Tiktok merupakan salah satu media sosial yang memuat berbagai konten yang variatif, seperti pengetahuan, hiburan, hingga kuliner. Platform ini telah meraih jutaan hingga miliaran pengguna di penjuru dunia. Menurut We Are Social dan Meltwalter, pengguna platform Tiktok pada tahun 2024 telah berjumlah hingga 1,58 miliar. Angka yang sangat masif untuk sebuah platform sosial. Menariknya, Indonesia menjadi negara dengan pengguna Tiktok terbanyak pada tahun 2024. Berdasarkan laporan Statista, Indonesia menyumbang 157,6 juta per Juli 2024. Angka tersebut telah melahirkan pengguna yang menyajikan konten - konten edukatif serta entertainment. Namun, ekspektasi tidak selalu sejalan dengan realita. Tidak jarang ditemukannya komentar negatif serta minim etika pada konten - konten di Tiktok, bahkan adapun komentar yang terkesan menyerang content creator.
Kebebasan berkomentar merupakan hak hingga keuntungan bagi setiap individu. Namun, kebebasan menjadi liar dan tidak terkendali apabila tidak dimanfaatkan dengan bijak. Komentar - komentar negatif di Tiktok merupakan salah satu contohnya. Tidak jarang user berkomentar yang bersifat jorok, umpatan, kasar bahkan melecehkan. Salah seorang penyanyi terkenal yang aktif di media sosial dikenal dengan Bernadya pernah mengalami hal serupa. Ia mengatakan di Instagram Story bahwasannya ia mendapat komentar tidak pantas pada videonya di Tiktok. Ia membuka suara pada media lain dan mengatakan bahwa komentar negatif menyakiti perasaannya bahkan mempengaruhi kesehatannya emosionalnya. Kemudian pada hari Rabu (25/09/24), video Bernadya sudah tidak lagi terlihat lagi di akun Tiktok Bernadya.
Mirisnya, ini tidak hanya terjadi padanya, namun pada artis - artis lain hingga para content creator di Tiktok. Tentunya hal ini juga bisa berdampak kepada kesehatan mental mereka yang terserang. Anehnya, komentar yang negatif justru sering mendapatkan highlight atau bertempat pada posisi paling atas sehingga ketika penonton membuka kolom komentar, yang terlihat duluan adalah komentar negatif tersebut. Beberapa orang menganggap komentar tersebut lucu sehingga komentar tersebut dilike. Hal ini menyebabkan komentar negatif tersebut lebih berkemungkinan untuk tetap ter-highlight. Akibatnya, content creator berpotensi untuk terkena penyakit mental seperti berkurangnya percaya diri dan citra diri, stres emosional hingga merasa cemas berlebihan.
Bijak dalam bersosial media harus diimplementasikan bagi seluruh pengguna media sosial, termasuk masyarakat Indonesia. Hak kebebasan berpendapat dan berkomentar harus digunakan dengan sebaik - baiknya. Etika juga tidak terlupakan dan harus diikutsertakan. Semua dimulai dari diri sendiri. Pahami etika dalam berkomentar. Hormati privasi dan gunakanlah bahasa Indonesia yang baik. Tahu tempat dan waktu kapan harus berkomentar jenaka dan serius. Adanya sosialisasi juga merupakan suatu keperluan demi menumbuhkan sikap bijak dalam bersosial media. Dengan menargetkan semua kalangan usia, harapannya masyarakat dapat teredukasi untuk bisa bijak dalam bersosial media. Perlunya pengamatan orang tua juga penting untuk memastikan anak mampu untuk bijak dalam bersosial media. Upaya - upaya ini demi kesehatan mental semua kalangan terutama Gen Z yang mengedepankan kesehatan mental, serta keamanan dan kenyamanan tiap individu dalam bersosial media. “Mulutmu adalah harimaumu,” menjadi peribahasa yang patut diingat dalam konteks ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H