Kapitalisme merupakan sistem ekonomi yang berfokus pada kepemilikan individu dan kebebasan pasar. Sistem ini sesuai dengan gagasan bahwa aktivitas ekonomi ditentukan melalui interaksi antara produsen dan konsumen yang berlangsung dalam lingkungan pasar bebas. Dalam hal ini, kapitalisme sering dikaitkan dengan konsep komodifikasi, yaitu proses di mana sesuatu yang awalnya bukan termasuk komoditas di ubah menjadi barag yang dapat di perdagangkan. Komodifikasi mencerminkan sebuah cara kapitalisme merubah berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk nilai-nilai sosial dan budaya, menjadi sesuatu yang dapat diukur dan di manfaatkan untuk keuntungan ekonomi.
      Menurut Karl Marx, komodifikasi adalah bentuk ideologi yang tersembunyi di balik media, di mana kepentingan memperoleh keuntungan di jadikan sebagai prioritas utama dibandingkan tujuan lainnya. Dalam sistem kapitalisme manusia diubah menjadi alat produksi atau komoditas melalui proses komodifikasi. Seperti pada industri perhotelan, tenaga kerja diperlukan sebagai barang dagangan. Hal serupa terjadi dalam dunia pendidikan, di mana individu dipandang sebagai produk yang harus siap dimasukkan ke dalam struktur ekonomi kapitalis agar memiliki nilai bagi sistem tersebut. Komodifikasi ini tidak hanya mengenai benda fisik, tetapi juga mencakup aspek-aspek tak berwujud seperti waktu, tenaga, dan identitas pribadi. Khususnya dalam hal komodifikasi tenaga kerja, terlihat bagaimana keterampilan dan jam kerja pekerja diubah menjadi barang yang dihargai dengan upah, sehingga mencerminkan teori Marx tentang keterasingan kelas pekerja (alienasi proletariat).
      Sistem kapitalisme modern mendorong komodifikasi manusia, termasuk para pekerja, dengan mengubah keterampilan dan waktu kerja mereka menjadi barang dagangan yang dapat diperjualbelikan. Dalam konteks ini, pekerja tidak lagi dihargai sebagai individu dengan nilai intrinsik, melainkan dinilai berdasarkan kontribusinya terhadap produktivitas dalam rantai produksi. Proses komodifikasi ini menciptakan kondisi di mana pekerja terpaksa menjual tenaga kerjanya untuk memperoleh upah, sehingga mereka terperangkap dalam mekanisme pasar yang lebih memprioritaskan keuntungan pemilik modal daripada kesejahteraan manusia secara keseluruhan. Proses ini juga menghasilkan ketidakadilan sosial, di mana para pemilik modal mendominasi dan memanfaatkan tenaga kerja demi meraih keuntungan maksimal, sementara para pekerja hanya dipandang sebagai bagian dari mekanisme sistem yang berfokus pada pengumpulan kekayaan.
      Menurut UU No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, mengatur jam kerja buruh dengan menetapkan batasan jam kerja yang maksimum yaitu 40 jam per minggu. Biasanya 7 jam sehari, untuk 6 hari kerja, atau 8 jam sehari untuk 5 hari kerja. Akan tetapi, pada realita di lapangan menunjukkan bahwa banyak pekerja, khususnya yang bekerja di sektor industri seperti fashion, hal ini menunjukkan eksploitasi dengan jam kerja yang jauh melampaui batas ketentuan. Seperti contoh yang sering di alami di era sekarang ini, pekerja sering kali dipaksa bekerja hingga 10-12 jam per hari tanpa menerima upah lembur yang layak, yang jelas hal ini melanggar hak-hak mereka serta mengabaikan peraturan yang berlaku.
    Ekploitasi ini muncul dari adanya sistem kapitalisme, di mana pemilik modal berupaya meraih keuntungan sebesar – besarnya dengan cara menekan biaya tenaga kerja serendah mungkin. Berdasarkan teori nilai Karl Marx, para pekerja hanya dibayar sebagian kecil dari nilai yang mereka hasilkan, semestara sisa nilai tersebut diambil oleh kapitalis sebagai keuntungan. Akibatnya, pekerja dipaksa melakukan kerja yang ekstra tanpa mendapatkan bayaran yang sepadan. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan antara pemilik modal dan pekerja, dimana buruh terus bekerja keras tetapi tidak memperoleh hasil yang layak. Meskipun pengaturan jam kerja seharusnya berfungsi sebagai perlindungan bagi tenaga kerja, tapi ralitanya banyak perusahaan menyalahgunakan aturan tersebut demi meningkatkan produktivitas dengan mengabaikan hak-hak pekerja.
     Grafik diatas menunjukkan rata – rata upah per jam pekerja berdasarkan jenis kelamin di Jawa Tengah tahun 2021 hingga 2023. Grafik diatas menunjukkan adanya ketimpangan yang cukup mencolok antara upah pria dan wanita. Pada tahun 2021, upah rata-rata pria mencapai 18,210 rupiah per jam, sedangkan wanita hanya memperoleh 17,848 rupiah per jam. Pada tahun 2023, meskipun terjadi peningkatan upah pada kedua kelompok, dengan upah pria naik menjadi 20.225 rupiah per jam dan upah wanita turun menjadi 16.779 rupiah per jam, kesenjangan ini terlihat sangat jelas yang menunjukkan adanya ketidaksetaraan gender dalam sistem pemberian upah yang menciptakan ketidakadilan di lingkungan kerja. Kesenjangan upah ini berkaitan dengan ekploitasi buruh, terutama bagi perempuan. Meskipun perempuan seringkali bekerja dalam posisi yang setara dengan laki-laki. Upah yang diterima perempuan cenderung lebih rendah, sehingga memperburuk kondisi kerja dan menyulitkan pemenuhan kebutuhan sehari  hari. Ketidakadilan ini tidak hanya meningkatkan tekanan ekonomi pada pekerja perempuan, tetapi juga mendorong mereka untuk menerima pekerjaan dengan gaji yang minim dan tanpa jaminan perlindungan yang layak.
Pada grafik diatas menunjukkan UMR (Upah Minimum Regional) dan rata-rata pengeluaran Jawa Tengah dari tahun 2020 hingga 2023. Grafik diatas mengambarkan kondisi ekonomi yang mempengaruhi pengeluaran kehidupan pekerja. UMR mengalami kenaikan yang cukup signifikan, dari 1.742 pada tahun 2020 menjadi 1.958 pada tahun 2023. Di sisi lain, rat-rata pengeluaran juga turut meningkat, meskipun dengan kecepatan yang berbeda. Kenaikan UMR ini memberikan peluang bagi pekerja untuk memiliki penghasilan lebih banyak, namun jika ada lonjakan pengeluaran yang lebih cepat, akan berpotensi menciptakan ketidakseimbangan yang merugikan. Kondisi ini dapat menyebabkan eksploitasi buruh, dimana pekerja dipaksa menerima upah yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Ketidakseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran juga dapat menyebabkan pekerja akan melakukan pekerjaan dengan lebih banyak jam tanpa kompensasi yang layak atau menerima gaji yang lebih daripada yang mereka harapkan. Oleh karena itu, sangat penting untuk memantau tidak hanya kenaikan UMR tetapi juga mengembangkan kebijakan yang memastikan bahwa upah yang diterima oleh buruh ini cukup untuk mendukung kualitas hidup yang layak, sehingga dapat mencegah eksploitasi yang lebih lanjut.
      Adanya teknologi modern memiliki dampak pada nasib karyawan. Teknologi dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja melalui automasi, robotisasi, dan otomatisasi yang secara langsung meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam berbagai industri. Contohnya, penggunaan teknologi informasi dapat meningkatkan kecepatan dalam proses produksi sehingga membuka lapangan kerja baru di bidang teknologi informasi dan e-commerce.
      Kebijakan pemerintah, aktivisme, dan serikat buruh sangat membantu dalam mengurangi eksploitasi buruh dengan memperjuangkan hak-hak para pekerja dan membuat peraturan yang lebih adil. Serikat buruh membantu pekerja untuk bisa bersatu menyuarakan tuntutan mereka, seperti upah yang lebih baik, jam kerja yang wajar, dan lingkungan kerja yang aman. Serikat buruh dapat menekankan perusahaan untuk memenuhi standar yang lebih tinggi melalui proses negosiasi dan protes. Selain itu aktivisme sosial dan kampanye kesadaran publik berusaha meningkatkan kesadaran publik mengenai pentingnya melindungihak buruh. Di sisi lain, kebijakan pemerintah, seperti undang – undang ketenagakerjaan yang ketat dan pengawasan yang lebih baik, melindungi pekerja dari praktik eksploitasi. Adanya tiga kelompok ini akan menciptakan kondisi yang lebih baik untuk melindungi hak-hak buruh dan  meningkatkan kesejahteraan mereka.
      Secara keseluruhan sistem kapitalisme menyebabkan ketidakadilan sosial dan ekonomi, di mana kekayaan selau ditangan orang pemilik modal dan buruh seringkali menghadapi kondisi kerja yang tidak adil dan upah yang rendah. Ketergantungan pada profit maksimal sering merusak lingkungan dan kesejahteraan karyawan. Dengan pendekatan sosial demokrasi atau model ekonomi solidaritas akan menjadi alternatig yang lebih mencerminkan keadilan untuk mengatasi masalah eksploitasi buruh. Kolaborasi antara sektor publik dan swasta, dapat menekankan pentingnya partisipatif aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan. Hal ini dapat menciptakan sistem ekonomi yang lebih baik dan berkelanjutan dengan mendahulukan prisip keadilan sosial, distribusi kekayaan yang lebih merata dan perlindungan hak-hak pekerja. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi akan menguntungkan semua pihak.