Mohon tunggu...
Wilda Hikmalia
Wilda Hikmalia Mohon Tunggu... Administrasi -

Usaha, do'a, yakin dan kerja keras. Serta tulus dan ikhlas

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Suku Baduy Banten Dan Prinsip Hidup Yang Melekat

18 November 2014   16:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:31 1167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_354903" align="aligncenter" width="515" caption="Dua bocah Baduy Dalam menemani perjalanan kami"]

1416276173771868191
1416276173771868191
[/caption]

Bapak Nanik berdiam dirumah ini bersama istri dan tiga orang anaknya. Anak pertama beliau sudah bekeluarga, maka dari itu dirumah ini terdapat dua dapur.

Bagi orang Baduy Dalam, jika ada anggota keluarga yang sudah bekeluarga tetapi mereka belum memiliki rumah sendiri, maka wajib hukumnya memiliki dapur sendiri dirumah yang sama. Itu menandakan satu rumah, 2 keluarga, 2 dapur dan 2 lumbung.

Cengkrama kami semua malam ini masih terus berlanjut. Narasumber Bapak Nanik dan Ako dengan sukarela menjawab setiap pertanyaan yang meluncur dari para reporter kawakan ini. Istri dan anak Bapak Nanik tidak ikut andil, karena menurutku mereka belum terlalu fasih berbahasa Indonesia. Dialek Sunda-Bantennya masih kental dibandingkan penduduk Baduy Luar yang sudah lancar menggunakan Bahasa Indonesia.

Satu pertanyaan jitupun keluar dari mulutku.

“Bagaimana kalau ada orang Baduy Dalam yang memutuskan untuk keluar dari lingkup norma adat Baduy Dalam? Misalnya memutuskan untuk menjadi orang Baduy Luar ataupun mengikuti dunia modern diluar sana? “ Inilah hal yang menjadi tanda tanya besar dibenakku. Mengingat orang Baduy Dalam juga sering mengadakan perjalanan ke kota-kota besar dan tentunya melihat “gemerlap dunia luar”.

“ Itu tidak masalah. Semuanya nanti tinggal dilaporkan pada Puun.Jawab bapak Nanik.

Larangan atau peraturan yang dilanggar tentunya akan ada konsekuensi yang akan diterima. Hukum ini berlaku dimanapun tak terkecuali di Baduy Dalam yang memegang prinsip kehidupan turun-temuran dari nenek-moyang mereka. Resiko yang akan dihadapi untuk keputusan diatas adalah “mereka akan diusir dan sudah tidak dianggap lagi sebagai warga Baduy Dalam.” Begitulah adat mengatur semua pelanggaran yang telah berlaku. Namun bagi keluarga, mereka masih diakui walaupun disekitar sudah tidak  mengakui.

-----

Denting jam tangan menunjukkan pukul 20.00 . Sayup perlahan tiada lagi pertanyaan-pertanyaan yang menjurus keluar dari mulut. Sesekali gurauan sesama kami pun merambat, diselingi dengan gombalan dan modus-modus yang mengalir mengecengi kawan-kawan yang lain. Perlahan suara yang tadinya riuh, beranjak mulai sepi. Kepala yang masih tegak tinggal hitungan jari dan sisanya sudah berlabuh terlebih dahulu dibawah selimut malam masing-masing. Pun termasuk aku. Aku memilih untuk mengolah mimpi lebih awal.

Selamat tidur Baduy ......

-----

Minggu, 2 Desember 2014 // 04.30

Baduy Dalam tidak sedingin yang aku pikir. Pagi inipun menguak diri-diri kami dengan sentuhan lembut. Aku memboyong teman-teman yang lain untuk segera beranjak menuju sungai, mencuci muka dan mengambil air wudhu. Dibawah cahaya-cahaya senter, kami merambah gelap pagi Baduy Dalam. Sesekali juga berpapasan dengan tamu-tamu lain yang sedang berkunjung.

Pagi ini kami akan segera kembali ke Ciboleger menempuh jalur Gajeboh. Kepulangan akan kami mulai pukul 7 pagi setelah terlebih dahulu sarapan terakhir dengan keluarga besar bapak Nanik.

-----

Setelah sarapan, packing ransel dan menit yang tersisa aku sempatkan terlebih dahulu memutari Kampung Cibeo. Bertegur sapa dengan warga lain, pun menebar senyum semangat dipagi ini. Apik memang, kesetaraan sangat terasa disini. Model rumah yang sama, kekayaan alam yang melimpah menjadikan pelajaran berharga bagiku tanpa mengenal kata perselisihan/saling bangga-membanggakan.

Tongkat Baduy yang dibeli di Luar dengan harga 2.500 rupiah sudah siap kembali mengantarkan kami semua menuju Ciboleger. Pamitan dan pelukan hangatpun kami tinggalkan untuk ibu Nanik dan keluarga. Semoga kesan baik dapat kami torehkan dirumah ini.

[caption id="attachment_354902" align="aligncenter" width="515" caption="Perkampungan Baduy luar yang dilewati"]

1416276095111061620
1416276095111061620
[/caption]

Jalur Gajeboh adalah jalur yang cukup panjang dengan tantangan yang tidak kalah sadis dari keberangkatan kemaren. Berangkat lebih pagi untuk mengantisipasi ketepatan waktu sampai kembali di St. Rangkasbitung demi kereta Rangkas Jaya jam 14.35.

Keluar dari Desa Cibeo, kami mampir sekilas terlebih dahulu ke Cikertawana. Sekadar melihat kehidupan sekitar. Namun sayang, kampung ini sudah sepi penduduk. Info dari bapak Nanik, warga Baduy Dalam Cikertawana sudah beranjak ke ladang dan mereka jarang menerima tamu seperti Cibeo dikarenakan warga Cikertawana belum terlalu fasih berbahasa Indonesia.

Cikertawana yang tenang seolah menyimpan berbagai gejolak jiwa dalam hati saya.

-----

Stamina aku dan teman-teman pagi ini masih membara. Apalagi setelah ditambah dengan istirahat di ladang Pak Nanik sembari menikmati kelapa muda yang langsung dipetik oleh si empunyanya. Sejenak tenggorokan kembali termanjakan dengan kelapa muda yang menggugah selera.

Perjalanan kembali dilanjutkan. Perbukitan sudah siap menunggu kami didepan. Yang sangat aku ingat, ada  satu bonus spektakuler yang ditawarkan sebelum jembatan perbatasan Dalam dan Luar. Yaitu sebuah turunan dengan kemiringan sekitar 70˚. Asoiii rasanya mendapat trek ini.

[caption id="attachment_354901" align="aligncenter" width="515" caption="Jembatan pertama jalur Gajeboh Dalam-Luar"]

14162760231347719580
14162760231347719580
[/caption]

Kembali setelah memasuki kawasan Baduy Luar, cameraku berontak untuk segera kembali berekspresi. Taraaa … kembali kita jepret sana-sini …..

Melewati 2-3 jembatan, keluar masuk kampung Baduy Luar, kembali aku dan rombongan terpecah menjadi beberapa bahagian. Sisa-sisa tenaga masih aku paksakan untuk tidak menyerah. Tapi …… rasa down itu pun akhirnya kurasakan ditanjakan terakhir yang tiada henti. Kakiku mulai lemas, dadaku tereasa sesak, peluh terus bercucuran dan matahari seolah garang menertawaiku.

“Oh Tuhan ,,, aku hampir menyerah menghadapi tanjakan “gila” ini.

Track Baduy menurutku pribadi sungguh menantang. Karena perjalanan sepenuhnya ditemani peluh keringat dan pancaran matahari yang menyengat. Ini memang tampak seperti pendakian gunung, tapi yang membedakan adalah weather condition. Baduy dengan terik panas dan cucuran keringat sedangkan gunung masih bisa berdamai dengan hawa dingin.

[caption id="attachment_354900" align="aligncenter" width="515" caption="Aktivitas keseharian suku Baduy Luar "]

14162759381801961538
14162759381801961538
[/caption]

[caption id="attachment_354899" align="aligncenter" width="515" caption="Kampung demi kampung yang dilewati "]

14162758641928531239
14162758641928531239
[/caption]

Pelan-pelan langkah kaki masih aku seret semaksimal mungkin. Berharap Ciboleger segera menunggu di depan. Aku tidak tahu bagaimana dengan teman-teman lain yang dibelakang . Semoga semangat mereka lebih bergelora dibanding aku.

Finally ,,, 11.45 moncong rumah Kang Lambry menunggu didepan mata. Ohh ... God ,, ± 5jam tracking perjalanan pulang yang kami tempuh.

Waktu 45 menit yang tersisa dimanfaatkan untuk membeli kerajinan tangan, souvernir, oleh-oleh Baduy. Gantungan kunci, scarft, kain tenun dan yang pastinya madu alami Baduy menjadi santapan siang saya dan teman-teman di rumah Akang Lambry.

[caption id="attachment_354898" align="aligncenter" width="515" caption="Anak lelaki kecil penjaja minuman yang ditemui di track Baduy Luar"]

1416275751622567245
1416275751622567245
[/caption]

[caption id="attachment_354895" align="aligncenter" width="515" caption="Jembatan bambu menjelang desa Gajeboh"]

1416275574715345840
1416275574715345840
[/caption]

12.30  Perjalanan kembali ke St. Rangkas Bitung

14.00 St. Rangkasbitung

14.35  St. Rangkasbitung – St. Tanah Abang

-----

Banyak pelajaran yang dapat aku petik dan bawa pulang dari kehidupan tentram suku Baduy, terutama Baduy Dalam. Hidup dengan “menutup diri” dari perkembangan dunia, membuat mereka dapat berdamai selalu dengan alam. Memanfaatkan kekayaan alam semaksimal mungkin dengan cara dan metode yang mereka miliki. Tidak hanya itu. Toleransi antar sesama juga murni tercurah dari pribadi masing-masing jiwa. Model bangunan rumah yang sama, mengajarkan akan arti sebuah kesetaran tanpa mengenal perbedaan si kaya dan si miskin. Kerja keras yang gigih, berladang, berkebun demi topangan hidup dan menyimpan kekayaan tersebut untuk bekal hari nanti disebuah lumbung. Mempertahankan “kepercayaan” yang sudah menjadi pegangan hidup turun-temurun.

Semua itu memiliki hikmah tersendiri bagi aku pribadi. Untuk selalu mencoba berada dipijakan yang benar dan berpegang teguh pada garis hidup yang selama ini aku jalani.

Terima kasih Baduy , akan pelajaran berharga yang telah engkau berikan.

Baduy, 1-2 November 2014

[caption id="attachment_354894" align="aligncenter" width="515" caption="Model rumah setara suku Baduy"]

14162754371287409072
14162754371287409072
[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun