Mohon tunggu...
Wilda Hikmalia
Wilda Hikmalia Mohon Tunggu... Administrasi -

Usaha, do'a, yakin dan kerja keras. Serta tulus dan ikhlas

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Bait-Bait Akhir Laskar Pelangi

8 Juli 2015   10:40 Diperbarui: 8 Juli 2015   10:40 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita sebelumnya disini

Pulau Lengkuas

     Nah, ini dia nih jagoan kekayaan bawah lautnya Belitong. Air laut yang hijau, tenang dan panas yang tidak terlalu terik membahana membuat siang ini menjadi sesuatu dapat menyaksikan kumpulan gerombolan ikan-ikan unik di perairan Belitong. Bermain bersama di terumbu-terumbu karang yang dapat dengan jelas dilihat dari atas kapal. Jujur, saya sangat excited untuk segera mencemplungkan diri ke laut. Gue banget ini.

     Primadona dari ratusan pulau yang terbentang di Belitung ini tidak hanya menyuguhkan keindahan ekosistem bawah laut, namun banyak lagi tempat-tempat bahkan peninggalan bersejarah yang dapat disingkap di pulau yang terletak di sebelah utara Pantai Tanjung Kelayang ini. Sebut saja mercusuar tua peninggalan Kolonial Belanda pada tahun 1882. Tentu saja saya tidak akan melewatkan menjajaki mercusuar ini lebih dekat setelah puas bersnorkling ria di perairan sekitaran Pulau Lengkuas.

     Siang menjelang dan menu makan pun sudah terhidang. Berbagai menu pilihan ikan segar, udang, cumi, kangkung, kerupuk dan teman-temannya tentu adalah menu makan siang yang istimewa apalagi dinikmati di pinggir pantai di bawah pepohonan kelapa sembari menjuruskan pandangan ke laut lepas. Nikmat yang sungguh luar biasa.

     Panorama lainnya di pulau yang terletak di Kecamatan Sijuk ini adalah onggokan batu-batu granit raksasa yang unik di sisi kiri pantai. Kumpulan granit raksasa ini akan semakin mempesona jiwa ketika dapat jua dipandang dari atas ketinggian mercusuar.

[caption caption="Pemandangan dari atas mercusuar"]
[/caption]

     Jika anda adalah pecinta ketinggian atau ingin menguji adrenalin, naikilah mercusuar yang berumur ratusan tahun ini. Tentunya setelah stamina dan kondisi mendukung fisik. Sebelum masuk ke ruang utama lantai bawah mercusuar, para pengunjung diminta untuk melepaskan sandal/sepatu, mencuci kaki, gosok gigi, dan tidur. Eitss,,, dua terakhir abaikan. Bukan termasuk kategori ya (coret). Fisik yang kuat sangat-sangat penting ketika memutuskan menaiki mercusuar tua ini, 17 lantai dengan kemiringan tajam memang bisa membuat nafas ngos-ngosan. Tetapi jangan ragu dan bimbang, setelah kerja keras itu pemandangan spektakuler siap menyambut ketika sampai di puncak. Lingkaran keindahan Belitung benar-benar membayar lunas semua usaha. Hamparan batu granit, birunya lautan, laut lepas yang tiada berkesudahan adalah bonus cantik pesona Belitung yang ditawarkan.

 

Pantai Tanjung Tinggi

   Menarilah dan terus tertawa

   Walau dunia tak seindah surga

   Bersyukurlah pada yang Kuasa

   Cinta kita di dunia ……………… selama

 

Kita ? Iya kita … kamu dan aku.

     Tujuh tahun silam di sinilah lokasi syuting sebuah film fenomenal yang mengguncang Indonesia bahkan dunia dengan kisahnya yang sangat menginspirasi setiap jiwa. Tidak pernah berhenti berusaha demi menggapai cita-cita. Kurang lebih begitulah yang tertulis di sebuah monument ketika memasuki objek wisata yang satu ini.

     Jaraknya yang tidak terlalu jauh dari Tanjung Kelayang dan pernah menjadi saksi sebuah film fenomenal, membuat Tanjung Tinggi yang identik dengan bebatuan granit super raksasa ini tidak pernah sepi pengunjung, terutama wisatawan yang pastinya ingin berpoto di plang yang bertuliskan lokasi Laskar Pelangi ini. Hampir sama dengan Lengkuas, tanjung yang diapit oleh dua tanjung lainnya (Kelayang dan Pendam) ini memiliki kumpulan ratusan batu granit besar, mulai dari yang ukuran kecil bahkan sampai hampir menyamakan dengan ukuran rumah. Pantainya yang indah, pasir putih, air jernih tenang untuk berenang kalangan bocah-bocah membuat tanjung yang terletak di kecamatan Sijuk ini menjadi wisata unggulan.

     Lalu, apa yang saya lakukan di sini?

     Yang pastinya bukan mencari batu akik, melainkan menikmati pesona keindahan batu-batu granit di sekitar pantai. Merasakan udara sore yang menyapa dan merasuk ke jiwa, tidur-tiduran kecil di atas bebatuan tinggi sembari mengarahkan pandangan ke bawah dan ke laut lepas. Lagi-lagi, “nikmat Tuhan yang manakah yang kau dustakan ?

Last Dinner at Timpo Duluk

     Malam terakhir.

     Ini dia satu lagi jogoan warung makan yang hits di Belitong. Tempat kuliner yang buka setiap hari ini mulai dari pukul 11.00 – 22.00 WIB tidak hanya menjadi tempat pengisi perut melainkan juga menjadi tempat tongkrongan yang asyik bagi setiap kalangan. Design warung yang menyerupai sebuah rumah ini bisa mengecoh pengunjung awam seperti saya. Namun, setelah masuk ke dalam nuansa-nuansa melayu tersuguh dengan rancak sembari menu makanan yang siap dihidangkan sesuai selera. Dari segi rasa, warung yang sudah diakui resepnya dari tahun 1918 ini tidak pernah bohong. Harganya pun pas dengan kantong. Suasanya? Sudah pasti cocok untuk mengabadikan moment-moment indah saat makan malam.

Berburu Buah Tangan Klapa

     Oleh-oleh.

     Memang disebahagian pejalan kaki banyak yang mengharamkan membawa cendera mata sebagai bingkisan pulang ke rumah. Baik berupa makanan maupun benda khas seperti kaos khas daerah lokal, gantungan kunci atau yang lainnya. Tak terkecuali saya, jikalau memang sedang bepergian ala backpacker dengan kantor yang super kere, yang namanya hunting oleh-oleh adalah hal mustahil yang saya lakukan. Namun, ya itu tadi kali ini beda tugas dan beda sensasi. Satu dus oleh-oleh makanan khas Belitung terutama kerupuk kemplang berhasil memenuhi peralatan balik saya ke ranah Jawa. Sebagai kemplangers sejati kerupuk kemplanglah yang menjadi jawara buah tangan saya kali ini. Empat bungkus kerupuk beraneka ragam dan satu kopi khas Manggar adalah buah tangan pribadi untuk saya sendiri pada plesiran kali ini.

     Puas?

     Tentu. Stock kerupuk dua minggu ke depan pasti akan menjadi pelamak makan saya di kosan.

Senin, 13 April 2015

     Sebentar lagi kaki ini akan kembali bertapak di tanah perantauan jawa. Dua hari di tanah Sumatra sudah cukuplah membuat diri saya kembali mengenal sisi lain keindahan tangan Tuhan di Negri Ahok ini. Beberapa jam sebelum take off siang ini, dua spot penutup akhir perjalanan masih bisa disinggahi. Danau Kaolin dan Rumah Adat Khas Belitong.

Sunrise menawan di Danau Kaolin

     Pukul 4.00 kaki ini segera ku ajak ke kamar mandi untuk mempersiapkan diri menengok mentari terbit di sebuah danau yang konon katanya memiliki warna gradisi biru yang menawan hati. Dia bernama Danau Kaolin. Namanya memang unik dan tidak menampik keindahan scenery yang ditampilkan. Danau Kaolin sebenarnya adalah merupakan bekas galian pertambangan di negri Belitung. Seperti yang diketahui ranah Belitung memang kaya akan timah dan hasil bumi lainnya. Salah satunya adalah hasil kerukan yang membentuk sebuah danau yang kemudian diberi nama Kaolin.

     Kaolin sendiri sebenarnya adalah campuran dominan untuk pembuatan keramik dan juga plastik, tinta serta industry lainnya. Danau ini terbentuk dari sisa-sisa penggalian yang dilakukan di lokasi ini. Hanya saja yang membedakannya dengan penambangan-penambangan biasanya adalah kubangan yang terbentuk ini jauh berbeda dari kebanyakan. Warna air biru toska yang jernih, gundukan-gundukan tanah putih yang khas serta pemandangan sekitar yang sepi memang menjadi daya tarik tersendiri bagi objek ini.

     Terletak di Desa Perawas, Tanjung Pandan lokasi ini sangat berdekatan dengan bandara HJ. Samanhoedi. Tiga puluh menit saja berkendara, Kaolin bisa didatangi baik di waktu kedatangan maupun kepulangan. Walaupun Danau Kaolin bukan merupakan objek wisata resmi (tidak ada biaya tiket masuk dan tarif parkir) serta dapat dinikmati langsung dari pinggir jalan raya, tetapi danau ini bisa menjadi objek unik bagi pecinta photography untuk mendapatkan angel dari segala penjuru. Nuansa yang berbeda malah menjadi titik objek yang dicari ditambah lagi dengan cahaya mentari pagi yang muncul dari balik bukit di seberang danau.

 

Rumah Adat Belitung

     Hampir sama dengan kebanyakan rumah adat di seantaro Indonesia khususnya Sumatra, rumah adat satu ini yang terletak di Jl. Ahmad Yani, Kota Tanjung Pandan juga berbentuk rumah panggung. Halaman hijau yang cukup luas makin memperelok rupa rumah yang sebagian besar berornamen kayu di tanah seluas ± 500 meter persegi. Sembilan anak tangga siap menyambut para pengunjungnya mempersilakan masuk ke rumah adat yang memiliki tiga ruang ini (utama, loss dan dapur). Setelah memasuki ruang utama yang luas, jangan lupa melapor terlebih dahulu kepada petugas yang berjaga dan membayar uang retribusi yang telah ditetapkan oleh pemerintah setempat.

     Di ruang utama ini banyak berjejeran sejarah Belitung, mulai dari beberapa figura photo di sepanjang dinding utama maupun di berbagai ornament yang terdapat di dalam ruang ini seperti lemari berisi baju penganten khas Belitung, model kamar tidur penganten, seserahan serta koleksi poto para petinggi ranah ini tempo dulu. Beranjak ke ruang berikutnya akan mendapati sebuah ruangan yang dinamakan loss (pembatas antara ruang utama dan dapur) oleh masyarakat Belitong. Alat-alat music tradisional juga terdapat di rumah yang diresmikan pada tahun 2009 ini. Ruang terakhir yang berupa dapur juga banyak tersimpan berbagai peralatan masak bahkan peralatan bertani. Diresmikan oleh Bupati Belitung Ir. H. Darmansyah Husein, rumah adat yang didirikan dari kayu bulin-yang terkenal kuat dan tahan lama ini sangat syarat akan sejarah-sejarah dan kehidupan masyarakat Belitung kebanyakan.

     Puas mengenal bagian dalam rumah adat bercorak melayu ini, para pengunjung bisa duduk santai sambil berbincang-bincang di teras rumah yang tersedia dua set kursi khas. Udara pagi yang sejuk, iringan music melayu yang mendendang lembut berirama dan akhir perjalanan yang akan segera tiba, kembali mengingatkan saya untuk tidak lupa selalu berterima kasih pada-Nya.

     Setiap perjalanan itu memiliki makna tersendiri bagi siapa saja yang menikmatinya. Bagi saya, setiap jejak kaki di bumi pertiwi ini selalu mengandung pembelajaran yang sangat berarti. Kali ini, entah kenapa saya dapat mengendus langsung semangat Ikal dan kawan-kawan. Terus berjuang dengan keterbatasan yang ada. Entah kenapa jua saya semakin meresapi nyanyian Laskar Pelangi yang didendangkan Giring. Walau dunia ini bukanlah surga,tapi setidaknya jadikanlah dunia ini jalan menuju ke sana. Semakin jauh kaki melangkah, semakin banyak mengenal daerah dan semakin juga hati ini ingin terus “berpasrah”.

     Terima kasih Tuhan, selalu kau kirimkan orang-orang terhebat disekelilingku. Selalu kau beri jalan aku untuk terus menyapa setiap keindahan yang Kau ciptakan. Tugas selesai dan mari pulang. Plesiran masih akan terus berjalan.

     Salam jalan-jalan. Salam perdamaian untuk kita semua. Kenali Indonesia dan teruslah berkarya.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun