Menambang Emas di Kantin Kampus
Ngobrol "kedai kopi" yang merasuk keseharianku 25 tahun terakhir, terbawa juga ke dunia akademik. Jeda mengajar di sela antar perkuliahan, menjadi pengisi obrolan di kantin kampus.
[caption caption="Kantin kampus ( masburhan.wordpress.com)"][/caption]
KEDAI Kopi bermakna "lapo" alias lapangan politik, kantin kampus lebih mengasyikkan sebagai medium pengamat perilaku. Gossip seputar manusia intelek, tak melulu kerumitan dunia ilmiah. Kekhusukan telaah literatur biarlah jadi urusan perpustakaan yang selalu sepi.
Kantin, seyogianya penyaji konsumsi perut, ternyata mulai bergeser peran. Bagi komunitas mahasiswa, kantin bisa berfungsi unik: mimbar bebas dan sarana epektif berkomunikasi dengan dosen (pembimbing). Di kantin teramati pamer/ekspresi model-model alat digital terkini, komentar dan analisis sepakbola Eropa, puja-puji, cemeeh hingga bisik-bisik tentang sosok: dosen & mahasiswa.
Buat para pemburu gelar sarjana, kantin penyederhana birokrasi akademik, mencuri waktu dosen untuk bimbingan skripsi. Mereka "mengintip" celah kesibukan para dosen berpikir praktis. Yang menggugah inspirasi dari pojok kantin. Bagi segelintir dosen, meja sederhana di kantin lebih rileks ketimbang meja fakultas di ruangan sejuk. Kantin menjadi sarana proses belajar-mengajar, juga.
Di kantin aku memberi memotivasi mahahsiswa dan alumni yang masih rajin berkunjung. Kusempatkan juga mencuri ilmu-informasi dari teman para dosen/pakar di sela makan siang mereka. “Menambang” emas dari pikiran manusia, jauh lebih praktis dari pada menambang emas secara liar dari perut bumi di kampungku. Aku selaluj tertarik "mengorek" strategi proses perjalanan panjang menimba ilmu.
Seorang dosen senior, peraih gelar doktor kebahasaan dari negeri seberang aku beroleh strategi cerdas dan kreatif menimba ilmu hingga jenjang doktor. Dia menganut cara belajar teori burung terbang."Jika kita punya tekad yang kuat, Tuhan akan membimbing kita pada tujuan," katanya.
Long mach aktivitas empiris seekor burung akan menjadikan pepohonan sarana istirahat, sekaligus sarana hidup di ranting-rantingnya. Pagi berangkat dari sarang dengan perut kosong. Perjalanan udara yang melelahkan seharian mengantarnya pulang ke sarang sore harinya seraya menghidupi anak-anaknya. Burung kata si Doktor hanya mempertontonkan strategi pendidikan buat anak-anaknya yang esok pagi harus belajar terbang. Si Anak harus menempuh pengalaman getir. Lebih dulu terjatuh dari sarangnya, baru kemudian berjuang dan belajar di alam bebas.Tidak ada lagi bimbingan khusus....
Di internet, kutemukan kisah mirip teori burung terbang dari petulang terbesar sepanjang sejarah ummat manusia di abad -13. Ibnu Batuta seorang Sarjana Hukum Islam dari Maroko mengalahkan rekor spektakuler Christoper Colombus sebagai penjelajah ulung. Ibnu Batuta, dalam kurun 30 tahun petualangnnya menempuh tidak kurang dari 120 ribu km meliputi: Asia, Amerika, Eropa dan Afrika.
Prestasi gemilang Batuta yang sempat diragukan kalangan ilmuwan Eropa itu (terakhir jusru buku biografinya diterbitkan di Jerman dan Prancis) dia tempuh bagai strategi burung terbang dengan tingkat istiqomah tinggi terhadap kekuasaan Allah. Bagi seekor burung, di mana ada pohon di situ ada kehidupan. Bagi Batuta, yang diakhir karirnya diangkat sebagai hakim di Maroko, komunitas masyarakat di manapun adalah tempat belajar-mengajar dan hidup. "Di mana kau bertemu seorang manusia, di sana ada kesemparan untuk kebaikan hati," kata Seneca.