Aku tidak tahu cara agar aku bisa bersamamu lagi. Sayangku, cintaku, Aruna. Mengapa Tuhan memanggilmu terlebih dahulu? Aku tidak sanggup hidup tanpamu.
Aku merindu, Aruna. Kamu selalu memenuhi pikiran dan relung hatiku. Kamu selalu datang dan memandangiku dari jauh. Bagaimana aku bisa melupakanmu jika terus begini?
Aku selalu melihat raut wajah sedihmu. Padahal yang aku rindukan adalah senyuman indah di wajah cantik nan rupawan milikmu. Kamu tidak pernah bersuara, bahkan membuka mulut pun tak pernah. Padahal aku rindu dengan suaramu yang lembut. Aku rindu kata-kata rayuan yang selalu sukses menciptakan rasa hangat yang menjalar di pipiku.
Aku selalu berusaha mencari penggantimu agar kamu tidak perlu mengembara di dunia fana yang sudah seharusnya kamu tinggalkan. Namun, kamu selalu menatap penuh kebencian pada penggantimu. Aku lelah, Aruna. Tiap detik yang berlalu aku selalu merindukanmu, aku ingin memelukmu, tapi apalah daya jika dunia kita sudah berbeda. Keberadaanmu justru membuatku tersiksa. Kita berdua jatuh dalam lubang siksa yang sama.
Aku bisa merasakan presensimu, aku bisa melihatmu. Namun, aku tidak bisa menyentuhmu, aku tidak bisa memeluk dan mencumbumu lagi. Sungguh, apakah kamu memang masih berada di dunia fana ini? Atau ini hanya perasaan rindu mendalam dan penglihatan yang terdistorsi?
"Bisakah kamu pergi, Aruna?"
Satu kalimat terucap. Aku bisa melihat raut wajah Aruna yang sedikit terkejut. Wajahnya sangat pucat, aku tak sanggup untuk menatapnya lebih lama.
"Aku ingin, tapi aku tidak bisa, Rajen."
"KENAPA? KENAPA KAMU TIDAK BISA? AKU SUDAH LELAH ARUNA! KEHADIRANMU JUSTRU MEMBUATKU SEMAKIN TERSIKSA!"
Air mataku mulai meluruh, rasanya panas dan penuh. Hatiku semakin tersayat saat melihat wajah Aruna yang semakin muram. Tak kuasa aku menatapnya, terlalu menyakitkan.
"A-aku tidak bisa meninggalkanmu, Rajen..."