menyapa elok di kejauhan; Parang, Bongkok dan tentunya si Lembu. Gersang pun sesekali ditemui, maklumlah wilayah ini banyak dijadikan kawasan pertambangan, terutama pertambangan tembaga, tapi sayang lagi-lagi kecewa hati yang di dapat, pertambangan yang dikuasai oleh ‘orang luar’, pribumi hanya bisa menengadah tangan.
Itulah obat ngantuk yang aku dapat dari si bapak sopir di tengah sepoi-sepoi angin persawahan menerpa wajah.
[caption caption="Let’s get lost"]
[caption caption="Gunung Bangkok dengan medan beratnya "]
Di sini terdapat dua warung untuk mengisi perut makan siang, toilet umum dan sebuah aula untuk menunaikan ibadah sholat. Jam empat sore adalah target pendakian dimulai menuju lokasi camping di atas sana. Makan siang yang tertunda, urusan perut yang tertahan semenjak dari Stasiun Kota dan kewajiban seorang muslim yang harus dilaksanakan, itulah tiga hal yang mesti segera harus ditunaikan.
Pun mengecek kembali perlengkapan pendakian, seperti air minum, baterai senter dan tetek-bengek lainnya. Meski ada sebuah warung di lokasi kemah tentunya dengan harga yang cukup sepadan dari si penjaga warung untuk membawa ke atas sana. Di sinilah semuanya harus dipersiapkan semaksimal mungkin.
[caption caption="Pos 1 jalur pendakian menuju puncak Lembu"]
Menuju lokasi kemah hanya membutuhkan waktu 30 menit saja sedangkan untuk menggapai puncak akan dimulai dini hari. Tapi jangan bayangkan 30 menit pendek itu akan mendapatkan trek datar yang diidam. Dimulai dari tangga beton di plang pendakian, perlahan trek pendakian bambu kiri-kanan menyapa dan menyusuri bebatuan pun dimulai.
Cuaca yang sedikit lembab butuh ekstra hati-hati ketika menginjak bebatuan dan satu lagi di sinilah sarang para nyamuk ganas. Bambu memang identik dengan tempat reuniannya para nyamuk, berpakaian tertutup adalah jurus jitu menangkalnya selain berbekal cream pengusir nyamuk menempel dikulit.
[caption caption="Trek bebatuan yang pasti licin jika hujan turun"]
Tenda-tenda cantik sudah berdiri menyambut kedatanganku dan kawan-kawan. Lelah teman-teman pun akhirnya terbayarkan oleh kicauan burung-burung dan Waduk Jatiluhur di kejauhan sana. Tidak hanya itu, rumah pohon pun ikut girang di sore ini karena kedatangan kami. Tidak dapat dipungkiri lagi. Saatnya beraksi di belakang lensa.
Memilih lokasi camp yang tergolong cukup jauh dari puncak, bukanlah asal pilihan dan tanpa pertimbangan matang. Tengoklah ke bawah sana, di bawah payung gelapnya langit malam, di balik rembulan yang tiada cukup penerangan tapi keramba-keramba indah Jatiluhur menyemarakkan malam.
Cuaca yang mendukung bahkan dingin pun tak sanggup lewat. Di bawah indahnya malam, kami bersilaturahmi di antara petikan gitar dan lantunan sajak-sajak puisi karya Pak Ujang. Komplit sudah pendakianku kali ini. Dalam tugas yang diemban, bertemu orang-orang pintar yang berjasa dalam dunia pendidikan. Beberapa teman sudah larut dalam tenda, namun secangkir teh masih setia menghangatkan perut dalam gurau kebersamaan.
[caption caption="Waduk Jatiluhur dilihat dari lokasi kemah"]
[caption caption="Rumah pohon tanpa atap pun ikut girang di sore ini"]
Pun untuk sumber air, di sinilah pusat terakhirnya, meski kadang air yang keluar tidak lebih besar dan lancar dari tetesan air kencing. Jika mau membasuh muka dengan sabun, pastikan dulu air sudah tertampung di ember yang sudah disediakan.
Sebuah mushola kecil juga berdiri tidak jauh dari pertengahan antara warung dan tenda-tenda berdiri. Sedangkan bagi yang sering berurusan dengan perut (buang air besar) terdapat juga sebuah WC berpagar bambu. Meski demikian jangan harap bisa nongkrong lama-lama di jamban umum ini, nyamuk-nyamuk biadab sudah kelaparan menunggu darah untuk dihisap ketika celana sudah diprosoti.
[caption caption="Menikmati Jatiluhur di sore hari"]
Dini hari kami sudah jadwalkan akan memulai summit di jam 3 atau maksimal jam 4 pagi. Tentulah para pemburu matahari pagi sangat antusias meski harus mulai gerak di saat jam-jam orang kebanyakan terlelap tidur.
Dari lokasi camping menuju puncak sekitar 3 jam-an santai. Dengan prediksi waktu tersebut, dapat dipastikan matahari akan rancak bersinar ketika kaki sudah menyentuh puncak atau spot terbaik lembu untuk menyaksikan matahari terbit.
Tapi lagi-lagi, manusia hanya bisa berencana, alam pun bisa berubah kapan saja. Jam 3 pagi alarm sudah berbunyi, aku singkap mata dibalik sleeping bag dan dengungan nyamuk sudah tidak lagi berputar-putar di telinga. Aku sudah bersiap membangunkan yang lain. Tapi tak ayal, kabut pun menutupi pandangan.
Aku sempat bingung menentukan arah, kerlap-kerlip lampu keramba Jatiluhur tidak terlihat lagi, tenda-tenda pun entah di mana mereka berdiri. Aku sempat merinding sedikit gusar, kalau saja tidak melihat teman yang tidur di sebelah dengan SB nya aku mungkin sudah panik tidak ketulungan.
Aku memutuskan kembali menyuruk di balik SB merah, meski tak sama sekali dingin tapi nyamuk-nyamuk pemangsa darah yang aku risihkan. Sudahlah, tidak akan ada sunrise di pagi ini dengan kondisi cuaca kabut seperti ini. Aku berparadigma sendiri dan kembali merajut mimpi.
[caption caption="Trek menuju puncak pagi hari "]
Trek pertama sebelum pendakian masih tergolong landai sampai menuju Pos 1. Dan ternyata lokasi camp dan pos 1 sangat begitu dekat, lima menit saja. Jalur yang sesungguhnya adalah setelah dari Pos pertama ini, tanjakan tinggi tanpa ampun, bambu kiri-kanan dan keseimbangan badan yang sangat diperlukan.
Sepanjang jalur masih didominasi pepohonan bambu, tapi untunglah cream anti nyamuk sudah dioles keseluruh anggota badan yang terbuka. Nyamuk-nyamuknya sungguh luar biasa.
Terus – terus – terus dan terus naik. Lima kali melangkah, atur nafas, terus naik dan tidak menengok ke atas. Trek tanjakan yang cukup panjang. Belum menemui akhir sebuah slogan penyemangat terpampang di jalur pendakian “JANGAN MENYERAH.”
Kelanjutan dari tanjakan tinggi itu adalah bonus. Beberapa trek datar tapi setelahnya masih ada beberapa kali tanjakan dan tanjakan. Sampai di Pos 2 medan lain sudah menanti. Meski cukup datar tapi tergolong jalan setapak, kiri-kanan jurang, bebatuan dan merambah jalanan panjang.
Di kelembapan trek tak jarang juga akan sering ditemui binatang melata hitam panjang, bak ular tanah. Tapi itu adalah semacam cacing tanah, jalan lambat dan memang berukuran cacing. Kalau diteliti lebih dekat, bikin geli pastinya.
Beberapa menit yang tersisa menuju puncak, pemandangan Waduk Jatiluhur sudah membasuh penat di badan. Kekaguman akan waduk buatan ini akan tersirat tak kala melihat luasnya kiri-kanan sepanjang jalan menuju puncak. Sebuah Petilasan Mbah Raden Surya Kencana menandakan bahwa puncak sedikit lagi.
Tapi bukan, bukan puncak spot utama yang dituju kali ini, melainkan sebuah batu besar untuk menyaksikan Waduk Jatiluhur di ketinggian.
[caption caption="Pos 2 "]
[caption caption="Petilasan Mbah Raden Surya Kencana"]
Di sekitaran puncak ada beberapa tenda yang berdiri. Dari lokasi ini, para pendaki turun kembali di jalur yang berbeda untuk menuju batu Lembu sekitar 10-15 menit. Turunan di sini pun tantangan tersendiri, pijakan yang harus kuat, pegangan yang mapam di pepohonan karena kontur tanah yang licin apalagi jika diguyur air hujan. Monyet-monyet pun menatap sinis ketika gerakan kaki diayunkan.
Santai saja, mereka tidak akan mengganggu. Ini alam mereka dan berdamailah dengannya. “Ga dapat mba, kabut,” jawab salah seorang pendaki yang sedang memasak air panas di tendanya yang aku tanyai menjelang turun ke batu Lembu. Benar dugaan, matahari pagi tak sedikit pun menampakkan wajahnya di pagi ini.
[caption caption="Puncak Lembu yang juga merupakan lokasi camp"]
[caption caption="Alamnya para Monyet "]
Gunung Lembu atau yang dikenal Batu lembu memang merupakan lokasi terbaik untuk menyaksikan Waduk Jatiluhur di atas ketinggian. Batu yang menyerupai punuk sapi ini persisnya terletak di Kampung Panunggal Desa Panyindangan Kecamatan Sukatani Jawa barat.
Dua setengah jam pendakian adalah waktu yang luar biasa menuju kemari. Trek dari puncak menuju batu pun juga tergolong luar biasa jika tidak hati-hati melalui turunan. Menuju batu inti pun juga harus perjuangan sedikit lagi, repling pendek dengan tali yang sudah disediakan atau menuruni batu secara hati-hati di sisi kiri.
Safety di sini adalah safety sendiri. Tidak ada pengamanan. Menikmati panorama Waduk Jatiluhur dari atas sini adalah sensasi luar biasa ditambah dengan Gunung Parang dan Bongkok di depannya. Berselfie ria tentu boleh, tapi sangat perlu diperhatikan adalah keselamatan diri. Jangan berfoto terlalu kepinggir.
Hijaunya hamparan hutan di bawah sana mempercantik suasana waduk raksasa ini. Setiap sudut menyuguhkan view yang tak boleh lepas dari lensa mata. Duduk sembari menikmati udara pagi, menatap panorama bendungan terbesar di Indonesia dengan secangkir teh hangat adalah anugerah tak terhingga di pagi ini. Meski cuaca tidak secerah seperti biasanya, namun semua sudah cukup pengobat lelah dalam mengarungi trek Lembu.
[caption caption="Salah satu dari dua cara menuruni Batu Lembu"]
[caption caption="Selamat Pagi Lembu"]
[caption caption="Keindahan Waduk Jatiluhur di sisi lain"]
Warung-warung yang ditemui di Pos 1 selangkah lagi menuju lokasi kemah kami singgahi sebelum berbenah ransel kembali. Sampai lokasi camp, packing-packing dan siap-siap kembali ke pos awal. Membasuh badan di pos, makan siang dan jam setengah satu saatnya kembali pulang.
Perjalanan kami semua berakhir di Stasiun Purwakarta jam 2 siang. Kereta kepulangan ke St. Kota baru jam 15.50, selain berjalan-jalan santai di sekitaran stasiun yang panas ini bisa juga kulineran di lokasi kuliner yang tidak begitu jauh dari stasiun.
[caption caption="Pos 3 menuju Puncak Lembu"]
Tapi nikmatilah setiap perjalanan itu, hargailah setapak demi setapak pendakian itu. Berbaurlah dengan diri sendiri, sekitar dan alam. Renungi lebih dalam kicauan burung, semilir angin, setiap nafas yang dihela dan peluh keringat yang mandi dibadan. Pendakian adalah kebersamaan yang patut dibahagiakan.
Salam Lestari
Gunung Lembu
19-20 Maret 2016
[caption caption="Tempat kami bermalam"]
Itinerary singkat:
19 Maret 2016
10.15 – 13.30 Stasiun Kota – Stasiun Purwakarta
13.50 – 14.45 Perjalanan menuju pos pendakian
16.00 – 16.30 Menuju lokasi kemah
17.00 Menikmati keindahan Jatilulur di sampai pagi
20 Maret 2016
06.00 – 08.30 Treking menuju Puncak (Batu) Lembu
08.30 – 09.30 Menikmati keindahan Jatiluhur di Batu Lembu
09.30 – 10.45 Perjalanan turun ke lokasi camp
10.45 – 11.15 Packing-packing persiapan turun
11.15 – 12.45 Turun ke pos, rapi-rapi, makan siang
13.00 – 14.00 Perjalanan ke Stasiun Purwakarta
14.00 – 15.50 Leyeh-leyeh dan bercengkram di sekitaran stasiun
16.00 Mari pulang … Stasiun Purwakarta – Stasiun Kota
[caption caption="Masih menatap Jatiluhur dikejauhan sana"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H