Agaknya, kisah Batuta menginspirasi Asrul sani dalam filmnya; "Titian Serambut Dibelah Tujuh". Dalam film yang pemeran utamanya L. Manik ini, dikisahkan seorang ustad keliling yang bertulang ke pelosok-pelosok desa dalam mengabdikan dakwah dan syi'arnya. "Saya akan terus berjalan ke desa mana saja... Jika saya bertemu guru saya akan belajar. Jika tidak ada guru di desa itu, saya akan mengajar..." Ending film ini, sang Ustad dengan metode persuasinya berhasil menghentikan kemunafikan para tokoh masyarakat sekaligus membongkar politik kotor penguasa desa yang sejak lama menindas warganya. Pesan moral film ini: kedekatan sang Pendidik dengan alam kehidupan.
Alam takambang jadi guru. Kini, cekokan kurikulum pendidikan condong mengabaikan aspek kreativitas berikut sistem yang terkesan menjauhkan manusia dari alam. Kerinduan kita pada pola pendidikan Ustad Muhamamad Syafi'i dengan sekolahnya yang berorientasi alam di Kayu tanam, Sumatera Barat atau pola pendidikan ala Rabinranath Tagore di India adalah kerinduan pada wajah lain aktivitas perburuan ilmu pengetahuan.
Kerinduan kita pada makna pendidikan hakiki, seyogianya merujuk pada kondisi yang mampu memberi ruang kesadaran kepada peserta didik untuk mengembangkan jati dirinya melalui sebuah proses yang menyenangkan, terbuka dan tidak terbelenggu dalam suasana monoton dan menegangkan. (Juwono Soedarsono: 2008).  “Kondisi rileks membuat Anda lebih tenang, lebih kuat dan lebih kreatif," kata Psikolog Amerika, J. Libierman.
Aku tidak tahu apakah ungkapan itu bersentuhan dengan suasana kantin kampus. Tetapi, obrolan meja makan kedengarannya berkorelasi dengan Teori Kecerdasan  ala Robert Cooper (The Other 90%): "Kecerdasan tidak hanya terjadi di otak". Dia mengemukakan peran kecerdasan jantung dan kecerdasan perut di luar kecerdasan otak. Illustrasi teorinya: setiap orang mendapatkan pengalaman, konstruksi pengalaman itu tidak langsung masuk ke kepala. Justru lebih dulu ke syaraf usus dan jantung yang bekerja secara mandiri.
Jika kalangan psikologi kurang sependapat dengan Cooper, itu soal tradisi memercayai teori. Pengaruh Alfred Binet, arsitek kecerdasan via Tes IQ tentu kalah pamor dengan teori Cooper. Meski, pada awalnya Binet --atas pesanan pemerintah Prancis--merancang Test IQ hanya untuk orang-orang berkebutuhan khusus. "Tes IQ rancangan saya, mohon tidak digunakan secara holistik. Ini bukan alat ukur kecerdasan buat umum," kata Binet (Ken Robinson:2015)."Toh, keajaiban bisa muncul dimana-mana," ujar Ustad Yusuf Mansyur.
Keajaiban inilah yang terjadi suatu siang di kantin Kampus Universitas Cornell, saat dua mahasiswa bertengkar dan berujung pada persitiwa lempar piring. Peristiwa ini, sebenarnya hal biasa-biasa saja. Apa sih istimewanya, piring kaca dilemparkan ke atas? Kita tinggal menunggu reaksinya: piring terpental ke lantai semen lantas pecah berkeping-keping, bukan? Tetapi, peristiwa biasa itu, ternyata berakhir diluar dugaan dan disaksikan orang yang luar biasa.
Adalah Richard Feynman, seorang dosen Fisika universitas itu, salah seorang yang menyaksikan peristiwanya. Feynman, yang sangat dihormati kalangan akadmeisi karena multi talentanya: sebagai musisi jazz, pemain akrobat, pelukis dan sebagai ahli fisika."Peristiwa lempar piring di kantin siang itu, adalah awal penemuan saya yang luar biasa untuk mendalami ilmu Elektrodinamika Kuantum," kata Feynman dalam buku Do It With Passion (2015).
Dikisahkannya, piring itu ternyata tidak jatuh kemudian retak dan pecah. Justru  piring yang dilengkapi logo Cornell warna biru itu, berputar-putar di lantai. Semua orang di kantin terheran dan tertawa. Tetapi Feynman melihat dari insting "fisika-nya". Dia segera mengambil kertas tissu seraya menyoret-nyoret catatannya di kertas tissu. Temuan itu kemudian dianalisanya dengan persamaan matematika untuk rotasi.
Masalahnya, putaran logo warna biru lebih cepat dua kali  dari putaran piring. Di labor kampus  ia mencoba mengutak-atik temuannya dengan persamaan putaran elektron Dirac. Butuh waktu lima tahun bagi Feynman bekerja tekun hingga studinya mengantarnya pada supremasi elite. Tahun 1965 Feynman menerima Hadiah Nobel bidang Fisika.
Kemarin, jeda mengajar mata kuliah: Introductions to Journalist di Program Studi Bahasa Inggris, aku kembali dengan rutinitasku ke kantin kampus. Sepuluh meter, menjelang kampus aku dicegat dua mahasiswa "senior". Senior dalam arti sesungguhnya, karena  sudah berada di tebing D.O. alias drop-out. Kami lantas sepakat "ngopi darat" di kantin.
Anehnya, kedua mahasiswa ini  bukan mau bertanya seputar ilmu jurnalis satu-satunya keahlianku. Yang seorang menumpahkan keresahannya dibayang-bayangi ancaman limit waktu kuliah. Seorang lagi merisaukan pekerjaan, kelak jika sudah diwisuda. Tersirat ketidakmandirian dan kerisauan dari celotehnya. Mungkin teringat dengan penglamannya di kampus 6 tahun terakhir yang kurang serius menjalani perkuliahan plus kebiasaan hidup menjauhi alam.