Dalam roda proses kehidupan tentu kita tidak dapat terlepas dari kehidupan dan kematian.. Jika kita mengetahui kapan kita akan mati maka kita tentu sudah menghindari sebab kematian tersebut bukan? Namun kehidupan dan kematian ini adalah siklus hidup, aturan hukum rta dan merupakan rahasia Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Selaku manusia kita hanya bisa menunggu kematian sembari memupuk karma baik, melaksanakan persembahan berupa yadnya kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Yadnya yang besar tidak menjamin manusia kelak di kematiannya akan mendapatkan tempat yang lebih baik. Namun dari ketulus ikhlasaanya lah manusia mendapat karma wesananya yang baik sebagai bekal di kehidupan setelah kematian. Kematian merupakan suatu keadaan yang tidak bisa dihindari oleh siapapun baik manusia, tumbuhan maupun hewan. Dalam konteks hukum, menurut PP No. 18 Th. 1981. Kematian merupakan suatu kondisi otak dan batang otak sudah tidak dapat berfungsi lagi. Sehingga dalam kondisi otak yang sudah tidak berfungsi maka semua kerja organ di dalam tubuh manusia akan turut berhenti sebab otak lah yang mengendalikan semua kerja organ tubuh manusia termasuk paru -- paru dan jantung. Sedangkan mati menurut tattwa adalah kondisi terlepasnya atma dari Panca Maha Bhuta. Hal tersebut dijelaskan dalam Wraspati Tattwa seperti berikut :
Kala ikang mati ngarania wihturun mapasah lawan panca maha bhuta juga tekang atma ri sarira, ikang aganal juga ilang, ikang atma langeng tan molah, apan ibek ikang rat kabeh dening atma
Yang artinya
pada waktu mati namanya, hanya berarti terpisahnya panca maha bhuta dengan atma yang ada pada tubuh, hanya badan kasarnya yang lenyap sedangkan atmanya tetap tak berubah , sebab dunia ini penuh dengan atma
Jadi ketika atma meninggalkan badan kasar tersebutlah baru bisa dikatakan seseorang mengalami kematian. Namun dari Pretekaning Sawa  orang dapat dikatakan mati ketika telah diupacarai. upacara tersebut berupa
- pertama, orang meninggal tersebut diperlakukan sebagaimana orang masih hidup dengan dimandikan air biasa kemudian dengan air bunga
- kemudian dilakukan prosesi mekerik kuku, mesigsig,dan makramas
- lalu alisnya diletakan daun intaran
- di hidungnya dipasangi pusuh menur
- di dadanya ditaruh daun gadung
- kedua mata diisi cermin
- bagi laki - laki kemaluannya ditutup daun terong, dan perempuan ditutup dengan daun teratai
- diletakkan kwangen di setiap persendiannya dan dipakaikan pakaian selayaknya orang masih hidup
- terakhir diadakan prosesi persembahyangan dan mepegat
Sebelum di upacarai  pembersihan dan sebagainya, jasad tersebut masih dikatakan dala kondisi "sirep" atau tertidur. sehingga pekarangan orang meninggal tersebut belum dikatakan cuntaka.Â
Ngaben merupakan salah satu dari pelaksanaan upacara Pitra Yadnya. Ngaben merupakan penyucian atma orang yang sudah meninggal dengan tujuan menyucikan atma dari ikatan Dasa Indrya yang terdiri dari Panca Bhudindrya yang terdiri dari mata, hidung, telinga, kulit dan lidah dan Panca Karmendrya yang terdiri dari tangan, kaki, mulut, dubur dan kemaluan. Kesepuluh Indrya tersebut akan tidak berfungsi saat telah meninggal maka mayat akan diaben (dibakar) secara sekala dan niskala. secara sekala jasad akan dibakar menggunakan api. sedangkan secara niskala jasad akan dibakar menggunakan puja mantra Agni PralinaÂ
Dalam pelaksanaanya ngaben dilaksanakan menurut 3 kondisi jasad yakni dalam kondisi utuh, kondisi tersisa tulang, dan kondisi tanpa jasad yang akan dijelaskan sebagai berikut :Â
- Kondisi Utuh (Sawa Wedana)
Sawa Wedana merupakan suatu upacara pengabenan yang dilaksanakan ketika seseorang baru meninggal kemudian dalam beberapa hari yang dekat diupacarai. upacara seperti ini sering kita temui di masyarakat. objek dari upacara ini adalah jenazah yang utuh dari beliau yang telah meninggal dunia yang keudian di bakar (mekingsan ring gni)
- Kondisi Tersisa Tulang - Belulang (Asti Wedana)
Asti Wedana merupakan upacara ngaben yang dilaksanakan ketika jenazah beliau yang meninggal telah terlebih dahulu dikubur di setra. Setelah beberapa lama kemudian dalam kondisi yang hanya tersisa tulang - belulangnya. Tulangbelulang tersebut lah yang kemudian diangkat dan diupacarai pengabenan. Di masyarakat kondisi ini dapat terjadi mengingat ada suatu hal yang mengharuskan jenazah untuk dikubur terlebih dahulu. biasanya hal tersebut dapat berupa kegiataan piodalan di desa tersebut  sehingga diberlakukannya sengker desa yang berlaku di desa tempat si jenazah akan diupacarai  atau adanya upacara Dewa Yadnya di pura kahyangan jagat seperti piodalan di Pura Besakih sehingga diberlakukannya sengker jagat yang berlaku di seluruh Bali. Di kondisi seperti ini jika jenazah didiamkan dirumah maka suasana duka akan terus terjadi secara berkepanjangan. Atau mungkin karena faktor keterbatasan ekonomi sehingga keputusan keluarga untuk melakukan penguburan mayat. Selain itu masih terdapat desa desa di bali yang memiliki dresta untuk menguburkan mayat seperti deresta yang ada di desa Bugbug, Karangasem. Sehingga penguburan jenazah masih bisa dibenarkan yang disebut mekingsan ring pertiwi .Â
- Kondisi Hilang (Swasta Wedana)
Swasta Wedana merupakanupacara ngaben yang dimana jenazah orang yang diaben tidak diketemukan yang disebut pejah ring sunantara sehingga objek yang diupacarai pengabenan adalah tirtha atau Toya Sarira sebagai simbolis dari raga yang telah hilang tersebut. kondisi ini dapat dijumpai di masyarakat ketika seseorang meninggal karena badannya hancur peperangan, dimakan binatang buas, kecelakaan pesawat, kapal tenggelam bencana dan lainnya sehingga jenazah tidak dapat diketemukan
3 kondisi jenazah tersebut tentu akan diupacarai dengan cara yang berbeda, baik dalam susunan acara, sarana, dan prosesi yang sudah pasti berbeda satu dengan yang lainnya. Adapun prosesi upacara ngaben tersebut adalah sebagai berikut :
- Sawa Wedana
- Prosesi ngaben ini dilaksanakan secara langsung tanpa dikubur terlebih dahulu. Setelah selesai upacara nyiramang atau membersihkan bagian kemudian digulung dengan kain putih yang sudah di ditulisi huruf suci (rerajahan) kemudian didiamkan di tempat yang diperuntukkan untuk itu.
- Kemudian dilaksanakan upacara pelebon yang diawali dengan upacara ngaskara dan caru pengelambuk. Selanjutnya jenazah dinaikkan di pepage lalu berangkat ke setra. Dalam perjalanan ke setra, sekar ura ditaburkan, sekar ura terdiri dari beras kuning uang kepeng serta kembang rampai maksud agar keluarga yang ditinggal selalu diberikan kesejahteraan dan kemakmuran. Dalam perjalanan tersebut juga dibarengi dengan suara beleganjur . Ketika melewati persimpangan pertigaan maupun perempatan pepage putar melawan arah jarum jam yang disebut dengan Mesirig yang maknanya ucapan perpisahan oleh yang akan diaben dengan desa pakraman. Selain itu mesirig juga dilakukan ketika sampai di setra dan ditempat upacara. Namun sebelum itu dilakukan upacara ngatur piuning di Pura Dalem dan Prajapati untuk nguningang jatma yang akan diupacarai
- Kemudian ditempatkan di tempat yang telah disediakan, dibuka dan di berikan tirta pengelukatan, pabersihan, kahyangan tiga, kawitan dan terakhir pangentas. Kemudian dilanjutkan dengan prosesi ngayab banten yang diletakan di dada mayat barulah dilakukan pembakaran
Sisa pembakaran yang berupa tulang dipungut dan ditaruh pada sesenden dan kemudian ditumbuk sampai halus lalu dimasukkan ke kelungah gading sebagai wujud Puspa Asti. Sisa tulang lainnya dibentuk (ngreka ) menjadi orang-orangan di atas selembar kain putih beralaskan klasa. Rekaan tersebut diisi kwangen sebanyak 22 buah di taruh di anggota tubuh. - Selanjutnya diadakan upacara puja utpati yang dipimpin oleh sulinggih dengan maksud memberi tuntunan serta menghidupkan dan mempertemukan Rekaan (wujud badan kasar) dengan Puspa Asti (atma)
Sisa tulang kemudian dibungkus dengan kain putih berbarengan dengan sarana pembersihannya untuk selanjutnya disertakan dalam proses nganyut yang dilanjutkan dengan ngangkid. - Upacara ini begitu nganyut seketika itu dilaksanakan mepegat, mangening-ngening, mecaru, ngerorasin, nyepuh, penyekahan, ngalap don bingin, ngajum sekah, setelah ngadegang sekah. Selanjutnya di prelina dan diwujudkan kembali dalam wujud daksina linggih. Sebagai kelanjutannya adalah ngulapin dewa pitara agar melinggih di pemerajan kemudiaan dilanjutkan dengan upacara meajar ajar barulah beliau (dewa hyang) dilinggihkan di pemerajan dadia maupun keluarga
- Asti Wedana
- diawali dengan membuat teg - tegan yang berupa patung manusia yang terbuat dari kayu cendana atau berupa daksina pengawak yang dihiasi menyerupai raga manusia
- tegteg kemudian diiring ke pura dalem untuk diadakan prosesi matur piuning
- dilanjutkan dengan prosesi ngulapin di prajapati serta ngeplugin yaitu proses memukul kuburan dengan pelepah pisang sebanyak tiga kali
- dilakukan prosesi ngangkid yang dipimpin oleh pinandita ataupun pandita. bila ditemukan tulang belulangnya selanjutnya ditempatkan uang kepeng sebanya 200buah yang diikat benang kemudian dipegang oleh para keluarga sebagai simbol telah siap mengupacarai
- tulang belulang kemudian diangkat dan diletakkan di bale yang terbuat dari kayu dapdap setinggi ulu hati. Kemudian tulang diberishkan dan diletakan pada leluwur atau kain putih yang telah dirajah. lalu dilanjutkan dengan prosesi ngeringkes Â
- tegteg kemudian diletakan di bungkusan tulang belulang tersebut kemudian diupacarai selayaknya sawa utuh, selanjutnya diletakan di tumpeng salu
- dilanjutkan dengan upacara ngaskara yang selanjutnya tulang dibakar kemudian dilanjutkan seperti proses sawa wedanaÂ
- Swasta
Dalam prosesi ini dilaksanakan upacara atiwa - tiwa kepada sang yang diabenkan namun jasadnya tidak diketemukan. adapun upacara atiwa tiwa dalam ngaben swasta adalah Racadana atau sawa yang diganti dengan Toya Sarira. Prosesinya dilakukan serupa dengan Toya Sarira.Â
- NgelungahÂ
Tidak hanya sawa berusia dewasa yang diupacarai dengan pitra yadnya. Anak - Anak juga diupacarai demikian sebab yang diupacarai adalaah arwahnya. Untuk upacara atiwa - tiwa untuk anak dijabarkan sebagai berikut.
- Anak yang meninggal setelah tanggal gigi diperlakukan seperti orang dewasa
- anak yang berumur kurang dari 3 sasih akan dilakukan dengan mependem saja dengan banten pejati serta sesuai dengan desa kala patra. Tata upacara ngelungah adalah sebagai berikut
- piuning ke pura Dalem, Merajapati, Sedahan Setra, Bangbang rare, serta roh bayi yang kemudian di siratkan tirta pengerapuh, tirtha kemulan, dan kahyangan tiga. kemudian bangbang diratakan bersamaan dengan bantennya
Itulah dudonan upakara pengabenan menurut kondisi sawa. Pesan penulis dalam melaksanakan upacara Pitra Yadnya tidaklah diharuskan untuk melaksanakanya dengan mewah, namun laksanakan dengan penuh keiklasan dan bakti kepada para pitra. Serta hormatilah kedua orang tua selagi mereka ada di duniaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H